Senin, 18 Juli 2011

Hasil Liputan: MENJADI TUKANG PARKIR DEMI HARGA DIRI

           Dengan langkah kaki sedikit terburu-buru, aku ke luar dari kantor pos. Aku terperangah ketika mendapati tukang parkir kantor pos ini adalah seorang wanita. Dari wajahnya, mungkin beliau berumur sekitar 40 tahunan. Rambutnya hitam (sepertinya karena dicat) lurus dan badannya proporsional. Sambil mendekat ke motorku diparkiran, aku menyapa beliau, “Baru kali ini saya bertemu tukang parkir cewek, seorang ibu-ibu pula, hebat banget” ucapku ketika itu sembari mengeluarkan uang seribu dari dompet.
Beliau menyambut sapaanku dengan ramah. Senyumnya manis, wajahnya pun berseri. Dalam hati aku menyayangkan, beliau lebih pantas jadi wanita kantoran. Dari gumamanku itu, kemudian aku bertanya lebih lanjut ke wanita itu. “Ibu punya putra?”
           Beliau menceritakan, punya 3 putra. Aku pun memuji beliau yang rela bekerja “begini” demi anak-anaknya. Kemudian tanpa disangka wanita itu menyambut pujianku dengan cerita kehidupannya. “Anak saya Mbak, yang pertama kuliah, yang kedua SMK, dan ketiga SMP Mbak.” Mendengar ucapan beliau, aku makin tertarik bertanya. Kami pun bersalaman, saling memperkenalkan nama masing-masing. Namanya adalah Meri.
          Waktu berjalan tanpa terasa karena Bu Meri dengan senang hati menceritakan kehidupannya denganku. “Ya begini lah Mbak, hidup itu harus disyukuri.” Kemudian aku bertanya dimana rumahnya, ternyata beliau tinggal di sekitar Piyungan, Jogjakarta. Cerita beliau sangat panjang, tapi aku nggak bosen mendengarnya karena begitu banyak pelajaran yang aku ambil.          Aku cerita sedikit kalau aku udah menikah, tinggal bersama suami di sekitar Jalan Magelang, dan sekarang masih kuliah di Universitas Ahmad Dahlan. Beliau tersenyum, kemudian bertanya seputar pernikahanku. Aku menjawab dengan senang hati. Kemudian beliau membuka kembali cerita tentang kehidupannya. Tanpa disangka ternyata beliau adalah seorang istri tentara. Aku kaget bukan kepalang. Beliau juga cerita ternyata bapaknya tentara. Dalam hati aku berucap, Bu Meri hebat banget, beliau berlatar belakang keluarga tentara, punya suami pun tentara tapi mau jadi tukang parkir.           Aku terus memuji beliau dan wajahnya tampak semakin ceria. Bukan karena pujianku, tapi yang aku tangkap dari bahasa raut wajahnya, cerianya beliau lebih karena dukunganku. Karena ternyata awalnya beliau malu jadi tukang parkir, ketika aku terus memuji kehebatannya, beliau tentu merasa mendapat dukungan positif.          Aku bertanya kenapa beliau menjadi tukang parkir. Ternyata Bu Meri memilih membalaskan sakit hatinya terhadap suami dengan cara menjadi tukang parkir.Alasan Bu Meri membalaskan sakit hatinya karena suami beliau mempunyai WIL alias Wanita Idaman Lain.
“Mengapa harus dengan menjadi tukang parkir?” batinku. Kemudian beliau terus menceritakan panjang lebar mengenai kehidupannya yang ternyata nggak pernah jauh dari ujian. “Sampai saya sudah hampir bosan dengan ujian-ujian itu Mbak, makanya saya pasrah aja, apa pun yang terjadi, dihadapi aja. Untungnya saya masih punya rasa syukur.” Ucapnya kemudian.         “Kenapa nggak mencari pekerjaan lain bu?” tanyaku kemudian. “Saya pernah menjadi karyawan toko, tapi kok jam kerjanya padat, saya kasihan dengan anak-anak saya di rumah. Kalau menjadi tukang parkir, waktu saya sedikit longgar.”         Batinku sebenarnya dari tutur kata dan gerak-gerik bu Meri menunjukkan bahwa beliau bukanlah wanita yang introvert, beliau kelihatan lugas dalam bergaul. “Kalau tentara itu, biasanya ada perkumpulan istri-istrinya kan bu?”
         “Oh iya Mbak, kebetulan saya bendahara untuk perkumpulan yang Mbak maksud itu, dan saya juga anggota klub voli untuk istri-istri tentara, terkadang saya juga ikut aerobic dengan istri-istri tentara. Yaa…mengisi waktu luang, tetapi itu dulu Mbak. Ketika semua masih baik-baik aja, ketika dulu saya masih tinggal di kompleks tentara di Bogor. Tapi sekarang udah enggak Mbak, walaupun saya tetap masih bergabung di perkumpulan istri-istri tentara.” Ceritanya.          Kemudian bu Meri menceritakan kejadian pilu beberapa waktu lalu. Di waktu yang bersamaan ketika itu, ayah bu Meri sakit-sakitan dan suaminya selingkuh dengan wanita lain. Bu Meri memutuskan pindah dari Bogor ke Jogja demi merawat ayahnya yang sakit-sakitkan. Perpindahan itu “terpaksa” beliau lakukan karena menurut cerita bu Meri, kakak-kakaknya tidak peduli dengan keadaan orang tua mereka. Dari penuturan bu Meri, ketika keadaan sulit yang dihadapinya itu serasa nggak ada solusi, dia memutuskan untuk “melepaskan” atribut keislamannya. Beliau memutuskan hidup jauh dari ibadah kepada Allah. Padahal beliau lulusan salah satu pondok pesantren ternama di Jogja, tapi beliau tidak memperdulikan latar belakang pendidikannya itu. Ketika teman-teman pengajiannya mengingatkan, mengapa bu Meri melepaskan pakaian syar’I, beliau hanya menjawab, saat ini beliau ingin begini, tapi suatu saat beliau pasti kembali lagi.                           Syukurnya teman-teman beliau tidak men-judge berlebihan terhadap kekeliruan beliau. Bisa dibayangkan, gimana rasanya udah jatuh ketimpa tangga, udah suami selingkuh ditambah teman-teman menjauh pula. Sampai saat ini beliau masih tetap “melepaskan” sementara pakaian syar’i-nya, tapi untuk meninggalkan ibadah, udah nggak beliau lakukan lagi. Bu Meri bilang kalau nggak shalat, nggak ngaji, rasanya makin didorong oleh setan. Bawaannya setiap ketemu suami pasti pengen marah. Kemudian beliau pun berkesimpulan, gimana suami mau betah di rumah kalau setiap bertemu selalu marah-marah. Aku pun mengangguk.            Setelah kejadian itu, beliau kembali tekun beribadah. Katanya dengan shalat tahajud dan mengaji, masalah jadi ringan. Beliau selalu mengingat terus hadis yang berbunyi, Allah itu nggak akan mungkin memberi cobaan di luar batas kemampuan umatNya. Berpegang pada hadis itu, beliau menjalani hidup dengan yakin pada kebesaran Allah. Keadaan ekonomi keluarga yang morat-marit, membuat bu Meri harus mengambil langkah untuk membantu suami walaupun suami beliau selingkuh dan tak pulang ke rumah. Akhirnya profesi tukang parkir yang dipilihnya. Bagiku, bu Meri benar-benar wanita tangguh. Beliau memilih menjadi tukang parkir, tanpa mau meninggalkan suaminya yang selingkuh itu. Beliau bercerita, padahal Ibunya bu Meri meminta anaknya untuk bercerai dan meninggalkan laki-laki itu, tapi bu Meri nggak mau. Beliau berkeyakinan kalau perceraian itu adalah sesuatu yang dibenci Allah. Jadi sesulit apa pun permasalahan rumah tangganya, akan terus beliau hadapi.            Sampai akhirnya beliau bertutur, “Tapi saya senang Mbak, soalnya suami saya udah kembali dan meminta maaf dengan saya, dia juga meninggalkan kebiasaan merokoknya.” “Kalau hal terburuk sampai terjadi dengan ibu, saya yakin, suami ibu yang akan sangat kehilangan istri seperti ibu ini.” Kulihat wajah bu Meri tersenyum senang. “Saya merasa juga begitu Mbak, makanya saya nggak mau memilih jalan perceraian. Saya tahu kalau itu hal yang sangat dibenci Allah. Di tengah kepasrahan, saya pun memilih untuk ‘mandiri’, sementara waktu saya menghilangkan kebencian di hati saya kepada suami Mbak, saya mencoba ikhlas, walaupun sangat sulit. Saya memilih mempertahankan harga diri saya dengan bekerja seperti ini Mbak. Walaupun harus sembunyi-sembunyi.” “Sembunyi-sembunyi dari siapa bu?” “Saya takut ketahuan dengan teman-teman suami, kan nggak boleh istri tentara bekerja seperti ini Mbak.” Aku mengangguk. “Saya sempat bertemu dengan teman bapak di sini Mbak, tapi saya langsung berpura-pura ke masuk ke kantor pos, jadi beliau kan tak tau kalau sebenarnya saya seorang tukang parkir. Anak saya yang paling kecil pun nggak tau kalau ibunya menjadi tukang parkir.” “Selama ibu bekerja sebagai tukang parkir ini, ada nggak kejadian aneh yang ibu alami?” “Kejadian aneh apa ya Mbak?” bu Meri tampak mengingat-ingat. “Oh ada Mbak, ketika itu ada seorang bapak yang ‘menggoda’ saya Mbak, dia bertanya siapa nama saya, apa status saya.” “Trus Bu?” “Ya saya hanya membatin, masak wanita setua saya masih ada tampang-tampang perawan. Lagipula seburuk apa pun suami, saya tetap nggak mau selingkuh. Saya tau rasanya diselingkuhi dan saya nggak mau melakukan yang sama. Kasihan anak-anak saya, dan saya mencoba untuk melakukan yang terbaik yang saya mampu untuk membalas rasa sakit hati saya ke suami. Akhirnya semua terbukti Mbak, suami saya kan udah kembali.”               Itulah hasil kesabaran beliau. Perlakuan yang sangat tidak mengenakkan dari suaminya dan selingkuhan suaminya dibalas dengan perlakuan yang sangat baik dari bu Meri. Wanita tabah itu tetap menerima suaminya apa pun keadaannya dan ketika anak dari selingkuhannya dirawat di rumah sakit, beliau tetap datang menjenguk, walaupun anak-anak kandung bu Meri melarang keras. Sekarang suami bu Meri pun semakin giat beribadah. Bu Meri menasehati, manusia hidup itu memang benar-benar harus sabar dan percaya dengan Allah. Percuma mau “berontak” tapi kalau belum diijinkan Allah, masalah yang dihadapi belum juga akan menemukan solusi.


Depan kantor pos Bulak Sumur, Jogja6 Juni 2011Salam cinta untuk Bu Meri.


cerpen: Surat Cinta Untuk Mama

Pipit senyum-senyum ketika mendapati kabar baik bahwa cerpen-cerpennya berhasil diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen oleh salah satu penerbit yang sudah cukup punya nama. Selama ini cerpen-cerpennya hanya berhasil tembus media massa dan banyak yang menyukai tulisan-tulisannya. Jika tulisan-tulisannya mendapat sambutan hangat oleh pembaca, yang terbayang dibenaknya hanyalah senyum mama-nya. Wanita (walau bagaimanapun keadaanya) yang membuka pintu bagi Pipit untuk menemukan jati dirinya.


***


Surat cinta itu ditujukan untuk mama-nya. Sengaja dibuat Pipit setiap malam, sebelum dirinya terlelap tidur. Tetapi surat itu mengandung keunikan karena tak pernah diberikan ke mama, melainkan selalu disimpan di dalam kotak, yang diberi nama “kotak kenangan” oleh Pipit dan disimpan di salah satu lemari buku dalam kamar kost-nya.
“Pit, lagi ngapain?” tanya salah seorang teman kostnya. Pipit memandang sekilas kemudian melanjutkan menulis kalimat demi kalimat di selembar kertas. “Curhat dengan ‘mama-mu’?” sindir temannya. ‘mama-mu’ yang dimaksud temannya itu adalah kertas yang dianggap sebagai “pengganti” sosok mamanya yang selalu digunakan oleh Pipit untuk menuliskan curhatannya.
Pandangan Pipit tetap tak beralih dari secarik kertas itu. “Apa salahnya ketemu mamamu, minta maaf terus curhat sepuasnya deh.” Ungkap temannya dan kemudian berlalu pergi.
“Semua ada waktunya.” Batin Pipit.


21:08
17’7’11

Rumah sepi. Kala itu sore mulai menjelang. Mama belum pulang dari kegiatannya di luar. Sebagai seorang wanita pekerja, “setiap harinya mama selalu sibuk” itu yang selalu aku lihat dari mama. Dan nggak pernah ada waktu untuk anak semata wayangnya ini kecuali hari minggu. Setiap harinya, Mama berangkat bersama-sama denganku ketika aku berangkat sekolah. Dan pulang ketika aku udah keletihan dan ingin segera tidur. Kalau begitu, jelas aku nggak punya waktu untuk bersenda gurau dengan mama. Apalagi setelah papa meninggal dunia akibat kecelakaan. Rasanya hatiku semakin kesepian. Pelampiasanku ya hanya curhat dengan selembar kertas ini.
Ketika itu aku sangat bosan di rumah. Aku sedang liburan semester. Aku duduk di kelas X SMK. Malam hari sengaja kutunggu mama hingga sampai di rumah. Dengan wajah keletihan, aku mengatakan beban kebosananku pada mama.
“Ma, Pipit bosan di rumah”
Sebenarnya yang aku tunggu adalah ungkapan mama yang mengatakan bahwa kami akan liburan berdua untuk beberapa hari. Pasti rasa bosanku hilang.
“Maaf ya Pit, kalau mau pergi liburan, mama kan harus libur juga, tapi sekarang mama kan belum libur.” Ucapan mama udah kutebak, walaupun aku berharap tebakanku salah, tetapi ternyata malah benar.
Aku kemudian masuk ke kamarku dengan bibir manyun. Aku dengar mama memanggil-manggil namaku tapi aku tak peduli, toh mama juga nggak peduli dengan beban rasa kebosanan yang aku tanggung.
Karena mama nggak memberi solusi yang sedikit membuatku bahagia, maka aku melampiaskan kesepianku dengan bermain-main hape. Seringnya sih sms-smsan dengan teman-temanku, bahkan aku mencari-cari teman sms dengan seolah-olah salah nomor.
Hari-hari kulalui dengan aneh. Aku ngobrol dengan teman-teman di dunia maya. Aku berinternet dan aku chatting. Aku bersenang-senang dengan orang yang belum tentu ada. Mama tak peduli dengan perasaanku, ketika aku protes, mama hanya mengatakan bahwa semua yang mama lakukan demi membahagiakan aku. Ya, aku tak bisa berbuat banyak. Dipikiranku, mama tau segalanya, buktinya kami tetap bisa hidup walaupun papa udah nggak ada.
Beberapa hari lamanya aku mendiamkan mama. Dalam rangka protes, aku melakukan mogok bicara. Tetapi mama merasakan perubahan diriku, aku menjadi anak yang sengaja dibuat pendiam oleh diriku sendiri.


Beberapa hari kemudian mama membawakan sesuatu yang dapat mengusir rasa kebosananku menikmati liburan sekolah.
“Nih, mama bawain buku TTS.”
Kulihat, kubolak-balik sampul buku itu. Bentuknya memanjang, dan isinya banyak kotak-kotak kosong. Gambar di sampul depan adalah wanita-wanita yang sedikit berpakaian terbuka.
“Ini apa ma?” tanyaku ketika itu.
“Itu buku TTS, teka-teki silang.” Jawab mama sembari tersenyum. Aku tetap melihat aneh ke buku itu. Bentuk dan isinya aneh. Aku nggak pernah membeli buku ini sebelumnya.
“Kalau kamu bosan, isi aja TTS, kan mengasah otak.” Ucap mama. Batinku berucap ‘oalah, ini yang namanya buku TTS, selama ini aku cuma pernah mendengar namanya tetapi belum pernah liat isinya, aku pernah liat buku ini tergantung di warung-warung yang menjual buku dan majalah, tapi aku kira itu buku porno, ternyata buku TTS.’ Batinku berucap.
Beberapa hari berikutnya, aku sibuk mengisi kotak-kotak kosong di dalam buku TTS itu. Awalnya sangat menyenangkan, aku harus mengisi kata-kata tertentu yang sesuai dengan petunjuk yang ada di samping kotak-kotak kosong tersebut. Tetapi lama kelamaan, aku pusing dan…..kembali bosan.
“Ma, Pipit masih bosan.” Ucapku dengan mama ketika mama sedang beristirahat menonton televisi di hari Minggu itu. “Kenapa? Buku TTS-nya udah keisi semua?” tanya mama kemudian. Aku menggeleng.
“Lah, terus kenapa?”
“Soalnya Pipit nggak bisa mengisi kotak-kotak kosong itu. Pasti nggak pernah total ngisi kotak-kotaknya, banyak petunjuk yang Pipit nggak tau maksudnya.”
“Haduh, trus mama harus gimana?”
“Kok mama malah tanya Pipit, Pipit nggak tau lah ma”
“Ya udah, nonton tv aja.”
“Bosan ma, acaranya itu-itu aja.”
Mama terdiam. “Ya udah, kamu main ke rumah temanmu.”
“Pipit nggak mau main ke luar, Pipit mau di rumah aja. Pipit nggak suka main dengan teman-teman di luar.”
Beberapa hari berikutnya mama belum juga menemukan solusi. Dan aku makin lama makin bosan. Akhirnya sampai suatu hari mama memberi aku sebuah buku.
“Mama pikir, alasan kamu nggak bisa mengisi, pasti karena kamu kurang wawasan, makanya ini mama belikan kamu buku bacaan.” Mama menyodorkan sebuah buku bersampul hijau kepadaku.
Aku meraihnya. “Oalah, aku kira selama ini, yang namanya buku pasti selalu buku paket sekolah aja, nggak ada buku-buku lain.” batinku. Ketika aku membaca judul bukunya, aku mesem-mesem. “PACARAN DALAM KACAMATA ISLAM”
“Huh, mama, kok beliin buku seperti ini, judulnya aja udah aneh.”
“Kamu baca dulu gih, baru komentar. Kebanyakan komentar kamu.” Ucap mama sembari masuk ke kamar tidurnya.
Beberapa hari berikutnya aku terus membaca buku yang mama belikan. Kapan pun dan di mana pun, bagai orang yang nggak kenal waktu. Makan aja, kalau nggak pengasuhku mengingatkan, aku nggak akan ingat makan.


Akhirnya waktu masuk ke sekolah di mulai. Aku tetap menyelesaikan bacaanku. Kemana pun buku itu selalu kubawa. Bahkan ketika di tengah-tengah proses belajar mengajar. Saking asyiknya, aku sampai lupa segalanya. Hingga suatu ketika aku ditegur guru agamaku.
“Kamu sedang membaca buku apa itu Pipit? Kamu tidak memperhatikan ibu menjelaskan, kalau kamu tidak paham dan tidak bisa saat ujian gimana?”
Guru agamaku marah ketika mengetahui aku lalai memperhatikan penjelasannya di depan kelas. Beliau mendekati bangkuku dan mengambil buku bersampul hijau yang berusaha aku sembunyikan di dalam laci.
“Sini bukunya, kasih ke ibu. Biar ibu ambil.” Ucapnya. Mendengar itu, aku makin nggak mau memberikan buku itu ke guru agamaku, aku nggak mau. Buku ini sangat asyik, isinya seru, aku mau menyelesaikan membacanya dan mau aku jadikan koleksiku.
“Jangan bu.” Ucapku memelas. Tetapi guru agamaku memaksa, sampai akhirnya aku menyerah. Buku itu diambil beliau, dan ketika beliau membaca judulnya, terlihat raut wajah beliau berubah. Dengan tersenyum, beliau memintaku menceritakan keseluruhan isi buku itu di depan kelas.
Salah seorang temanku ada yang berteriak bertanya, “Itu buku apa bu?”
“Judulnya ‘pacaran dalam kacamata Islam’, cocok untuk kalian yang lagi puber.”
“Huuuuuuuuuuuuuuuu….” Kelas menjadi riuh. Beberapa temanku malah ada yang meminta ijin meminjam buku itu. Aku hanya tersenyum. Teman-teman juga banyak yang meminta aku menceritakan semua isi buku itu di depan kelas.
Saat itulah pertama kali aku maju ke depan kelas untuk menceritakan semua yang aku tahu tentang buku itu. Pertama kali aku merasakan menjadi narasumber yang tahu segalanya. Menjadi orang yang berwawasan luas karena diminta untuk berbicara di depan orang banyak. Ketika SD atau SMP, aku memang udah pernah maju ke depan kelas, hanya untuk bernyanyi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan guru saat tes lisan, tetapi kali ini berbeda. Aku maju karena aku dianggap berwawasan. Sejak saat itu aku menjadi percaya diri, dan aku yakin, aku bisa karena membaca

Thanks mama.


***
“Tumben nonton tv, biasanya sibuk nulis di dalam kamar Pit?” ucapan itu serasa sebagai suatu sindiran untuk Pipit. “Emang kenapa? Aku boleh dong nonton tv.” Ucap Pipit. Temannya mengangguk. “Kamu suka banget nulis Pit?”
“Dari dulu Ning, aku nggak punya teman, aku kesepian, dan dengan menulis, aku seolah menemukan sosok teman sejati, teman yang mau mendengarkan ucapanku, apa pun itu, sedih atau seneng.”
“Emang apa sih yang kamu rasakan ketika kamu menulis?”
“Tenang.”
“Cuma itu?”
“Aku mencari ketenangan dengan menulis Ning.”
“Trus kenapa kamu curhat dengan ibumu tetapi malah dilampiaskan ke kertas, kenapa nggak langsung menelpon ibumu.”
“Dia pasti sibuk Ning, aku nggak mau mengganggu waktunya.”
Ning menawarkan Pipit cemilan yang baru dibelinya. “Kamu menerima keadaan ibumu yang super sibuk itu?” Pipit menatap mata Ning dalam.
“Nggak ada anak yang mau kehilangan ibunya sendiri. Memiliki ibu seorang wanita pekerja yang super sibuk, sama artinya harus siap-siap untuk keadaan terburuk yang akan kita hadapi, yaitu kesepian.”
“Maaf ya Pit kalau pertanyaanku membuat kamu sedih.”
“Nggak apa Ning, kamu nggak salah.”
“Kalau aku udah nikah dan punya anak, aku nggak mau ah, jadi wanita karir. Kasihan anak-anakku.” Ucap Ning sembari tiduran di lantai. “Jangan gitu, setiap orang tua punya caranya sendiri-sendiri dalam mendidik anak, walau bagaimanapun, aku tetap bangga dengan ibuku, dia lah yang berhasil menuntunku menemukan sesuatu yang cocok untukku. Karena dia, sekarang aku jadi senang membaca buku, dengan begitu aku banyak mendapat pengetahuan.”
Ning diam.
“Trus kapan kamu mau kasih kertas-kertas yang berisi curhatan kamu itu ke ibumu?”


Pipit tampak mengangkat bahunya, tanda tak tahu.
“Kamu nggak mau pulang ke Sumatra?”
“Enggak ah, aku mau di sini aja. Di Jogja, aku merasa hobiku dapat tersalurkan.”
“Kamu nggak mau ketemu ibumu?”
“Aku udah terbiasa ditinggal ibuku, jadi sekarang udah nggak kaget lagi”
Perbincangan terhenti dan yang terdengar hanyalah celotehan-celotehan tokoh yang ber-acting di layar kaca.
“Eh Ning, bener kan umur manusia itu nggak ada yang tau?”
Ning mengangguk. “Emang kenapa? Kamu mau minta maaf ke ibumu sebelum terlambat?”
Pipit menggeleng. “Aku boleh minta tolong ke kamu nggak?”
“Apa itu?”
“Kalau umurku nggak panjang, tolong kasih kertas-kertas itu ke ibuku ya? Kamu kirim aja ke alamat rumah ibuku.”
“Kamu kok ngomong gitu?”
“Hanya menitipkan amanat ke kamu aja kok.”

Sabtu, 16 Juli 2011

Cerpen: Bahasa Cinta

Warnet sedang ramai. Seorang cewek berjalan menuju warnet. Dengan jilbab coklatnya, dia tampak manis. Terutama tampak manis bagi…. “Mas…” cewek itu masuk. Melihat dengan tersipu malu kepada cowok yang berada di meja operator warnet. Namanya Dimas. Dan cewek itu Mifta. Mereka memiliki hubungan khusus. Pacaran. Tapi kali ini si cewek tak memandang ke cowok. Dengan wajah tertunduk, dia menunggu si cowok menunjukkan bilik yang kosong.
“Nih, pakai ID-ku aja.” Cowok itu seorang supervisor di warnet tersebut. Tak heran jika dia mendapat fasilitas nge-net gratis dengan bermodalkan ID yang udah diatur sedemikian rupa oleh pihak perusahaan yang mengepalai warnet tersebut.
Si cewek masuk ke bilik yang ditunjuk si cowok. Tak lama si cewek berselancar di dunia maya, tiba-tiba jantungnya berdegub. Rasa ada sesuatu yang aneh di hatinya, ketika ruangan warnet terasa hening karena lagu syahdu berjudul “sampai ke ujung dunia.”
Suara gitar menggiring suasana hati setiap orang yang mendengarnya. Dan lirik “cinta ini menggelisahkan aku…membuat aku gilaaaa…” membuat jantung si cewek semakin berdegub kencang.
Tiba-tiba terdengar suara cowok yang berbicara di depan sana, “Kenapa Dim? Lagi bertengkar?” yang bertanya itu adalah teman kerja Dimas. Seperti sudah menjadi kebiasaan, kalau Dimas memutar lagu ini di ruangan warnet, pasti si cewek lagi di dalam salah satu bilik, dan tak jarang lagu ini diputar ketika Dimas dan ceweknya sedang berantem.
“Romantis banget, ngomong dong dengan dia. Minta maaf.” Ucap si teman sembari berbisik ke telinga si cowok. “Lagu romantis sudah bisa mewakilkan isi hatiku.”
Tak lama kemudian si cewek ke luar dari biliknya dan menuju ke meja operator. Si cowok menatap setiap langkah kaki si cewek dengan perasaan berharap. Harapan untuk diberi maaf oleh cewek yang sangat disayanginya itu. Si cewek kemudian ke luar dari warnet dengan wajah dingin.
Di luar, sebelum melewati pagar warnet, si cewek menoleh ke belakang.
“Aku udah memaafkan kamu Mas.”
***
Malam harinya si cowok tampak sibuk berbicara dengan seseorang di seberang telpon sana. “Dek, aku sayang banget dengan dia” ucap si cowok.

“Kakak, ingat dong, pacaran itu nggak boleh. Cuma buat zina hati aja.” Si adek di seberang telpon mengingatkan. Si adek tersebut adalah teman chatting si cowok. Perkenalan mereka terjadi ketika si cowok tertarik dengan bahasa pemrograman yang dipakai si adek untuk hiasan friendster-nya. Niat awal ingin minta diajari, tetapi kemudian si cowok merasa nyaman curhat dengan si adek.
“Pasti ada sesuatu yang baru jika mengobrol dengan kamu” ucapnya ketika si adek mengingatkan si cowok untuk jangan terus menghubungi si adek. Dengan alasan, si adek takut kalau hatinya terkotori dengan perasaan yang belum boleh dirasakannya.
“Aku berharap banget suatu saat bisa menikahinya.” Ucap si cowok kepada si adek. “Itu lebih baik kak, kalau bisa secepatnya aja.”
“Doakan ya dek.”
“Insya allah, aku juga nggak mau niat kakak untuk lebih memahami agama kita, Islam, terkotori dengan perasaan yang nggak seharusnya dicurahkan kakak kepada cewek yang bukan istri kakak.”
“Kalau nggak begini, gimana aku bisa mengenalnya dek. Kalau udah berhubungan akrab dengan dia seperti sekarang, ntar setelah menikah nggak perlu kaget lagi.” Ucap si cowok dengan nada meyakinkan. Tak kalah meyakinkan, si adek selalu menasehati, “Hubungan akrab yang kakak maksud itu sama aja dengan pacaran kak, lagipula kalau kakak menganggap bahwa menikah itu harus didahului dengan pacaran, kakak salah besar.”
“Emangnya kamu nggak mau pacaran dek?” tanya si cowok kepada adek yang dikenalnya melalui internet dan dihubunginya selalu melalui telpon.
“Aku nggak mau kak, prinsipku jangan sampai aku menikah dengan laki-laki yang udah aku cintai sebelum terjadinya pernikahan.”
“Prinsipmu aneh dek.”
“Aneh bagi kakak, tapi logis bagiku.”
Diam sejenak. Si adek tampak menarik nafas tetapi kemudian melanjutkan ucapannya, “Nilai tawar perempuan itu lemah kak.”
“Maksudmu?”
“Kalau perempuan udah mencintai laki-laki yang belum tentu menjadi suaminya, dia pasti rela melakukan apa pun demi bersatu dengan laki-laki itu. Perempuan itu selalu lemah jika berhadapan dengan perasaannya sendiri. Aku nggak mau mencintai laki-laki yang belum tentu menjadi suamiku, karena aku memiliki kriteria lelaki idaman yang aku inginkan, kalau aku udah mencintai seorang lelaki, walaupun dia nggak masuk kriteriaku, maka aku akan menerimanya, aku nggak mau gitu kak.”
“Prinsipmu unik dek.”
“Hidup itu pilihan, dan aku mau memilih sesuatu yang terbaik bagiku, bagi duniaku, dan bagi akhiratku.”
***
Beberapa hari kemudian si cowok bertemu dengan keluarga si cewek. Dengan tersipu malu si cowok mengutarakan maksudnya. Diceritakannya lebih dahulu bahwa udah setahun belakangan ini si cowok berhubungan dengan si cewek. Dan saatnya kini si cowok berharap agar dapat diterima oleh orang tua si cewek untuk menjadi menantu mereka. Tetapi ternyata di luar dugaan, pihak keluarga si cewek mengajukan beberapa persyaratan. Di antaranya mereka harus berpikir ulang karena si cowok belum mapan secara finansial.
Dengan tertunduk si cowok melamun. Ucapan orang tua si cewek terngiang-ngiang di telinganya. Si cowok tampak menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya berat. Dengan diawali bismillah, si cowok memutuskan untuk mundur. Kemudian si cowok melihat ke arah si cewek yang duduk di samping ibunya.
Wajah si cewek tampak tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Dalam hati si cewek ternyata berkecamuk perasaan. Sedih tetapi juga lega. Sebenarnya si cewek belum siap untuk menikah saat ini.
***
Setelah kejadian itu si cowok seperti mengucilkan dirinya dari pergaulan. Komunikasi dengan si adek pun terputus. Si adek bertanya-tanya mengapa udah beberapa minggu “kakaknya” nggak menelpon. Si adek nggak berani untuk menelpon duluan, takut kalau menganggu pekerjaan si kakak.
“Ya udah lah, husnudzon aja, nggak mau berpikir yang aneh-aneh.”
Lamunan si adek terputus karena tiba-tiba salah seorang temannya datang ke kosnya. “Ngapain sore-sore gini melamun di teras, sendirian pula.” Ucap temannya menggoda.
“Aku lagi capek aja. Beberapa hari ini tugas kampus menumpuk, belum lagi ada beberapa masalah yang mengganggu konsentrasiku.” Ucap si adek kepada temannya.
“Masalah apa? Cerita dong.” Temannya menggoyang-goyang tubuh si adek, berharap agar dia mau menceritakan sesuatu yang menjadi bahan pikirannya itu.
“Ada deh…”
“Kok kamu gitu sih.”
Si adek tersenyum mengejek. “Oh ya, gimana agenda kita?”
“Agenda yang di masjid UGM itu?”
“Ya iyalah.”
“Kan diundur, kok kamu belum tau sih.”
“Hah? Masak iya?”
Temannya mengangguk pasti. “Kenapa?”
“Soalnya dihari yang sama ada tabliq akbar, ustadnya dari Semarang, katanya sih bagus banget. Dateng yuk”
Si adek mengangguk.
***
Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Si adek ke masjid kampus berbarengan dengan temannya. Sesampai di parkiran, terdengar hapenya berdering tetapi karena mereka sudah terlambat, jadi tak sempat si adek membuka tasnya untuk mengambil hape.
Si adek dengan temannya duduk di barisan kursi khusus akhwat yang berada di sisi kiri panggung. Pengunjung yang datang lumayan ramai, tetapi tak terlalu ramai. Mungkin karena ustad dari luar kota dan kurang pengumumannya, maka dari itu yang datang tidak sampai membludak.
Di barisan kursi ikhwan tampak seseorang yang sibuk melemparkan pandangannya ke barisan akhwat. Tanpa sepengetahuan si adek, ternyata di antara ikhwan yang datang itu, salah satunya ada si kakak yang beberapa minggu belakangan ini seolah-olah menghilang dari dunia.
Ketika mendapati sosok wajah yang mirip dengan wajah yang ada di foto facebook si adek, si cowok langsung senyum-senyum. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
Si adek merasa kalau dirinya sedang diperhatikan seseorang. Refleks si cewek menolehkan kepalanya ke beberapa arah. Tetapi tak didapatinya orang yang memperhatikannya itu.
“Kenapa sih kamu, kok nggak bisa fokus?”
“Aku ngerasa kayak diperhatiakan seseorang.”
“Hanya halusinasi aja.” Ucap temannya.
Setelah selesai tabliq akbar, si cewek berjalan beriringan dengan temannya. Di tengah perjalanan menuju parkiran, tiba-tiba seorang ikhwan menghampirinya.
“Assalamu’alaikum.”
Si adek menjawab salam dengan terbata. Dipandanginya wajah yang serasa pernah dilihatnya itu. “Kamu…??” ucapan itu hanya tembus ke batinnya.
“Kakak….” Ucap si adek.
Si cowok langsung salah tingkah karena ternyata dugaannya benar. Cewek yang sekarang berada di hadapannya itu adalah “si adek”nya.
Si adek langsung menarik tangan temannya untuk kemudian berlari mendahului si cowok. Dengan berdiri terpaku si cowok memandangi si adek yang mendahuluinya.
Si cowok terpaku memandangnnya.
***
Si adek mengajak temannya untuk mampir makan bakso sebelum mereka pulang. Di warung bakso, si adek menceritakan siapa laki-laki yang tadi menyapanya. Pembicaraan mereka terpotong karena tiba-tiba hapenya berdering.
Si adek masih shock bertemu dengan “kakak-nya”, langsung dia menyuruh temannya membuka sms yang masuk ke hapenya. “Ada 2 sms.”
“Yang pertama….”
Temannya tampak membaca isi sms itu. “Oh ternyata ‘kakakmu’ itu tadi sms dan kasih tau kalau dia ke Jogja, datang ke acara tabliq akbar tadi.”
“Haduh, kenapa nggak sejak awal kita baca sms itu, kalau aku tau ada dia di situ, aku nggak akan mau masuk.”
“Sms yang kedua….”
“Dari ‘kakakmu’ juga.”
“Isinya apa?”
“Dia bilang kalau dia kagum dengan kamu, dengan penampilanmu, dan dia mau sesuatu yang lebih dari ‘kakak-adik’, itu inti smsnya.”
“Dia gila.” Wajah si adek tampak sangat shock.
***
Si cowok tetap berusaha mendekati si adek. Dengan tak berdaya si adek menceritakan permasalahannya dengan orang tua yang berada di Sumatra. Bapaknya mengatakan kalau beberapa minggu ke depan mendapat cuti dari perusahaan, dan karena ada permasalahan ini, si bapak memutuskan untuk mengunjungi anaknya di Jogja.
“Suruh dia datang menemui bapak” ucap bapaknya ketika udah tiba di Jogja. Si adek pun menghubungi si cowok. Beberapa hari kemudian si cowok menghadap bapak si adek. Ketika bertemu, si cowok langsung mengutarakan maksudnya.
Si bapak sudah bisa langsung menngatakan kemana tujuan pembicaraan ini, karena sebelumnya udah ada diskusi dengan putrinya.
“Kamu benar-benar serius?”
“Insya allah Pak.”
“Kalau kamu serius, saya akan menikahkan kamu dengan anak saya, hari Minggu tanggal 24 besok.”
Jantung si cowok serasa langsung berhenti. Kaget bukan kepalang. “Hanya dua minggu kesempatan untuk mempersiapkan semuanya.” Batin si cowok.
“Kamu bawa orang tuamu ke sini, saya akan menikahkan kamu dengan putri saya sebelum saya kembali ke Sumatra tanggal 26.”
***
Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana. Urusan di KUA dapat berlangsung dengan lancar dan mudah karena si adek sudah memiliki KTP Jogja. Beberapa hari sebelum pernikahan, ibu si adek datang ke Jogja.
Cinta memiliki bahasanya sendiri untuk menunjukkan seseorang ke jalan kebahagiaan, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa rahasia. Tak seorang pun, dan tak ada cara apa pun yang dapat digunakan untuk menghayati makna cinta antara sepasang anak manusia kecuali melalui pernikahan.

Jumat, 15 Juli 2011

Cerpen: Calon Suami Sahabatku

        Subuh-subuh dia terbangun, adzan yang membangunkannya. Dengan langkah sempoyongan, dia berjalan ke kamar mandi. Buang air lalu berwudhu. Ketika melewati ruang tengah, dilihatnya ruangan tersebut terang benderang karena cahaya. Bukan lampu, melainkan cahaya dari layar televisi. Adik laki-lakinya meringkuk depan TV berselimut tebal. Maklum, di depan TV ada dipan plus kasur empuk yang pas banget memanjakan rasa kemalasan. “Pagi buta begini nonton film apaan sih?” sembari cemberut dan bĂȘte, si cewek bertanya ke adiknya. “Enggak ada cerita” tutur si adik tanpa memalingkan wajah dari layar kaca, seperti terhipnotis. “Pasti nonton ceramah ustad siapa itu? Yang jamaah…jamaah.” Si cewek rada ketus. Adiknya tetap diam. Ditekan-tekannya tombol remote mengganti-ganti saluran TV. “Nggak mutu. Itu ustad komersil, dakwah kok untuk entertaint.” Cibir si cewek sembari melengos ke kamar mandi.
Beberapa menit berlalu dengan kekusyukan shalat subuh dan dzikir. Si cewek bangkit kemudian mengambil mushaf. “A’udzubillahiminasyaitannirojim…” diresapinya rangkaian huruf yang merupakan kalam Illahi itu. Di sela-sela kekhusyukan tilawah, mata si cewek menatap kertas besar yang tertempel di cerminnya. “TUGAS SINTAKSIS” tulisan dengan huruf kapital dan spidol merah itu membuyarkan kekhusyukannya. Finish di lembar kelima, si cewek menutup mushafnya.
             Dengan semangat yang baru coba dibangkitkan, si cewek membuka laptonya. Mengetik “connect” dan kini si cewek berselancar di dunia maya. Konsentrasinya buyar, awalnya ingin mengerjakan tugas kuliah tapi kemudian beralih ke www.facebook.com.
“Uuuhh…loadingnya lama banget.” Gerutu si cewek. Dia tampak khawatir nggak bisa update status, lebih khawatir daripada nggak bisa menyelesaikan tugas kuliah yang kata si cewek “Tugasnya penting banget, Ma.….”
“Harus dikerjakan sekarang” ketika mamanya meminta tolong si cewek membantu menyiapkan sarapan pagi. Mama yang berteriak dari luar kamar pun berlalu ke dapur.
Si cewek nggak kehabisan akal. Masalah loading lama dapat diatasi dengan “ping www.facebook.com –t –l 5”
“Fiuuhh….heheheee” si cewek kegirangan. Matanya terbelalak sekaligus senang ketika mendapati notification-nya tertulis angka “28”. Padahal semalam, si cewek online sampai jam 11 malam, tapi sepagi ini, notif-nya udah 28.
Setelah membalas komen. Si cewek kembali ke home. Dibacanya status semua temannya yang hampir setengah tidak dikenal. Salah satu komen membuat si cewek tertarik. Komen itu bertuliskan begini, “Ntar siang ada agenda mengisi seminar kepenulisan di kampus, sebenarnya peserta seminarnya kemungkinan besar udah tau teorinya, tapi memulai menulis itu yang rada sulit”
Si cewek langsung komentar, “Bener, memulai menulis itu yang agak sulit. Dulu sebenarnya saya suka nulis fiksi, tapi setelah dikirim ke media, nggak ada yang terbit, saya jadi pesimis” batinny menggerutu dengan menulis balasan di status teman fb-nya itu.
Tak menunggu berapa lama, komentar si cewek pun dibalas “Menulis itu selain butuh keterampilan, juga membutuhkan kekuatan mental. Kita harus siap dengan kritik. Jadi jangan langsung menyerah kalau tulisan belum diterbitkan.”
Si cewek kegirangan. Sebenarnya dia belum mengenal siapakah dia itu. Walaupun sudah menjadi teman facebook, tapi mereka belum saling mengenal. Si cewek kemudian membuka wall-nya
Membaca profilnya, dan si cewek baru menyadari, ternyata dia nggak berbeda jauh umurnya, Cuma berjarak 3 tahun. Dan dia ternyataa….. seorang penulis. “Heemmm…kesempatan mendapatkan ilmu nih.” Si cewek semakin bersemangat. Dia kemudian menguras perhatiannya untuk membaca note-note milik orang ber-ID kokom.
             “Nama yang aneh.” Si cewek bergumam. Dilihat-lihatnya foto si Kokom, tetapi sayang, semua hanya kartun animasi. Tetapi si cewek nggak bersedih. Yang terpenting baginya adalah tulisan-tulisannya, terutama tulisan fiksi. “Hhheemmm…sederhana temanya, tetapi cara menuangkan ide ke tulisan yang membuat fiksi-fiksi “Kokom” ini menarik dibaca.
“Nona….udah jam delapan, katanya ada kuliah jam sembilan.” Suara mama terdengar menembus dinding-dinding kamar si cewek. Dengan panik, mata si cewek melirik ke sudut kanan bawah monitor laptopnya. Di sudut itu tertulis anggak 07.58. Si cewek gelagapan. “Waduh, gawat kalau telat, dosennya killer banget, ontime pula.”
Dengan tergesa si cewek keluar kamar. Memang sudah berpakaian “dinas”, siap kuliah. Tetapi mama yang berpapasan di depan pintu kamar, melihat ke anaknya dengan tatapan terheran-heran. “Kamu nggak mandi Non ?” Tanya mama. Yang ditanya hanya tersenyum. “Hari ini kuliah hanya sampai jam 11 siang, Ma. Lagipula kemarin aku kan pulang ampe malam, dan langsung mandi, jadi sekarang nggak usah mandi, kan nggak apa.” Celoteh si cewek, sembari mengambil roti yang tergeletak di atas meja makan. Mama hanya geleng-geleng kepala.


***
             Di kampus, si cewek berpapasan dengan teman sekelasnya. Namanya Yuyun. Parasnya cantik, kulitnya putih, semangatnya tinggi, bawel, dan sama seperti Nona, sama-sama suka menulis fiksi. “Tumben telat, Non?” Tanya Yuyun dengan tatapan aneh. “Iya nih, keasikan sih.” Jawab Nona sekenanya. “Keasikan ngapain?” Yuyun memandang dengan tatapan menyelidik. “Heheheeee…online.” Nona mesem-mesem.
“Gimana cerpenmu yang kemarin? Terbit?” Tanya Yuyun sembari mereka berdua menuju kelas. Alhamdulillah ternyata dosennya belum muncul.”Fiuuhh..belum nih, aku jadi nggak semangat nulis.”
“Loh kok gitu, jangan dong Non. Tetap semangat, nulis itu yang penting jadi tulisan, masalah diterbitkan atau tidak, itu urusan belakangan. Lagipula tulisanmu yang tidak diterbitkan itu bukan berarti jelek kok.” Nasehat Yuyun. Maklum, sudah beberapa tulisannya berhasil tembus ke media massa. Terutama tulisannya dalam bentuk opini. Di dalam hati, sesungguhnya Nona menyimpan rasa iri. Kenapa Yuyun bisa tetapi dirinya tidak. Rasa iri itu, walaupun baik karena dapat menjadi motivasi, tetapi juga dapat menjadi beban mental.
“Tapi aku udah nggak sabar diterbitkan Yun, honornya kan lumayan..heheheee” celoteh Nona. “Belum apa-apa orientasimu udah materi sih, makanya gampang kecewa. Menulis itu yang penting menulis Non, jangan mikir yang lain dulu. Apalagi pemula, sebaiknya honor dipikirkan urutan kesekian. Takutnya karena mikir honor, kamu jadi kaku dan terbebani ketika menulis.”
“Eh iya Yun, ngomong-ngomong gimana rencanamu itu?” Tanya Nona mengalihkan topik pembicaraan. “Alhamdulillah mudah-mudahan semuanya lancar.” Beberapa waktu belakangan ini wajah Yuyun tampak sumringah. Maklum, beberapa hari lagi insya allah dia akan menyelenggarakan pernikahan. “Yuyun hebat” Nona pernah membatin. Tak mau pacaran, tetapi langsung berani menikah. Dengan laki-laki yang belum dikenal dekat pula.
Sementara dirinya, memang sudah ada keinginan menikah, tapi masalahnya, siapa yang mau dengannya. Karena sampai sekarang Nona masih jomblo. Bukan karena nggak mau pacaran, tapi memang dilarang pacaran oleh kedua orang tuanya. Pernah terpikir di benak Nona, sekarang dia semester IV, kira-kira bagaimana respon orang tuanya, ketika tiba-tiba Nona minta dinikahkan. “Hahaaaa..pasti orang tuaku panik bukan main.” Nona tertawa dalam hati.

***
Pulang kuliah, langsung Nona masuk ke kamarnya. Mama berteriak “Non, makan dulu.” Tapi Nona diam aja, bukan karena dia sedang program diet, tapi karena tadi udah ditraktir Yuyun makan bakso di kantin. Yuyun baru habis dapet honor dari cerpennya yang dimuat di majalah remaja.
“Non, mandi dulu gih, ntar kalau udah sore, males mau mandi.” Mama mengingatkan. Mama berteriak-teriak, karena mama lagi sibuk buat kue di dapur. Mendengar ucapan mama barusan, Nona refleks, mencium badannya sendiri. “hahahaaa…bau banget.” Nona jadi ilfil. Dia mengurungkan niat membuka laptop dan memilih untuk mandi dulu.
“Mama lagi ngapain?” Tanya Nona melihat mama yang mengaduk adonan dengan mixer. “Buat kue.” Jawab mama singkat. “Tumben, kue apa? Untuk apa? Papa minta dibuatkan kue ya?” tebak Nona sembari mencolek adonan dengan jari, kemudian adonan yang belum masak itu dimakannya. “Kamu ini, kebiasaan banget.” Nona cengar-cengir. “Kue ini untuk Papa ya Ma?”
“Kenapa sih kamu penasaran banget.” Ucap Mama. “Habisnya mama tumben banget buat kue segala, biasanya beli aja.” Nona menggoda mamanya yang malas membuat kue. “Ini untuk tetangga depan itu loh.”
“Tetangga depan? Emangnya rumah depan udah ada penghuninya, Ma?”
“Udah, baru tadi pagi pindahan, yang tinggal di situ teman kerja Papa, makanya Papa mau Mama buat kue untuk mereka.”
“Ohh gitu.” Ucap Nona sembari menuju ke kamar mandi.

***
Setelah mandi, Nona langsung membuka laptopnya. Padahal tulisan “TUGAS SINTAKSIS” belum lepas dari cerminnya, yang artinya tugas itu belum selesai dikerjakan. Tapi Nona seperti tak peduli, dia berpikir, mengumpulkan tugas itu masih empat hari lagi.
Nona kegirangan ketika mendapati orang ber-ID Kokom sedang online. Dia pun memilih untuk chat dengan dia. Nona penasaran, jarang banget dia dapat teman penulis, yang tentunya Nona terobsesi banget pingin bisa ngobrol.
“Maaf mengganggu. Boleh bertanya sedikit?” Nona membuka obrolan. Lumayan lama nggak dibales, Nona jadi bete. Dia pun membuka blog-blog kepenulisan, blog-blog yang berisi tulisan-tulisan fiksi. Tapi ketika asik membaca-baca, tiba-tiba Nona mendapati pesan chat-nya dibalas.
“Iya ada apa?”
Karena mendapat respon baik, Nona pun nggak segan-segan mengajukan beberapa pertanyaan.
“Sebelumnya mau tanya dulu, kamu ini cewek atau cowok? Soalnya di profil nggak ada tertera jenis kelaminmu.”
“Ya…saya rasa hal itu nggak penting.”
Mendapat jawaban seperti itu, Nona sempat down. “Kok jutek banget sih.” Batin Nona. “Ya nggak apa lah, yang penting ilmunya.” Batin Nona kemudian.
Nona mengajukan beberapa pertanyaan, mulai dari “gimana caranya memulai menulis” sampai dengan “gimana caranya supaya tulisan-tulisan itu bisa dimuat dimedia atau diterbitkan dalam bentuk buku.”
Nona puas, walaupun orang ber-ID Kokom itu terkesan jutek dan misterius, tetapi semua pertanyaan Nona dijawab dengan lugas. Akhir dari obrolan mereka, Nona tutup dengan ucapan “Terima kasih ya”
***
Besoknya di kampus, Nona menceritakan pengalamannya yang udah bisa ngobrol langsung dengan salah seorang novelis ke Yuyun. Temannya itu mendengarkan dengan semangat. “Terus kamu Tanya apa aja Non?”
“Banyaklah Yun, salah satunya aku tanya gimana caranya supaya bisa konsisten nulis novel dari awal sampai akhir. Dan masih banyak lagi lah yang aku tanya.”
“Terus jawabannya apa?” Yuyun penasaran. “Panjang sih, tapi intinya kita harus disiplin dengan jadwal yang kita buat sendiri. Kalau kita udah membuat target setiap pekan harus menulis, ya kita harus patuhi itu.”
“Oh gitu ya, bener tuh Non. Tapi aku masih suka melanggar aturan-aturan yang aku buat sih..hehehehe”
“Ngomong-ngomong kamu kok masih berangkat kuliah sih? Nggak dipingit?”
“Halah..ngapain pakai pingit segala, berdoa aja, udah cukup, biar Allah yang menjaga kita.”
Nona manggut-manggut. “Aku penasaran pingin liat wajah calon suamimu Yun.”
Yuyun malah senyum-senyum. “Aku aja baru bertemu beliau cuma 3 kali.” Jawab Yuyun. “Hah? Serius?” Yuyun manggut-manggut. “Hebat kamu Yun, kamu udah beneran yakin?”
“Insya allah Non.”
***
Pesta pernikahan Yuyun berlangsung dengan sederhana tetapi tetap khusyuk. Tak banyak teman kampus yang datang. Cuma beberapa orang saja. Karena memang acara pernikahan ini hanya mengundang tetangga dan kerabat saja. Berkali-kali Nona curi-curi pandang melihat laki-laki yang sekarang sudah menjadi suami sahabatnya itu. Dalam hati Nona iri lagi dengan Yuyun. Karir Yuyun di dunia kepenulisan sangat baik, dan sekarang dia memiliki suami yang soleh sekaligus cakep. Yang membuat Nona tambah takjub adalah Yuyun pernah cerita kalau calon suami yang sekarang udah jadi suaminya itu tidak bekerja. “Iya Non, di KTP-ny aja tertulis pengangguran.”
Ketika itu Nona langsung bertanya, kok Yuyun mau. Dan Yuyun mengatakan, “Belum bekerja itu bukan halangan untuk menikah. Insya allah pasti ada rejeki. Yang penting itu adalah menikah dengan laki-laki yang mau bekerja, bukan yang memiliki pekerjaan tetapi tidak mau membiayai istrinya. Jaman sekarang kan banyak, suami-suami yang rada pelit kalau untuk kebutuhan istrinya.”
          Ketika itu Nona manggut-manggut aja. Dia nggak mungkin mempengaruhi Yuyun untuk menolak atau membatalkan rencana pernikahan dengan laki-laki itu. Setelah akad nikah, pengantin duduk di depan para undangan yang sedang menyantap hidangan. Setelah selesai, para undangan menyalami pengantin. Nona memilih giliran yang terakhir, supaya dia bisa ngobrol sedikit dan foto dengan temannya itu.
“Selamat ya Yun.” Ucap Nona dan dia langsung pamit pulang. Sesampainya di rumah, Mama langsung bertanya ke putri sulungnya itu. “Gimana acaranya tadi Non?”
“Alhamdulillah lancar, Ma. Mama sih, kenapa nggak datang.”
“Ah tidak enak, kan Mama nggak diundang langsung, lagipula kata kamu acaranya hanya untuk tetangga dan kerabat dekat.”
“Tapi tadi Yuyun tanyain Mama kok.”
“Oh gitu. Ya maaf deh.”
“Ya udah, Ma. Nona ke kamar dulu ah, capek.”
                Sampai di kamarnya, Nona langsung menjatuhkan diri ke ranjangnya. Baru beberapa menit istirahat, dirinya tergelitik membuka laptop. Dia pun online dan membuka facebook. Betapa kagetnya dia ketika mendapati sesuatu di wall orang ber-ID Kokom. Sesuatu itu adalah undangan pernikahan.
Dibaca Nona dengan teliti, didapatinya nama lengkap Yuyun, sahabatnya tertera di situ. “Ini kan undangan pernikahan Yuyun, ada hubungan apa Yuyun dengan orang ber-ID Kokom ini?”
Nona pun membaca komen di bawah postingan undangan itu. Banyak yang mengucapkan selamat untuk Yuyun dan Kurnia. “Astagfirullah…jadi orang ber-ID Kokom ini adalah Kurnia, suaminya Yuyun?”
Nona kaget bukan main.

SELESAI

cerpen:Bocah Malang

Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada ketulusan,
ketulusan semu,
karena akhirnya kenyataan selalu bicara tentang kedengkian di hatimu, ibu


Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada kelembutan,
kelembutan semu,
karena akhirnya kenyataan berteriak tentang kekasaran yang kuterima dengan kepolosan, ibu.


Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada kesucian,
kesucian semu,
karena akhirnya dunia mencela kesucianmu yang ternoda dengan kemunafikanmu, ibu


Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada kehadiran,
kehadiran semu,
karena akhirnya aku menyadari bahwa kehadiranmu untuk meniadakan aku


Wahai ibu...
Kau yang menciptakan kenangan di buku harianku
Kau menuliskannya dengan tinta putih
Tinta putih yang membuat aku tak mampu membaca ketulusan, kelembutan, kesucian, dan makna kehadiranmu.


       Seorang bocah duduk di bawah temaram lampu. Keadaan sekeliling telah sepi. Orang-orang yang sejak subuh beraktivitas di pasar, kini beristirahat pulang ke kediaman masing-masing. Tinggallah bocah laki-laki itu meratapi kemalangannya. Dia duduk di emperan toko. Duduk dengan lutut menempel erat di dada. Dia hanya membekali dirinya dengan sebuah tas ransel yang berisi 2 helai baju dan sebingkai cantik foto seorang pria. Pria itu adalah ayahnya. Ayah yang sangat dicintainya. Telah lama dia berpisah dengan ayahnya. Dia sangat merindukan ayahnya.

        Dia kemudian mencium dan memeluk erat foto itu. air matannya tak tertahan. Bocah laki-laki yang kesepian dan sangat malang. Dia akhirnya melewati malam pertama kabur dari rumah dengan merasakan jahatnya udara malam yang menusuk tulang. Dengan beralaskan kardus seadanya, dia mencoba terlelap dan bermimpi sang ayah datang menjemput. Emperan toko menjadi saksi bisu betapa udara malam itu sangat kejam menjamah tubuh lemah di bocah.

***

    Matahari belum lagi tampak, tetapi orang-orang sudah ramai beraktivitas kembali. Bocah kecil itu bangun. Matanya yang terasa berat dikuceknya. Akh... Dia kemudian mendesah lapar. Menyesal dia kabur dari rumah, tapi apa mau dikata, dia tak dapat bertahan menetap di rumah itu jika sikap ibunya selalu begitu.
Semua berawal ketika...

     “Putra, ibu tahu bagaimana kehidupan keluargamu, tetapi ibu tak habis fikir, kenapa kamu sampai menunggak uang sekolah selama 5 bulan?” Bu Dewi, kepala sekolah dasar tempat bocah itu bersekolah bertanya dengan penuh rasa curiga. Dia fikir tidak mungkin kedua orangtua bocah ini tak memberikan uang kepada Putra untuk diberikan ke pihak sekolah. Ayah bocah itu adalah seorang pengusaha. Apa mungkin bocah kelas 2 SD telah berani bertindak korupsi? Begitu fikir gurunya. Tapi bocah kecil itu tetap bungkam ketika dipanggil dan ditanya ini itu oleh kepala sekolah.
     “Baiklah Putra, sekarang kamu boleh pulang.” Ucap Bu Dewi dengan lembut. Putra terus merunduk. Sepanjang jalan yang dia fikirkan hanyalah “hadiah” apa yang akan dia dapat dari ibunya.
Bocah kecil itu bernama Putra Rilian, anak kandung dari seorang wanita bernama Miranda. Dia adalah istri dari pengusaha sukses bernama Burhan. Tetapi Burhan adalah ayah tiri Putra, bukanlah ayah kandungnya.
Sejak tinggal bersama ayah tiri dan ibunya, Putra merasa tidak bahagia. Hidupnya tidak bebas seperti ketika dia masih tinggal di rumah ayah kandungnya. 


       Semua itu harus dijalani bocah malang itu walaupun sebenarnya dia tidak menginginkan kondisi seperti ini, kedua ibu bapak kandungnya bercerai. Itu terjadi ketika usaha sang bapak mengalami pailit. Sang ibu yang enggan jadi susah memilih untuk bercerai dan pergi menikah lagi dengan pengusaha kaya di Bandung, sementara anak dan mantan suaminya tinggal di Jogja.
Awalnya Putra tinggal bersama ayah kandung yang juga sakit-sakitan semenjak perpisahan dengan mantan istrinya, saat itu Putra masih TK. Tapi setelah lulus TK dan ingin melanjutkan ke SD, ayahnya meminta si bocah untuk tinggal bersama ibunya di Bandung. Kondisi keuangan ayahnya sungguh sangat memperihatinkan, dan keselamatan Putra juga tidak akan terjamin karena belakangan sudah beberapa orang yang mengancam akan membunuh bocah malang itu jika ayahnya tidak segera melunasi hutang-hutangnya yang sudah mencapai angka milyaran rupiah.


        Sebagai anak, Putra tidak mampu mengelak. Apalagi ketika itu dirinya dianggap masih belum pantas “bicara”. Tapi tanpa disangka, keputusan untuk tinggal bersama sang ibu justru merupakan gerbang awal kesengsaraannya. Bocah malang itu mendapatkan seorang adik tiri dari ibu dan ayah di Bandung. Adik itu bernama Niven, umurnya 2 tahun lebih muda.
Setiap hari Putra selalu berkewajiban menjaga Niven. Walaupun sang adik telah memiliki seorang babysitter tapi tetap saja, Putra tak dapat lepas dari tanggung jawab. Putra dilarang bermain di luar rumah karena setiap saat harus mendampingi Niven.
Ketika ada sesuatu yang terjadi pada Niven, entah itu si adik terjatuh atau apa pun, maka bocah malang itu yang harus menanggung akibatnya. Putra tidak mendapatkan jatah makan siang atau bahkan dia dikurung di kamar mandi. Tak ada yang dapat menolong dirinya karena semua perintah di bawah kendali ibunya tersebut. Wanita itu tak segan memecat pembantu yang lancang melanggar perintahnya.
Putra hanya mampu tersenyum dalam pilu yang membuncah mengisi dada. Dia terus memandangi dan terkadang berbicara pada foto ayah kandungnya. Dia ingi pergi dari rumah ibunya ini tapi dia nggak tahu ke mana tujuannya. Dia tak mungkin mampu ke Jogja sendirian.
Sampai akhirnya keinginan tersebut terpenuhi. Pulang sekolah, bocah malang itu disemprot habis-habisan oleh ibunya. “Dasar anak nakal, kamu selalu saja membuat keluarga ini malu.” Putra berdiri merunduk dalam di hadapan ibunya yang berkacak pinggang. “Ibu Dewi baru saja menghubungi saya karena uang sekolahmu yang menunggak.”


        Ibunya diam sejenak.
        “Apa ayahmu tidak mengirimimu uang?...... Untuk kamu ketahui, saya hanya akan membiayai uang masuk pertama, biaya awal-awal sekolah, dan uang makan saja, selebihnya sata tidak mau menutupi pembayaran itu. bisa rugi saya. Sementara ayahmu di Jogja sana hanya diam, enak-enakkan di rumah tanpa merasa ada tanggungan. Dia kan seorang bapak, seharusnya dia lah yang membiayai uang bulanan sekolahmu.” Ucap ibunya sembari memandang ke taman belakang melalui dinding kaca yang berukuran besar dengan membelakangi tubuh anaknya.
“Kamu itu harusnya bersyukur, suami saya masih berbesar hati untuk mengijinkanmu tinggal dan makan enak di sini. Seharusnya kamu katakan pada ayahmu supayah dia lebih tahu diri. Kenapa tanggung jawabnya sebagai ayah dilimpahkan ke orang lain. Ketika dia masih kaya, wajar dia bisa memberikan kemewahan, tapi ketika dia susah kenapa dia tak berusaha bangkit, dia justru mengirimu ke saya dan suami saya. Memalukan.” 


       Bocah malang itu tetap diam dan merunduk. Bocah kelas 2 SD harus mencerna setiap kata yang dikeluarkan dari mulut ibunya. Dia pun belakangan mulai paham bahwa dirinya dibenci oleh ibu kandung sendiri. Tanpa sadar air matanya meleleh dan tekat untuk meninggalkan rumah menjadi semakin mantap. Kalau dulu dia ingin pergi karena tidak tahan dengan hukuman-hukuman dari ibunya tapi sekarang dia ingin pergi karena demi kebahagiaan ibunya yang sangat terganggu dengan keberadaannya.
“Sudah sana masuk kamar, lama-lama saya bisa mati karena darah tinggi saya naik.” Ibunya kemudian pergi tanpa memandang betapa sedihnya wajah sang anak. Putra masuk ke kamar dan segera mengambil pakaian seperlunya untuk perjalanan jauh yang mungkin akan dia lakukan.

***

“Assalamu’alaikum.” Sapa seorang ibu. Dia tampak membawa belanjaan banyak. “Walaikum salam.” Jawab Putra dengan sangat lirih. “Sedang apa kamu di sini? Ibu perhatikan sepertinya semalaman kamu tidur di sini ya?” tanya sang ibu sembari duduk di samping Putra.
Bocah malang itu mengangguk. Sang ibu memperhatikan Putra. Dalam hatinya terbersit perasaan janggal. Tidak mungkin dia gembel, pakaiannya bagus. Apa mungkin anak sekecil ini sudah berani kabur dari rumah? pikir ibu itu.
“Nak, kamu belum menjawab pertanyaan ibu, sedang apa kamu di sini?” ulangnya lagi. Putra masih diam. “Kamu lapar ya? ini ibu ada roti.” Ibu itu mengeluarkan 2 bungkus roti dari tas belanjanya.
Putra merampas roti itu dan tanpa sungkan dia langsung melahapnya. Sang ibu memandang dengan cemas. Dia menerka, sepertinya anak ini sedang memendam amarah, itu terlihat dari sorot matanya yang tajam memandang orang lain dan bahasa tubuhnya yang tidak terkontrol.

***

       Sudah 3 hari lamanya Putra tinggal di rumah Bu Siti. Ibu baik hati itu sengaja membawa Putra ke rumahnya karena Putra selalu diam ketika ditanya kenapa dia musti tidur di emperan toko pasar. selama 3 hari itu pun Putra masih saja diam. Putra tampak sebagai sosok anak kecil yang kaku, agak kasar, dan pendiam. Putra tidak banyak bicara, walaupun dengan Bu Siti, suaminya, atau kepada anak perempuannya yang 1 tahuan lebih muda dari Putra.


         Hingga ketika itu Bu Siti berucap, “Nak, kamu ibu izinkan tinggal selamanya di rumah ini, tapi ibu mohon, kasihtau ibu di mana rumah orangtuamu, siapa namanya atau nomor telepon mereka yang mungkin dapat ibu hubungi. Ibu tidak akan memaksamu pulang dengan mereka jika kamu tidak mau. Ibu hanya akan memberitahu bahwa anaknya sedang bersama ibu. Tapi jika kamu tidak memberitahu nomor telepon orangtuamu kepada ibu, ibu yang akan pergi dari sini, ibu akan dibawa ke kantor polisi karena dianggap telah menculikmu. Apa kamu mau ibu tinggal di kantor polisi? Tidak kan Nak?” ucap Bu Siti dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang.


         Putra diam dan tampak melamun tetapi kemudian dia menangis serta memeluk Ibu Siti erat-erat. Ketika ingin didekap oleh Bu Siti, Putra malah berlari. Dia mengambil tasnya di kamar. Dia menyerahkan secarik kertas pada Bu Siti. Kertas tersebut berisi alamat, nama, dan nomor telepon ibunya. Kertas itu adalah kertas yang diberikaan ayahnya ketika Putra untuk pertama kali ke Bandung dengan diantar oleh salah seorang tetangga.
“Nak, Ibu yakin kamu anak yang baik. Kamu tidak akan tega membantah perintah orangtuamu. Ibu tidak akan memaksamu pergi dari sini karena mulai saat ini, kamu juga anak ibu dan bapak, kamu kakaknya Aulia. Ibu dan bapak tidak akan senang melihatmu sedih dan Aulian pasti akan menangis jika kamu pergi dari sini dan tak pernah kembali. Kamu paham kan, Nak?”
        Kemudian Bu Siti mengecup kening bocah malang itu sebelum akhirnya Bu Siti ke kamar dan mengambil handphone-nya.

***

       Esok harinya, ayah tiri dan ibunya datang ke rumah Bu Siti. Setelah Bu Siti bercerita panjang, Ibunya Putra menangis. “Putra, ayo kita pulang!” itu ungkapan dari ibu kandungnya. Putra masih saja ketakutan walaupun sang ibu telah menangis.
“Wah...suhanallah, namamu Putra ya? ibu sampai belum tahu. Nama yang bagus. Putra itu artinya anak laki-laki dan yang namanya anak laki-laki itu harus kuat dan tak cengeng.” Bu Siti berucap kepada Putra. Bocah itu langsung tersenyum dan dia pun ikut pamit pulang.
Sepanjang jalan, Putra teruss saja diam. Tak dianggapnya keberadaan ibu dan ayahnya saat itu. Lamunan Putra tersadar ketika ibunya berucap, “Putra, ibu akan memberikanmu hadiah yang sangat kamu inginkan. “ ucap ibunya dengan sesekali memandang ke jok belakang tempat Putra duduk memeluk tas ranselnya.
“Ibu akan mengantarkanmu pulang ke Jogja.”

***

        Tiba di depan pintu pagar rumah ayahnya, Putra hanya terpaku. Dia melihat orang ramai berkunjung ke rumah ayahnya. Putra pun jadi tidak sabar untuk masuk. Langkahnya terhenti ketika suara sang ibu memanggil dari dalam mobil. “Putra, ibu dan ayah Burhan langsung ke Jakarta. Kami harus berangkat ke Singapura. Salam untuk ayahmu, kalau kamu mau ke Bandung, telepon ibu saja, nanti ibu akan menjemput.”
Putra mengikuti kepergian orangtuanya hingga mobil yang ditumpangi hilang dimakan jarak. Langkah Putra semakin mantap. Wah... Jangan-jangan sedang ada acara sambutan kepulangannya dari Bandung, pikir Putra bersemangat. 


        Putra pun menangkap pandangan senang dan haru dari para tamu yang hadir. “Lek....” teriak Putra ketika mendapati sosok lelaki yang dikenalnya. “Lek, Lek Parmin, ayah mana?” Putra mendekati pria itu. “Putra!” Lek Parmin berteriak ketika melihat Putra dan memeluknya haru. “Lek kangen denganmu, kok tidak pernah pulang tho Le?” tanya Lek Parmin. “Aku sekolah Lek.” Ucap Putra. “Sekarang lagi libur?”
Putra menggeleng. “Aku sudah tidak sekolah lagi Lek.”
“Ya sudah cepat masuk sana.” Ucap Lek Parmin sembari meneteskan air mata tak henti.
         Ketika kaki Putra melangkah menuju ruang keluarga, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, tubuh ayahnya yang dulu gagah perkasa sekarang terbaring kaku dengan berselimutkan kain putih. Orang-orang sibuk membaca yasin untuk mengiringi langkah ayanya kembali ke Pemiliknya. Bocah malang itu mematung, sesaat dia rasakan rohnya melayang entah ke mana. Orang-orang memandang bocah malang itu penuh iba. Setelah lamunan Putra tersadar, dia langsung menghambur memeluk tubuh kaku ayahnya. Air mata menjadi saksi betapa pilu kini benar-benar membuncah di hatinya.


        Kemudian bocah malang itu baru mengetahui bahwa ini bukanlah acara yang diadakan untuk menyambut kepulangannya melainkan untuk mengantarkan kepulangan ayahnya. Lagi-lagi bocah malang itu tak dapat bersuara. Dia menelan segala kepahitan hidup secara utuh dan memaksa diri memahami makna kehidupan sesungguhnya.