Sabtu, 21 Januari 2012

Resensi Buku: Kasidah Sunyi yang Religius





Judul buku: Kasidah Sunyi: Cerita Cinta Yusuf dan Zulaecha
Penulis: Achmad Munif
Penerbit: Cakrawala Fiksi
Cetakan: I, 2011
Tebal: 420

Sama halnya dengan kisah Yusuf & Zulaikha yang tertulis di dalam kita Alquran, novel ini juga mengangkat tema serupa. Tokoh utama adalah seorang gadis bernama Zulaecha yang mengagumi seorang pria bernama Yusuf. Echa, panggilan akrab Zulaecha merupakan seorang gadis kampung di pesisir laut selatan yang kemudian diangkat anak oleh keluarga kaya hingga akhirnya Echa menjadi artis terkenal.

Echa dan Yusuf kuliah di universitas yang sama. Kekaguman Echa meluntur ketika Yusuf pada suatu seminar anti pornografi-pornoaksi mengatakan bahwa artis-artis yang tidak berjilbab atau sebelumnya telah berjilbab tetapi kemudian melepasnya, harus kembali mengenakan jilbab jika ingin dikatakan sebagai wanita muslim. Echa yang mendengar ucapan Yusuf tersebut merasa tersinggung. Sebab sebelum menjadi artis, Echa berjilbab tetapi demi ketenaran, Echa melepaskan jilbabnya. Akhirnya Echa mengatur siasat untuk menjebak Yusuf dan ingin menguji iman Yusuf.

Novel ini sarat dengan nilai religius. Kisah kedua tokoh sangat mirip dengan kisah Yusuf & Zulaikha di dalam alquran. Bisa dikatakan bahwa Yusuf dan Echa adalah Yusuf dan Zulaikha versi modern, sebab konflik-konflik yang dihadapi oleh Yusuf dan Echa diwarnai oleh gaya hidup cowok-cewek modern. Tetapi di dalam novel ini juga menghadirkan pihak ketika yakni, Baron Handoko yang merupakan seorang sutradara film porno. Baron tertarik pada Echa dan ingin berkencan dengannya, tetapi gadis itu selalu dapat menghindar. Echa tidak nyaman dengan Baron sebab Baron jauh lebih tua darinya.

Novel ini juga mengisahkan pencarian jati diri para tokoh untuk menemukan hakikat hidup yang sesungguhnya, yakni beribadah kepada Allah. Tokoh Zulaecha mencari jati dirinya nasehat-nasehat guru ngajinya ketika di kampung dulu bernama Ning Maryam, “Echa masih ingat Ning Maryam pernah mengatakan bahwa kata ‘cinta’ jangan hanya dibatasi dengan pengertian sempit yakni ‘cinta asmara antara laki-laki dan perempuan’”. Nasehat-nasehat Ning Maryam serupa pagar yang menjaga “madu” Zulaecha.
Sementara pencarian jati diri Yusuf, dibantu oleh keberadaan catatan harian kakeknya yang telah meninggal. “Kadang Yusuf merasakan apa yang ditulis kakeknya itu lebih dari pada ‘kitab nasihat’ disbanding buku harian.” Dan terakhir, pencarian jati diri Baron Handoko sebagai makhluk ciptaan yang seharusnya membutuhkan Tuhan dibantu dengan kemunculkan seorang laki-laki tua misterius yang tiba-tiba meramalkan nasibnya ketika dia sedang di pesawat menuju Hongkong, “Baron akhirnya menganggap laki-laki tua itu mengigau. Tapi, pernyataannya bahwa ia gelisah cukup menganggu perasaan dan pikirannya. Benarkah aku gelisah. Kalau aku benar-benar gelisah, mengapa aku gelisah? Lalu Baron mencoba melakukan refleksi diri.”

Kekurangan novel ini hanya pada cara penyajiannya yang lebih seperti buku agama. Ayat-ayat alquran banyak bertebaran di dalam novel ini, seolah-olah novel ini lebih sebagai suatu buku panduan dalam beragama yang baik. Hal itu cukup membuat pembaca terganggu dan merasa digurui.

-diny_dinol-

Resensi Buku: Giganto, sebuah novel sains




Judul buku: Giganto, Primata Purba Raksasa di Jantung Borneo
Penulis: Koen Setyawan
Penerbit: Edelweiss
Cetakan: I, 2009
Tebal: 440 hlm

Novel ini diawali oleh kisah lenyapnya seorang bocah bernama Ruhai di jantung hutan Kalimantan. Bocah tersebut ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di atas perahunya oleh seorang peneliti bernama Erwin Danu. Ketika Ruhai kembali ke rumah, dia mengaku bahwa setelah kejadian itu dia selalu dihantui oleh mimpi buruk. Dalam mimpinya, Ruhai sering didatangi oleh makhluk mitologi yang serupa dengan Yeti (makhluk aneh seperti manusia yang berbulu panjang yang biasa hidup di pegunungan Himalaya, tinggi tubuhnya 2-3 meter). Akibat mimpi-mimpi buruk yang dialaminya, Ruhai pun kembali ke hutan untuk menemukan makhluk tersebut sekaligus menjawab rasa penasarannya.

Di sisi lain, novel ini juga menceritakan hilangnya seorang peneliti orangutan bernama Yudha Komara secara misterius di hutan larangan. Mitos beredar di kalangan masyarakat kampung di sekitar hutan tersebut, bahwa tak satu pun manusia yang diijinkan untuk masuk ke hutan larangan, jikalau ada manusia yang berani memasukinya, maka manusia tersebut dapat dipastikan pulang dalam keadaan mati mengenaskan.

Dipimpin oleh Chaudry Teja dan dipandu oleh Erwin Danu, akhirnya tim yang terdiri dari para peneliti rekan Yudha Komara dan penduduk kampung masuk ke hutan larangan mencari Ruhai dan Yudha Komara. Pencarian tersebut diwarnai oleh kepentingan masing-masing pihak. Ternyata Chaudry Teja hanya memanfaatkan rekan-rekan peneliti dan penduduk kampung untuk menemukan ras primata raksasa bernama Gigantopithecus blacki yang dianggap sebagai ras primata yang nyaris punah. Pencarian tersebut menuai hasil. Mereka menemukan Komara dan Giganto. Konflik muncul sebab Komara tidak ingin ada orang yang tahu bahwa masih terdapat Gigantopithecus blacki di hutan Kalimantan, maka dari itu dia dan Giganto didikannya selalu menyerang setiap manusia yang masuk ke hutan larangan.

Dengan membaca novel ini, kita tidak hanya dihibur karena novel ini merupakan karya fiksi, tetapi juga pengetahuan kita akan bertambah sebab Giganto adalah novel yang berlatar belakang ilmu sains. Inilah yang membuat novel ini menjadi berharga dan bernilai lebih, sebab tidak hanya memunculkan fiksi tetapi juga diwarnai dengan ilmu pengetahuan yang dapat menambah khasanah pengetahuan pembaca. Novel ini layak dibaca karena dari Giganto lah kita akan tahu bahwa dengan menemukan spesies langka, maka secara otomatis kita juga akan membuatnya punah. Sebab semakin langka suatu makhluk, maka nilai jualnya akan semakin tinggi. Tanpa sadar, kita justru membuat makhluk langka menjadi punah, sebab setelah menemukan makhluk langka, kita tidak akan terlepas dari peran pasar.

-diny_dinol-

Kamis, 19 Januari 2012

Hasil Liputan: PENGAMEN CILIK BERPENDAPATAN 3 JUTA PERBULAN




Namanya Slamet, seorang bocah asli Klaten bertinggi badan 140 cm tampak masuk dan mengamen di sebuah toko komputer yang terletak di Jalan Seturan. Sembari menunggu hujan reda sore itu, Slamet pun berteduh di emperan toko tersebut. Melihat Slamet yang masih berumur kira-kira 10 tahun, penulis tertarik menanyakan alasannya menjadi pengamen di usia sebelia itu. Ketika ditanya penghasilannya sebagai pengamen, Slamet mengaku berhasil mengumpulkan uang 100.000 rupiah setiap harinya dari hasil mengamen di perempatan UPN Jogja, dan beberapa toko di sekitar UPN. Jika dikalkulasikan, berarti pendapatan Slamet bisa mencapai angka 3 juta rupiah perbulan.
Menurutnya, jumlah tersebut belum dihitung berdasarkan jumlah pendapatan bila ia mengamen pada saat bulan ramadhan. Jika selain ramadhan, Slamet berhasil mengumpulkan 100.000 perhari, maka di bulan suci umat Islam, dimana masyarakat semakin sering bersedekah, Slamet berhasil mengumpulkan uang 500.000 rupiah perhari. Dengan begitu, berarti selama 1 bulan ramadhan saja Slamet mampu mengumpulkan uang 15 juta rupiah. Fantastis.

Penulis semakin tertarik menanyakan perihal “pekerjaan” Slamet lebih lanjut. “Uang itu untuk beli apa pun yang aku mau, aku bisa beli TV 29 inci.” Slamet mengaku bahwa ia membeli apa pun, termasuk barang-barang elektronika yang ia inginkan dengan uang dari hasil mengamen tersebut. Mendengar ceritanya, penulis kemudian bertanya, apakah Slamet juga punya rumah (mengingat Slamet memiliki barang-barang elektronika), ia mengaku bahwa dirinya beserta kedua orang tua tinggal di gubuk di bawah jembatan di Jalan Solo.

Slamet kemudian menceritakan perihal keluarganya. Slamet memiliki seorang adik yang juga menjadi pengamen. Begitu juga dengan kedua orang tuanya, sama-sama berprofesi sebagai pengamen. Slamet mengaku bahwa menjadi pengamen adalah pekerjaan yang sangat disukainya. Ia akan mendapatkan uang yang banyak dari hasil mengamen dan ia tidak perlu takut dibentak-bentak atasan jika pekerjaannya tidak beres, karena memang Slamet “berwirausaha”. Cita-cita tertinggi Slamet menjadi seorang pengamen sejati.

Ketika ditanya apakah dia masih ingin untuk melanjutkan sekolah? Mengingat Slamet telah mampu mengumpulkan uang banyak dan tentu saja uang tersebut cukup untuk membiayai sekolahnya, tetapi jawaban yang tidak disangka-sangka justru meluncur dari mulut mungilnya, “Sekolah tidak menghasilkan uang”

19 Januari 2012
lokasi: toko komputer Revo Technozone, Jl. Seturan Raya Utara (Timur Kampus UPN)
liputan oleh: Dimaz dan Rosyid

cerpen: PASRAH






Entah apa yang ingin aku tulis, maka tetap saja tangan ini kubiarkan bergerak bebas. Biarkanlah kegundahan hatiku tercurah dalam lembaran kertas. Katanya kertas itu bersih, dan manusia lah yang mengotorinya dengan tinta, entah itu tinta emas atau tinta gelap. Walau bagaimanapun “hebat”nya tinta, tinta tetaplah tinta. Begitu juga dengan aku, sekuat apa pun aku berusaha menahan, hati tetaplah hati. Terkadang mengalami masa kesuraman. Dan aku adalah akhwat, setangguh apa pun, tetaplah akhwat pernah terperosok dalam kesedihan.
Aku bingung. Satu kondisi yang aku mengerti. Bingung kenapa? Tentu saja karena ada sesuatu yang mengganjal di hati. Apa itu? nah...itu lah yang akan aku coba untuk korek. Kumelamun di kamar berjam-jam, hingga gedoran pintu itu kuanggap angin lalu. “Mbak, makan!” suara adikku melengking, seperti ingin bertanding dengan lengkingan hatiku yang bingung.
Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah dunia, lindungi aku dari fitnah harta, lindungi aku dari kesedihan yang mencengkeram hebat ini ya Rabb.
Aku ingat banget, kupanjatkan doa itu dalam keadaan seluruh tubuhku gemetar hebat dan lemas. Gemetar yang muncul karena harus menahan lapar. Setelah sarapan yang cukup mewah (nasi dan tempe kering), aku berangkat kuliah. Sepanjang jalan (dari rumah ke pinggir jalan besar) otakku berpikir hebat. Harus dengan apa aku membayar ongkos bis. Aku benar-benar nggak ada pegangan uang, nggak mungkin aku minta ke orang tua (maksudku adalah ibu sebagai tulang punggung keluarga). Di dalam tasku memang ada amplop berisi uang. Tapi....itu bukanlah uangku, itu uang kas kelas. Apa yang bisa aku lakukan dengan uang yang bukan hakku itu? bolehkah aku sekedar meminjamnya untuk sementara saja?
Kutunggu bis di pinggir jalan. Kutatap orang-orang yang berlalu lalang dengan perasaan iri.
Ah ya Rabbi. Perbedaan itu memang indah, dengan perbedaan itulah Engkau tunjukkan kebesaranMu. Dan di dunia ini, akankah aku yang menjadi salah satu manusia yang harus merasakan “indah”nya kehidupan yang berbeda dari manusia kebanyakan. Manusia-manusia seperti mereka yang berlalu-lalang di jalan raya itu. Mereka yang tampak tenang, mereka yang tampak “memiliki” segalanya di dunia ini. Mereka yang tak perlu memikirkan dengan apa harus membayar ongkos bis, karena mereka nyaman di dalam mobil pribadinya yang selalu tampak mengkilat.
Andai saja....
Wuusssss....tiba-tiba mobil melaju kencang lewat di depanku. Tersadar diriku dari lamunan. “Astagfirullah, ya Allah, lindungi hatiku dari mengeluh. Aku yakin semua ini adalah suratanMu, aku yakin hidupku adalah skenarioMu, dan aku harus jalani. Jalani dengan sabar. Hadapi cobaan dengan sabar dan shalat. Dan aku tinggal menunggu bagaimana ending kisah hidupku ini.”
Huufftt...ya Allah, tapi bagaimana dengan ongkos bis?


***
Siang hari di kampus, perutku rasanya sakit banget. Aku laper, aku tahu itu, tapi coba kupungkiri. Aku harus tahan. Memang tubuh punya hak untuk makan, tapi saat ini kenyataanlah yang berbicara. Aku berjalan menuju masjid. Kudinginkan diriku dengan wudhu. Beberapa saat aku terbenam dalam kekhusyukan. Ya allah.
Setelah salam dan sebentar berdzikir, aku merogoh tasku. Berharap ada sesuatu yang bisa aku makan. Dan alhamdulillah, kutemukan beberapa buah permen. Lumayanlah untuk mengganjal perutku.
Di serambi masjid, aku termenung.
Ya Allah, maafkan hambaMu ini. Belakangan ini kerjaku hanya merenung, melamun, dan diam. Semoga diamku ini bernilai ibadah. Amin.
Aku berfikir, tak mungkin selamanya aku begini. Aku harus apa. Aku ingin bekerja, tapi tak mungkin. Jadwal kuliahku mengikat. Aku masuk jam 7 pagi dan pulang jam 3 sore. Aku memang mendapat beasiswa, tapi itu hanya untuk biaya kuliah. Untuk biaya lainnya, seperti ongkos dan uang fotocopy materi?
Kondisi kesehatanku tak memungkinkan aku untuk bekerja malam, lagipula aku akhwat, aku perempuan. Orang tuaku pasti tak mengijinkan aku berada di luar malam-malam tanpa muhrim yang mendampingi.
Belum selesai aku berfikir, aku sudah harus berhadapan dengan kenyataan. Ini udah waktunya aku pulang. Lagi-lagi masalah ongkos. Huufftt....astagfirullah.
Aku berjalan dari gerbang kampus ke pinggir jalan besar dengan langkah gontai.
Ya allah, lemahnya diriku ini. Lindungi aku dari fitnah dunia, lindungi hatiku dari mengeluh, ya allah, ya allah, ya allah. Astagfirullah.
Aku duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Nekatnya diri ini, berani menunggu bis tanpa tau harus membayar ongkosnya dengan apa.
“Assalamu’alaikum Lis.”
Tiba-tiba seseorang menghampiriku. Dia menghentikan motornya tepat di depan dudukku. “Walaikum salam, eh ternyata kamu.” Ucapku dengan senyum ceria. Walaupun sedih dan bingung, tetapi tampak ceria di hadapan saudara sesama muslim itu kan sunnah. Dia adalah temanku kajian. Nuri namanya.
“Dari kampus ya Nur?”
Aku dan Nuri berbeda kampus, tapi rumah kami searah.
“He.eh....harusnya sih kuliah, tapi dosennya nggak ada, jadi anak-anak pada pulang. Kamu sendiri?”
“Aku lagi nunggu bis nih.”
“Mau bareng Lis?”
Sejenak aku terdiam. Inginnya langsung menerima ajakan itu, tapi...
“Aku nggak bawa helm, gimana dong?”
Nuri tampak berpikir. “Hhheemmm....kayaknya di depan situ udah nggak ada pos polisi deh. Ya...walaupun masih ada persimpangan. Gimana?”
“Ya udah deh, boleh boleh.”
Aku pun naik di motornya Nuri. Sepanjang jalan kami mengobrol, yang pada akhirnya Nuri menawarkan untuk mengajakku mampir sebentar di rumahnya. Maklum, kami sudah lama nggak bertemu. Mungkin sudah sekitar 2 mingguan. Selama 2 minggu itu Nuri izin kajian, dia dan keluarganya musti ke luar kota karena urusan tertentu.
“Ayo Lis, masuk. Aku ke belakang sebentar ya, kebelet ke kamar mandi. Hehehee”
Rumah Nuri sederhana dan asri. Aku lumayan sering berkunjung ke rumahnya. Nuri anak yang baik dan ramah. Aku nyaman dekat dengannya walaupun keluarga Nuri baru beberapa bulan pindah ke daerah sini.
“Lis, diajak makan tuh dengan Ibuku. Kamu pasti laper, kan dari kampus. Yuk makan bareng aku.”
Kulirik jam dinding. Udah jam 4 sore. Ya allah, aku baru makan tadi pagi-pagi sekali sebelum berangkat kuliah, alhamdulillah, akhirnya bisa makan juga.
Aku mengikuti Nuri menuju meja makan. Di samping meja makan adalah ruang keluarga. Tampak Ibunya Nuri duduk di situ sembari membaca buku. Di ruang keluarga banyak terdapat lemari-lemari buku yang besar-besar banget. Kelihatan kalau keluarga Nuri senang membaca buku.
“Assalamualaikum Bu.” Sapaku dengan santun. Kudekati Ibunya Nuri dan mencium punggung tangannya tanda penghormatan. “Walaikum salam. Wah, sudah lama nggak kemari ya Lis?”
“Iya Bu, Ibu dan Bapak sibuk, sampai-sampai harus keluar kota beberapa minggu.” Jawabku. “Ah kamu bisa saja, ya sudah sana, temani Nuri makan.”


***


Setelah makan, Nuri mengajakku masuk ke kamarnya. Kami ngobrol. Nuri merebahkan badannya di atas ranjang. Aku duduk tepat di sampingnya. “Gimana Lis, kajian kemarin? Kan aku nggak datang.”
“Ya gitu, materinya masih seputar cinta. Ukkhhh....emang cinta itu gak akan basi, tapi apa setiap kajian musti itu terus yang dibahas?”
“He.eh” Nuri bangun dari tidurnya dan duduk di sampingku. “Aku setuju tuh, materi cinta emang cocok untuk teman-teman yang udah siap nikah, tapi untuk aku? ya ampun, belum siap nikah, tapi malah jadi kepingin gara-gara materi itu. Pasti temen-temen banyak yang curhat deh.”
Aku tersenyum. “Udah bisa kutebak.” Celetuk Nuri.
“Terus kamu sendiri?” tiba-tiba Nuri menatapku. “Aku? kenapa dengan aku?”
“Keadaanmu gimana? Bukannya belakangan ini kamu sering sakit? Kenapa tho? Kampus lagi banyak agenda?”
“Ah...enggak juga, mungkin badanku aja yang lagi drop.”
Hheeemmm....
“Kamu kelihatan lain Lis, ada apa tho?”
“Maksud kamu?”
“Aku kan perhatikan, kamu nggak semangat gitu. Ada masalah? Curhat dong, biasanya juga curhat ke aku.”
Aku terdiam. “Aku yakin, kamu lagi ada masalah kan?” Nuri bangkit mengambil buku. “Eh iya, ini bukumu yang aku pinjem....”
“Sebulan lalu.” Aku memotong omongan Nuri. “Hahahahaa...ya maaf. Ya udah, sekarang cerita.”
“Ya biasalah Nur, masalah masih seputar keluargaku.”
Nuri manggut-manggut. “Kalau kamu berat, ya nggak apa kalau nggak mau cerita.” Nuri tersenyum menguatkan hatiku. “Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan, aku capek memendam masalah ini Nur, rasanya otakku udah butek. Aku pusing dan bingung.”
“Pelan-pelan Lis, cerita dari awal, apa yang mau kamu bagi ke aku?”
“Ayahku Nur, ayahku. Aku benci dia.”
“Kenapa? Apa alasannya?”
“Ya ini sebenarnya aib keluargaku Nur, aku sebenarnya malu mau cerita ini, tapi aku nggak tau, aku udah coba memendam tapi nggak kuat, makanya belakangan ini aku jadi sering sakit.”
Nuri menatap mataku dalam. Aku yakin kalau itu tanda simpatiknya kepadaku.
“Ayahku semakin menjadi Nur, sempat aku memiliki pikiran untuk stop kuliah. Entahlah, aku bingung. Nggak mungkin aku begini terus, aku nggak bisa bergantung hanya pada beasiswa. Kebutuhan kuliah tidak hanya sekedar SPP, tapi juga biaya fotocopy materi, buku, termasuk juga ongkos kuliah.”
Aku menarik nafas. Rasanya kesedihanku sudah meluap dan sebentar lagi akan pecah.
“Sekarang hanya ibuku yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayahku tak mau bekerja, tiap malam hanya mabuk-mabukkan. Aku heran, kenapa ibu sangat mencintainya. Mungkin memang benar, dulu orang tua ayahku keturunan ningrat, tapi kan sekarang berbeda, ayahku adalah anak yang terbuang. Dia kini miskin, tapi kenapa nggak sadar-sadar sih.”
Nuri menatapku, diam seribu bahasa. Mungkin dirinya bingung dengan sistem ningrat. Maklum, Nuri berlatar belakang keluarga Melayu, berbeda denganku yang berlatar belakang keluarga Sunda.
“Ya begitulah, sempat aku bingung mengatur diriku sendiri. Lebih tepatnya bingung mengatur rasa yang bercokol di hatiku, di satu sisi aku sangat membenci sikap ayah, tapi di sisi lain aku di hadapkan pada kenyataan bahwa dia adalah ayahku, dan ibu pernah bilang ‘sejelek apa pun ayah, dia tetaplah ayahmu’. Nah, aku harus bagaimana? Tak dipungkiri rasa benci itu memang ada di hatiku. Aku kasihan dengan ibu, tapi....”
Ucapanku tertahan. Rasanya letih bibir ini untuk berbicara seputar ayah ayah dan ayah. Tapi saat ini hanya itu yang membuatku bingung. Perasaan benciku ke ayah. Salahkah aku? durhakakah aku?
“Lis, tabahkan hatimu, kuatkan dirimu, bulatkan keyakinanmu akan pertolongan allah. Aku hanya bisa ngomong, kita hidup di dunia hanya untuk beribadah kepada allah. Niatkan semuanya untuk ibadah. Termasuk juga dalam menghadapi masalah. Dan lagi, dari dulu, aku punya prinsip bahwa sehebat apa pun manusia, tak ada yang mampu menyelesaikan masalah hidupnya. Aku yakin. Kenapa? Karena aku menganggap masalah adalah bagian dari cobaan, dan cobaan hidup yang memberikan adalah allah. Sebenarnya yang allah inginkan hanyalah kita tepat dalam menyikapi masalah. Allah hanya ingin tahu dan ingin membuktikan bagaimana sebenarnya cara kita menghadapi masalah. Apakah ketika ada masalah kita mendekat dan meminta pertolongan ke allah atau justru malah menjauh dari allah.....”
“Tapi kan allah Maha tahu, kenapa allah masih ingin tahu, bukankah seharusnya allah sudah tahu?” tanyaku memotong ucapan Nuri.
“Allah memang Maha tahu, sama halnya dengan ‘seharusnya kita tak perlu berdoa, kan allah Maha tau’ tapi kenyataannya kita tetap harus berdoa, bukan karena sekedar menyampaikan keluhan-keluhan kita tetapi lebih dari itu, berdoa sebagai tanda bahwa manusia itu lemah, manusia membutuhkan allah. Begitu juga dengan ‘masalah’. Allah ingin tau, apa yang akan manusia lakukan jika ditimpakan masalah, akankah manusia itu mendekat dan berdoa kepada allah, yang itu artinya si manusia tersebut merasa membutuhkan allah, ataukah justru menjauh dari allah, yang itu artinya si manusia merasa tak membutuhkan allah, manusia itulah yang dikatakan manusia sombong.”
“Hheeemmm....sebenarnya hidup itu gampang ya Nur” tuturku setelah mendengar nasehat-nasehat Nuri. “He.eh, tapi manusianya yang membuat hidup itu sulit”
Tit..tit..tit..
Hapeku bunyi dan bergetar tanda sms masuk.


“Lis, besok tolong bawa uang kas kelas kita, soalnya mau aku pakai untuk membeli kebutuhan kelas, ok trims.”


Aku membaca tulisan di hapeku dengan perasaan kacau. The new problem. Bagaimana bisa besok aku membawa uang kas itu. Bagaimana dengan kekurangannya? Atau begini saja, besok aku berdiri di depan kelas sembari mengatakan, “Maaf teman-teman, uang kasnya kurang soalnya kemarin aku pinjam untuk fotocopy tugas kelompokku” beranikah aku mengatakan begitu? Bagaimana tanggapan teman-temanku?
Ahh..ya allah.

Cerpen: Cintaku Tak Berimbang


Yuli duduk di samping putrinya yang tertidur karena kelelahan, di samping putrinya tertidur pula suaminya, Beni. Yuli menatap di kedalaman wajah kedua manusia yang dicintainya itu. Yuli pun berucap, “Oh sayang, wajahmu mirip sekali dengan ayah. Kamu memang putri ayah, Din.” Sembari menatap bergantian wajah Dinda, putrinya dengan wajah Beni, suaminya. “Bunda sayang kamu Din.” Ucap Yuli sembari mencium kening putrinya, dalam dan tenang. “Bunda juga sayang ayah.” Kemudian Yuli mencium pipi suaminya. Yuli berhati-hati sekali menggerakkan tubuhnya agar mencapai wajah suaminya, Yuli khawatir membangunkan putrinya.
Dia kemudian bangkit dan hendak ke luar kamar. Sebelum keluar, tak lupa Yuli membereskan buku-buku Dinda yang berserak di lantai. Dibukanya buku-buku pelajaran sekolah Dinda. “Oh sayangku, kamu sudah 14 tahun.” bisik Yuli dalam hati. Terbayang betapa waktu telah berjalan dengan sangat cepat. Baru beberapa waktu lalu, Yuli menikah dengan Beni, tetapi sekarang putri mereka sudah berumur 14 tahun. Yuli menyadari bahwa putrinya sedang menginjak masa remaja. Bagi seorang anak perempuan, melewati masa remaja itu tidaklah mudah. Wajar bila Yuli merasa khawatir dalam mendidik putrinya. Tantangan sebagai orangtua pastilah tidak mudah, terlebih lagi saat ini, dimana pergaulan remaja semakin tak terkendali.
Yuli bangkit dan bergegas menuju meja kerjanya. Leptop tetap menyala dan tugas-tugasnya telah menunggu. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang merangkap guru sekaligus novelis, tentulah tantangan Yuli lebih dari ibu rumah tangga biasa. Fokusnya terbagi untuk suami, anak, dan untuk masyarakat.
Sebelum menuliskan lanjutan novelnya kali ini, Yuli menuliskan sesuatu yang digunakannya sebagai kenangan hidupnya.


Teruntuk putriku sayang, Dinda Kurniawan


Sayang, kamu malam ini tidur dengan wajah berbalut letih
Hatimu kutahu pastilah sangat bersih
Kuingin mengisinya, mengisi dengan kasih
Kamu lebih dari seorang manusia yang lahir dari rahimku
Sampai kapanpun, kusayang kamu, peri kecilku
Kuharap kamu tahu itu
***
Yuli menyiapkan sarapan. Sengaja Yuli membuatkan nasi goreng seafood kesukaan Dinda. Walaupun dia tahu kalau suaminya alergi seafood. Jelas saja, Beni berkomentar heboh melihat surprise istrinya pagi ini. “Sayang.” Beni mencium pipi istrinya. “Ya Allah, sayang, ada apa ini?” Beni melihat dengan kaget tiga buah piring berisi nasi goreng di atas meja. Yuli hanya tertawa kecil.
“Wah, bunda udah masak sarapan nih, tumben buat nasi goreng.” Dinda keluar dari kamarnya dengan seragam lengkap. Wajahnya manis berbalut jilbab putih. “Kamu kok bilang gitu sih sayang?” Yuli pura-pura merajuk. “Biasanya kan roti Bun, maaf deh.” Dinda mencium pipi bundanya. “Ini jatah kamu Din, nggak mungkin ayah makan nasi goreng ini.” Ucap Beni sembari menyeruput kopi hangatnya. “Loh kenapa Yah?”
“Nih lihat!”
“Wah, ada seafood, asiiik!!” Dinda melonjak kegirangan. Ceria sekali wajahnya, manis sekali tawanya, mentari pagi menambah aurah keindahannya. “Tenang Yah, bunda udah menyiapkan khusus untuk ayah.”
Dinda dan Beni tampak penasaran, menanti kejutan dari Yuli. “Nih, telurnya udah matang. Nah untuk ayah, nasi goreng telur mata sapi dengan ati ayam. Hhhmmm…nyammmii…”
“Wah, bunda hebat. Istriku hebat.” Ekspresi Beni.
Suasana pagi yang hangat di meja makan, membuat spirit tambahan untuk Beni menjalani harinya yang penuh dengan tuntutan pekerjaan.
“Bun,…” nyam-nyam-nyam “hari ini aku ada tugas presentasi di depan kelas loh” nyam-nyam “wah, aku ingin seperti bunda, bisa bicara di depan orang banyak.” Ucap Dinda terputus-putus karena mengunyah makanan di mulutnya. “Kalau ngomong, habiskan dulu makanan di mulutmu sayang.” Beni mengingatkan putrinya. Yuli tersenyum melihat tingkah lucu putrinya.
“Kamu pasti bisa, asalkan kamu serius belajar.”
“Iya bun, Dinda selalu serius belajar kok, mudah-mudahan Dinda bisa jadi pembicara seperti Bunda.”
“Amiin…” ucap Yuli dan Beni berbarengan.
***
Beni tampak mengutak-atik CPU rusak milik pelanggan toko tempat Beni bekerja. Telah dua tahun Beni bekerja di toko komputer itu sebagai teknisi. “Ben, masih sibuk?” tiba-tiba muncul Mas Rahmat. Dia senior Beni di toko. “Ah, enggak kok Mas.”
“Nih, ada makan siang.”
“Wah, tumben nih, ada apa?”
“Tadi si Dian bawa beberapa bungkus nasi. Katanya sih syukuran, tapi nggak tau syukuran apa.”
Nasi bungkus yang diterimanya, diletakkan di atas meja dulu, dan Beni kembali mengutak-atik CPU. “Wah Ben, ini CPU udah lama di sini, hubungi aja user-nya, dia mau ambil barangnya ini atau tidak, daripada bikin sampah di toko.” Saran Mas Rahmat. “Iya Mas, udah aku hubungi, katanya sih lusa baru mau ambil. Padahal ini CPU udah OK.”
“Eh Ben, anakmu sudah kelas berapa sekarang?”
“Kelas 2 SMP Mas, wah lagi puber-pubernya.” Jawab Beni. “Istrimu sekarang kerja dimana?”
“Dia ngajar di SMA Mas, tapi itu sih hanya kerja sampingan, hanya sebagai guru honor, soalnya fokus dia itu menulis novel Mas.”
“Istrimu hebat ya, penulis terkenal. Sering mengisi seminar kesana-sini.” Puji Mas Rahmat sembari mengelus-elus jenggotnya yang tipis. “Alhamdulillah Mas, tapi kan penulis baru, jadi belum hebat bangetlah Mas.”
“Kamu ini memang selalu merendah.” Ucap Mas Rahmat dengan tersenyum dan kemudian keluar ruangan teknisi.
***
“Anak-anak, apa yang kalian alami pagi ini?” tanya Yuli kepada murid-muridnya di kelas. “Biasa aja Bu, nggak ada yang penting” jawab salah seorang murid laki-laki yang duduk di sudut kanan belakang. “Selain itu?”
Suasana hening. “Kamu, Ber” tanya Yuli kepada murid perempuan bernama Berni. Murid yang ditunjuk langsung kaget karena memang dari awal dia tidak memperhatikan penjelasan Yuli di depan kelas. “Hhmmm….” Berni tampak kebingungan. “Lain kali, jangan main henpon terus.” Yuli menegur dengan pandangan menunjukkan ketegasan. “Maaf bu.”
“Nah anak-anak. Hari ini kita akan membahas soal cerpen.”
Anak-anak memperhatikan Yuli yang berbicara di depan kelas dengan antusias. “Siapa yang suka baca cerpen?” beberapa anak tampak mengacungkan jarinya.
Yuli menjelaskan apakah yang dimaksud cerpen, unsur-unsur cerpen, dan bagaimana menulis sebuah cerpen yang bagus. “Tulis dari pengalaman apa yang terdekat dengan kalian, supaya menulis cerpennya jadi mudah.” Anak-anak mengangguk dan ada pula yang masih terbengong.
***
“Sayang, gimana kalau kita menyewa pembantu?” tanya Yuli malam itu sembari tiduran di samping suaminya. “Wah Bun, bagus tuh, kalau ada pembantu kan Bunda nggak perlu capek-capek ngerjain kerjaan di rumah.” Celoteh Dinda sembari mengerjakan tugas sekolahnya di meja belakang di samping tempat tidur. “Nah, Dinda sudah setuju, ayah gimana?” Yuli tersenyum senang mendengar tanggapan anaknya.
“Ayah nggak setuju.”
“Loh, kok ayah gitu sih? Kan bunda kasihan Yah.” Dinda membela Yuli. Kini Dinda beralih duduk di samping Yuli. “Gini ya Dinda sayang, kalau ada pembantu, ntar pahala bunda diambil pembantu dong.”
“Maksud ayah apa?” Dinda bingung.
“Seorang ibu itu kan pengabdiannya di rumah, jadi kalau pakai pembantu, ntar pahala bunda diambil pembantu.”
“Ah, Dinda bingung Yah.”
“Gimana bun?” tanya Beni ke Yuli. Wanita itu diam. Dia tahu kalau suaminya nggak menyetujui usulnya. Dalam hati, Yuli memberontak, kenapa harus nggak boleh, bukannya kalau memang dengan adanya pembantu, dia lebih produktif kan malah lebih bagus.
***
“Sayang, aku mohon, agar kita pakai jasa pembantu. Pliisss sayang.” Yuli memohon. Malam itu Dinda udah tidur di kamarnya. Yuli dan Beni mengobrol di ruang tengah. “Istri itu kan pengabdiannya di rumah Yul, kamu mau kalau pahalamu diambil pembantu?” Beni bertanya dengan menatap mata Yuli, dalam.
“Kalau bicara soal pahala, aku tentu nggak mau kalau pahalaku diambil orang lain, tapi kalau dengan adanya pembantu, kita malah bisa lebih produktif, kenapa enggak.” Yuli berusaha mempertahankan pendapatnya. Beni masih diam, tetapi kini pandangannya beralih dari wajah istrinya ke buku yang sedang dibacanya.
“Ben…” Yuli mengubah panggilan sayangnya ke suami, dari “sayang” ke “Beni”. Beni menatap istrinya. “Sayang, aku nggak mau kamu lalai dengan tugasmu sebagai istri.”
“Tenang sayang, aku insya allah nggak akan lalai, dan kamu tenang saja, pembantu tidak akan menginap di rumah.”
“Kalau siang hari bagaimana? Kalau pas aku di rumah sementara Dinda dan kamu lagi di luar bagaimana?” suara Beni mulai meninggi. “Sejak pertama kamu bekerja di luar rumah, sudah aku wanti-wanti jangan sampai kamu melalaikan tugasmu sebagai seorang istri, dan lihat sekarang, kamu sudah mulai longgar soal peraturan yang kita buat sendiri.” Beni menatap Yuli dengan tatapan penuh ketegasan.
“Aku nggak mungkin melarangmu berkarya di luar rumah, tapi aku juga mohon pengertianmu, kalau aku juga punya keinginan menyangkut rumah tangga kita, dan aku nggak mau kalau kamu melanggar peraturan yang kita buat sendiri. kamu berbicara di depan orang banyak, mengajak mereka untuk berkomitmen dengan peraturan yang dibuat untuk konsisten menulis, tetapi kenyataannya, kamu sendiri melalaikan komitmenmu denganku.” Emosi Beni meledak.
Yuli masih belum bisa menerima pendapat Beni. Baginya, kalau bisa berkarya di luar rumah, bermanfaat bagi orang banyak, dan pekerjaan rumah dapat didelegasikan ke orang lain, kenapa tidak.
“Ben, aku ingin seperti ibuku Ben, yang bisa mandiri soal penghasilan, kalau begitu aku kan nggak perlu merepotkanmu lagi, kamu bisa bekerja dengan tenang, tanpa diburu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin banyak. Aku berusaha membantumu Ben, bukan aku egois, kenapa kamu nggak mau mengerti?” Yuli membalas pendapat suaminya.
“Ohh, jadi sekarang, kamu malah merendahkan pekerjaanku, aku tahu Yul kalau penghasilanku tidak sebesar penghasilanmu tetapi kamu harus ingat kalau aku ini kepala rumah tangga, kamu harus mengikuti apa yang aku sarankan untuk kebaikan rumah tangga kita.”
“Tapi istri juga punya hak untuk berpendapat Ben, kamu jangan kolot begitu.”
“Apa? Kamu katakan aku kolot? Hei Yul, kamu sadar tidak dengan ucapanmu itu?”
Yuli diam tetapi perasaannya penuh dengan amarah yang siap dimuntahkan kepada siapa lagi kalau bukan kepada suaminya. Tetapi coba ditahan oleh Yuli. Walaupun begitu, tatapan mata Yuli ke Beni tak bisa menipu Beni. “Aku tahu kamu nggak setuju dengan pendapatku, tapi aku harus bagaimana lagi menjelaskan ke kamu Yul?”
“Sepertinya kamu terlalu menganggap bahwa sosok istri yang ideal itu yang pengabdian total di rumah, aku nggak bisa seperti itu Ben, aku bisa tertekan. Aku ingin berkarya di luar, dan soal pembantu, apa salahnya kalau hanya membantu mencuci baju dan masak. Aku janji Ben, insya allah, aku nggak akan kebablasan. Aku akan menjadi istri yang kamu inginkan, aku akan mendidik putri kita. Lagipula kamu tahu sendiri, betapa Dinda bangga dengan ibunya yang bisa berarti untuk orang banyak, jaman sekarang, jarang loh Ben, ada anak yang bangga dengan orangtuanya.” Yuli berargumen panjang.
Beni diam.
“Toh, apa bedanya pembantu yang membantu memasak dan mencuci baju dengan jasa laundry dan penjual lauk siap masak? Selama ini terkadang kamu malah menyarankan aku membeli lauk di warung makan supaya aku nggak terlalu capek masak. Jadi kan sama saja Ben, tapi kalau kita pakai jasa pembantu pribadi, malah lebih terjamin, soalnya kita tahu dia masak dengan bahan yang baik dan halal atau tidak, dan sebagainya.”
Beni diam. “Bagaimana Ben?” Yuli menanti jawaban setuju dari suaminya.
“Baiklah Yul, kita pakai jasa pembantu.” Jawab Beni dengan lemah.
“Entah bagaimana caraku berbicara denganmu, aku selalu kalah berargumen.” Batin Beni yang kemudian kembali menekuri buku bacaannya.
Sementara Yuli dan Beni berdebat panjang, di dalam kamar, Dinda mendengarkan percakapan orangtuanya dengan seksama. “Ada apa dengan orangtuaku?” pertanyaan menari-nari di benak Dinda. Selama ini dia selalu melihat orangtuanya mesra, tak pernah berdebat hebat seperti sekarang. Masa awal usia remaja Dinda diwarnai dengan bayangan pertengkaran orangtuanya.


SELESAI
Jogja, 11 Nov 2011
pic from deviantart.com

Cerpen: Malam-Malamku






Malam pertama


Aku dibawanya masuk ke kamar. Di sana-sini, di setiap sudut kamar tampak cantik dengan hiasan bunga-bunga, romantis. Aku tak berani menatap wajah lelaki yang berjalan di depan dengan menggenggam erat tangan kananku. Tangan kanan selalu menjadi simbol kebaikan, dan kuharap dia kunciku masuk ke Jannah, bersama. Wajahnya yang kuning langsat dan tubuh yang gagah berisi, membuat hatiku minus. Aku siapa? Hanya gadis jelek, hitam, dan tak menarik. Tapi dia menikahiku. Pernikahan menjadi kunci mutlak aku memiliki dia seutuhnya, jiwa dan raga.
Di atas ranjang bertabur hiasan bunga dia mendudukkanku. Matanya dalam memandang mataku, hatiku menciut. Malu dan kuyakin mukaku memerah. Dia masih lekat menatap kedua bola mataku. Perlahan, kurasakan air mata menetes melawan pertahanan kantung mataku.
“Kenapa kamu menangis dek?”
Hatiku terenyuh mendengar pertanyaan itu. Kenapa aku menangis? Ya, aku merasa kisah dongeng benar-benar terjadi dalam hidupku. Seorang pangeran muda, bertubuh gagah perkasa, menikahi aku seorang perawan tua. Bahkan aku tak tega mengingat berapa umurku kini, hanya membuat hatiku menciut. Satu-satunya yang mampu menjawab jumlah umurku adalah guratan keriput yang menjadi penghitung setia.
Tanpa sempat aku menjawab pertanyaan lelaki yang kini menjadi suamiku, dia kembali membuatku terkejut, dia membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan khusyuk dia mencium keningku, sangat dalam hingga menembus hati, tenang.


Malam berikutnya


Telah seminggu aku melewati malam-malamku dengan lelaki itu. Dia suamiku, aku berhak atasnya, segala yang diharamkan menjadi halal untukku dan dia. Tetapi aku tak merasakan nikmatnya kehalalan itu. Dia suamiku. Dia membiarkanku merasakan nikmat yang tertahan.
“Sabar ya dek, semakin ditahan, semakin nikmat.”
Ucapan suamiku selalu coba kuturuti. Toh, hanya masalah memasukkan dalam lubang, mungkin suamiku butuh waktu untuk beradaptasi.
Malam ini, malam kesekian aku tidur bertolak punggung dengan laki-laki yang menjadi suamiku. Sebelum tidur, suaranya yang merdu membacakan kalam Illahi membuat hatiku sedih. Selalu aku dibuatnya menangis. Menangis yang indah dan nikmat, karena menangisi dosa-dosaku.
Suamiku, aku selalu sayang padanya. Dia mengisi kehampaan hatiku. Hampa yang disebabkan dosa-dosa yang kulakukan. Dia menjadi seorang tukang kebun yang setia menyirami taman gersang hatiku. Perkataannya halus dan sentuhannya lembut.
Malam ini, dia membaca ayat-ayat alquran lebih banyak dari biasanya. Aku mendengarnya sambil berbaring dengan membelakangi duduknya. Perlahan kurasakan air mata semakin deras menetes. Ketika suara sesenggukan tak sanggup kutahan, suamiku memelukku, menyadari kalau istrinya menangis.
“Kenapa dek?”
“Mendengar Mas membaca alquran membuat aku sedih dan menyesal. Kenapa dulu aku begitu mudah mengerjakan dosa.” Ucapku tanpa menoleh ke wajah suamiku yang menempel di pipi kananku.
“Setiap manusia tak pernah lepas dari dosa.”
Ucapan terakhir suamiku tak kudengar. Entah mengapa, timbul suatu perasaan dalam hatiku. Aku seperti menginginkan sesuatu, tetapi apa itu? aku nggak tau. Aku merasakan ada dorongan yang kuat dalam diriku. Dorongan itu menguasai segenap pikiranku, hingga tanpa sadar aku membayangkan intimnya malam pengantin.
Aku terus membayangkannya. Bayangan itu sangat jelas seolah banyangan itu adalah cermin diriku dan suami. Sampai akhirnya aku merasakan di satu sudut tubuhku lembap.


Malam berikutnya


“Mas, ibuku di kampung bertanya kapan aku hamil Mas?” aku memendam wajahku dalam-dalam di bawah ketiak suamiku. Aku tak jijik sedikit pun dengan ketiak itu. Bahkan ketika suamiku diare, aku yang mencuci kotorannya. Aku tak jijik. Keringat suamiku adalah keringatku. Aroma mulutnya ketika baru bangun tidur, menjadi aroma unik yang selalu aku rindukan bila berjauhan dengan suamiku.
“Sabar dek, sebelum kita punya anak kita harus melakukan prosesnya dulu.”
Aku diam. Aku tak melanjutkan pertanyaanku yang terkesan bawel. Aku tahu, kalau sudah menyangkut “proses”, itu menjadi sesuatu yang sensitive bagi suamiku.
Sudah beberapa bulan menikah, aku belum juga merasakan nikmatnya kehalalan “proses” itu. Beberapa kali aku coba meminta jawaban dari suamiku, tapi dia selalu memohon dengan sangat untuk jangan bertanya soal itu. Wajahnya langsung panik dan pucat ketika aku coba menanyakan alasannya menunda melakukan “itu”.
Pikirku, ya itu salah satu “masalah” yang harus aku hadapi. Mungkin itu salah satu kekurangan suamiku. Ada rasa kecewa yang menguasai hatiku setiap kali mendengar penolakan darinya. Rasanya seperti gagal diberikan hadiah oleh orang tua ketika kita masih kecil dulu. Ingin nangis, tapi tertahan. Ingin berontak, tapi ditahan. Semua harus dihadapi dengan kesabaran. Setidaknya dia telah sabar menerimaku sebagai perawan tua yang hitam, jelek, dan tak menarik.


Malam berikutnya


Aku marah, capek, bosan dengan perlakuan suamiku. Aku menangis, aku berteriak (walau hanya bisa di dalam hati). Aku terduduk di sudut kamar. Aku kesepian, aku nggak tahu harus bagaimana. Aku mengharapkan itu. Aku ingin jiwa ragaku benar-benar dikuasai suamiku. Aku ingin merasakan romansa berdua dengannya. Aku tak puas dengan sentuhan-sentuhannya, aku tak puas dengan ciumannya. Aku tak puas.
Suamiku masuk ke kamar. Wajahnya letih. Malam selarut ini dia baru pulang kerja. Menatapku dengan mata sembap, membuat suamiku bertanya-tanya. “Kamu kenapa sedih terus begitu? Ada masalah?” tanyanya kemudian sembari meletakkan tas hitamnya di atas meja.
Melihat ekspresinya ketika bertanya kepadaku, membuat hatiku bertanya-tanya, kenapa dia seolah tak menyadari kesalahannya, dia seolah tak menghargai keberadaanku sebagai istrinya. Aku berhak mendapatkan apa yang selama ini aku inginkan. Sudah 6 bulan, tetapi “menyentuh” pun tak pernah, apalagi “mendalami”. Aku muak dengan sikapnya yang sok suci itu.
“Mas…” aku bangkit dari dudukku, aku melihat tajam ke matanya. Aku berharap dia tahu kalau aku benar-benar marah dengan sikapnya yang tak adil denganku. “Mas, aku berhak atas Mas.”
“Kamu kenapa? Kok ngomong begitu?”
“Aku ingin Mas. Aku ingin Mas lebih dari kesan sesaat, aku ingin merasakan kesan yang mendalam.”
Suamiku kemudian mendekatiku. Aku diajaknya duduk di tepi ranjang. Dia membelai rambut panjangku yang khusus kurawat untuk hiasan di depan suamiku seorang. Wajahnya yang kumal dan tampak bintik-bintik keringat di sana-sini, membuat aku ingin mengelapnya dengan handuk.
“Mas letih dek, Mas mohon, jangan paksa Mas.”
Aku diam. Mencoba membuang wajahku. Walaupun aku sangat ingin sekali mengelap keringat di wajahnya. Aku sayang menyayangi suamiku. Bagiku, suamiku adalah laki-laki yang seksi. Melihatnya yang selalu bekerja keras demi keluarga memunculkan sesuatu yang aneh tapi menyenangkan di hatiku. Sesuatu yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Tapi untuk malam ini, aku lawan keinginanku untuk berlemah-lembut dengan suamiku. Aku benci dia, aku benci dengan sikapnya yang tak pengertian denganku. Aku berkali-kali meminta, tapi tak dipenuhinya. Memang berat posisiku, aku tak berani memaksa, aku tak mau membuat suamiku sedih dan menyesal mendapatkan istri sepertiku. Sudah perawan tua, hitam, jelek, dan tak menarik. Aku tak ingin membuat suamiku menyadari kekuranganku yang lainnya, penuntut.


Malam berikutnya


Siang tadi rumahku kedatangan tamu. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah suamiku ini, tak seorang pun yang datang bertamu ke rumah kami. Maklum saja, orangtuaku tinggal di Semarang sementara mertuaku ada di Sumatra. Kalau ada tetangga atau teman suamiku yang datang, mereka hanya sebatas duduk di teras, tak sampai berlama-lama mengobrol di ruang tamu. Jadi terasa berbeda ketika malam ini ada seseorang yang duduk berlama-lama di dalam rumah selain aku dan suamiku. Aku tak kesepian lagi.
Dia sepupuku. Saat ini sedang melanjutkan kuliah S2-nya di salah satu universitas negeri di Jogja. Selama kuliah, dia tinggal bersamaku dan suami. Hubunganku dengan sepupuku itu sangatlah dekat. Sejak SMP dan SMA, aku menumpang di rumah orang tuanya di Semarang. Maklum saja, setelah orangtuaku meninggal dunia, aku ikut dengan orangtua sepupuku itu, yang sekarang sudah seperti orangtua kandungku.


Malam itu aku menunggu suami, tapi tak kunjung pulang. Aku menonton acara di televisi ditemani sepupuku yang sibuk dengan tugas-tugasnya. Sebenarnya bukanlah tugas kuliah, tapi tugas hidupnya. Dia senang sekali menulis. Menulis baginya ibarat nyawa yang memberi kehidupan. Sepupuku itu bukan tipe manusia terbuka alias extrovert, sama sepertiku, lebih cenderung tertutup alias introvert. Dia pendiam dan jarang curhat, termasuk dengan orangtuanya sendiri. Maka menulis menjadi hobi sekaligus pelampiasan perasaannya.
“Mbak, kata Papa-Mama, kapan mereka punya cucu? Mereka udah nggak sabar menanti hadirnya cucu, kan anak mereka cuma kita.” Ucapnya dengan senyum merekah. Dia selalu menganggapku sebagai kakak kandungnya. Tetapi bagiku Papa-Mama bukanlah benar-benar orangtuaku. Dan sepupuku itu bukan adik kandungku. Aku tetap merasakan ada jarak di antara mereka. Walaupun aku menyebut sepupuku itu sebagai “adik sepupu”, tetapi sesungguhnya hubungan aku dan dia sebagai sepupu pun tak benar-benar dekat. Orangtuanya adalah teman akrab orangtuaku sejak orangtuaku masih sekolah dulu. Ketika orangtuaku meninggal karena kecelakaan, orangtuanya yang kemudian merawat dan membiayai sekolahku.
“Doakan saja, mudah-mudahan cepat hamil.” Jawabku datar
Suasana kembali hening. Aku mematikan televisi dan beralih membaca majalah. Kupilih-pilih majalah yang menumpuk di bawah meja. Aku mengangkat tumpukan majalah itu ke atas meja karena capek menunduk. Kupilih-pilih majalah yang semuanya milik suamiku. Aku lihat-lihat sampul majalah itu. Entah apa majalah ini, aku tak pernah mengetahui ada majalah ini di Jogja.


Kemudian, aku terkaget-kaget ketika mendapati majalah-majalah yang ada di tumpukan bawah adalah majalah-majalah bergambar vulgar. Nama majalah itu sudah sangat terkenal, karena memang majalah internasional. Tapi dari mana suamiku mendapatkan majalah ini? Untuk apa semua majalah ini.
Aku melihat-lihat isinya. Menakjubkan. Dengan melihat gambarnya saja, sudah memunculkan sensasi aneh dalam diriku. Seperti ada dorongan yang sangat kuat yang mendorong naluriku. Aku merasakan tubuhku panas-dingin. Bukan karena sakit tapi karena naluriku butuh penyaluran. Aku merasakan kelembapan di sudut-sudut tertentu di tubuhku.
Aku merasakan sensasi luar biasa. Apakah sensasi ini yang selalu diharapkan suamiku, makanya dia rela bersusah payah mencari majalah-majalah ini. Entahlah, aku tak tahu, pikiranku tak mampu berpikir karena fokusku terpusat pada lelaki yang duduk di atas permadani hangat itu. Lelaki yang duduknya membelakangiku. Walaupun membelakangi, seolah lelaki itu memanggilku untuk mendekati tubuhnya. Mengajakku merasakan kehangatan bersama. Aku terus menatap bagian belakang tubuhnya, bidang dan kekar. Aku menginginkannya, aku mendekatinya.
Tapi…
tapi aku tak sanggup melakukannya… “Aarrgggggg….”
“Kenapa Mbak? Kenapa teriak?”



gambar: deviantart.com

cerpen: NUA




Ketika matahari hampir menduduki singgasana tertingginya, gadis itu baru terbangun. Pertama kali membuka mata, yang dilihatnya adalah manusia kecil yang tertidur pulas di sampingnya dengan pose yang menggemaskan layaknya anak balita. Nama gadis itu Nua, dan balita yang selalu diciuminya ketika bangun tidur adalah Nia, anaknya. Umur Nia sekitar 2 tahun, sementara Nua sekitar 19 tahun. Untuk ukuran seorang ibu, Nua tergolong ibu muda.
Ketika ke luar kamar, Nua melihat ibunya sedang memasak di dapur, pasti itu untuk sarapan mereka, Ibu, Nua, dan tak ketinggalan si kecil Nia. Nua adalah anak tunggal, ayahnya sudah meninggal dunia ketika Nua duduk di kelas 4 sekolah dasar.
“Lagi masak Bu?”
Ibunya tersenyum biasa. “Hhheeemmm…baunya enak banget” Nua memainkan hidungnya. “Jam segini baru bangun Nu?”
Nua duduk di depan tivi, menekan tombol ON di remot kontrolnya. Nua tak menjawab pertanyaan ibu, dia tau itu hanyalah retorika. “Semalam pulang jam berapa?” tanya Ibu yang mulai gelisah dengan anaknya yang belakangan kerap pulang malam, bahkan sampai ibunya tertidur, Nua belum juga pulang.
“Sekitar jam 11 lewat bu. Restoran lagi rame, kan malam minggu.”
Nua bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran yang cukup “punya nama” di kotanya, Jogja. “Kamu pulang malam terus. Kasian anakmu Nu.” Ibu menasehati sembari membuatkan bubur si kecil Nia, bubur tim.
“Nua juga mau pindah aja bu.” Ucap Nua sembari memakan kerupuk dan menonton acara tv pagi itu. “Udah dapat kerjaan baru?” tanya ibu memastikan. “Yaaa…lagi diusahakan bu.”
Nua tak bisa memilih pekerjaan di posisi enak dan di tempat yang bonafit. Dia hanya lulusan SMA. Selama ini Nua bekerja sebagai pelayan restoran atau sesekali menjadi SPG. Menjadi SPG, gaji yang didapatnya lumayan besar, per-hari mendapat 150ribu. Tapi yaaa SPG bukanlah pekerjaan tetap yang setiap hari pasti ada.

***
Nua lulus SMA dengan lancar, nilainya juga baik. Walaupun dari keluarga yang tak kaya, tapi Nua berniat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga, berusaha mengabulkan keinginan anaknya itu. Pendapatan sebagai seorang buruh cuci, tentu tak mungkin mencukupi kebutuhan Nua melanjutkan pendidikannya. Tapi semua diserahkan ke Yang Maha Kuasa. Ibu selalu berpesan pada Nua untuk jangan meninggalkan shalat tahajud dan dhuha-nya.
Sampai suatu ketika, datang seorang wanita setengah baya yang merupakan kerabat dari ayahnya Nua. “Saya Asma, sepupu suamimu.”
Ketika wanita bernama Asma itu mendatangi rumah mereka, ibu dan Nua kaget, karena mereka belum pernah mengenal wanita itu sebelumnya. “Saya baru tahu kalau suamimu sudah meninggal dunia. Karena selama ini saya menjadi TKI di luar negeri, ketika saya kembali ke Indonesia saya baru diberitahu.” Wanita itu menjelaskan dengan wajah yang tampak ramah. Wanita yang kemudian oleh Nua dipanggil “bude” itu memiliki senyum yang manis.
Setelah wanita itu menjelaskan siapa dirinya, kemudian ibu bertanya keperluannya mendatangi mereka. “Sebelum sepupuku menikah dengan kamu, dia berpesan kepadaku untuk terus menjalin silahturahmi kepada istrinya dan anak-anaknya kelak, tetapi sayang, ketika dia menikah, beberapa bulan kemudian aku pergi ke luar negeri dan dalam waktu yang lama. Sampai ketika aku memutuskan kembali ke Indonesia, aku mendengar kabar bahwa sepupuku telah meninggal dunia.”
“Sejak kecil aku akrab dengan sepupuku itu, dia pernah ikut tinggal di rumahku ketika orang tuanya harus pergi ke luar kota karena urusan tertentu.”
Panjang sekali wanita itu berbicara. Dia menjelaskan tentang suaminya, kediamannya di Jakarta, sampai ke anaknya yang ternyata juga anak tunggal.
“Beberapa tahun lalu, anakku meninggal dunia.” Ucapnya mengakhiri cerita panjangnya. Ibu dan Nua ikut bersedih melihat wanita itu sedih. Tetapi kemudian, “Aku pernah memiliki keinginan kuat untuk menyekolahkan anakku di Indonesia dengan uang yang aku kumpulkan bertahun-tahun menjadi TKI di luar negeri. Tetapi kini anakku telah meninggal, jadi aku mohon terimalah uang ini untuk biaya sekolah anakmu.” Wanita itu menyerahkan amplop ke ibu.
Ibu tak langsung menerimanya, malah ibu tampak sangat kaget dan kebingungan. “Kenapa uang ini harus diberikan ke aku?”
“Dulu, suamimu lah yang telah berusaha sekuat tenaga untuk membantu aku hingga dapat bekerja di luar negeri, karena suamimu aku dapat mengumpulkan uang ini, uang yang awalnya kuniatkan untuk membiayai sekolah anakku hingga setinggi-tingginya, tetapi kemudian semua di luar rencanaku, maka tak salah jika aku memberikan uang ini kepadamu, karena kamu bisa menggunakan uang ini untuk biaya pendidikan anakmu.”

***
Karena uang itu, kemudian Nua dapat melanjutkan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Sebagai balas budi, ibu menjadi buruh cuci di rumah bude Asma. Walaupun awalnya bude menolak, tetapi setelah diyakinkan oleh ibu, bude mengizinkannya.
Semenjak ibu menjadi buruh cuci di rumah bude Asma, Nua selalu menghabiskan waktunya di rumah seorang diri. Selain mencuci baju-baju bude dan suaminya, ibu juga memasak untuk bude. Bude Asma hanya tingga berdua dengan suaminya yang saat ini sudah sering sakit-sakitan. Semenjak suaminya sakit keras, Bude kerja di Indonesia pada salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri.
Ketika bosan di rumah, Nua sering bermain dengan teman-temannya di luar. Nua segan kalau terus-terusan berkunjung ke rumah bude Asma. Lagipula kalau dia datang ke sana, ibu melarangnya membantu pekerjaan ibu. “Sudah sana, kamu belajar saja” itu yang selalu ibu katakan kepada anak tunggalnya.
Nua adalah gadis yang atraktif dan ceria. Dia juga supel, jadi tak heran kalau banyak teman yang dekat dengannya. Di kampus, prestasi Nua juga sangat mengagumkan. Ibunya bangga dengan anaknya itu. Anak yang dididik sejak kecil dengan susah payah, tanpa kehadiran seorang ayah.
Walaupun Nua anak yang pintar, sopan, dan baik, tetapi itu saja belum cukup sebagai bekal hidupnya. Ibu masih terus mengeluhkan kebiasaan buruk Nua yang masih suka meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Nua juga belum berjilbab. Ketika dinasehati untuk menutup aurat, Nua selalu mengatakan belum siap, takut kalau nanti malah mempermainkan jilbabnya, kadang dipakai kadang dilepas. Ibu tak bisa memaksakan kehendak dengan anak semata wayangnya itu. Walaupun ibu tau, boleh saja seorang ibu bersikap tegas dengan anak.
Sore itu Nua berkunjung ke rumah bude Asma. Setelah sepekan, baru hari ini Nua main. Ketika sampai di depan pintu rumah yang terbuka, Nua melihat bude Asma sedang mendulang pakde yang duduk di kursi rodanya.
“Assalamu’alaikum…” salam Nua yang kemudian dijawab oleh bude. Walaupun pakde lumpuh karena stroke, tapi Nua bisa menangkap bahwa pakde senang dengan kehadiran Nua di tengah-tengah keluarga mereka.
“Masuk sini.” Ucap bude. “Udah makan Nu?” tanya bude langsung. Nua diam. “Ke belakang dulu gih, makan dulu, kamu baru pulang dari kampus ya?”
“Iya bude, baru pulang, tadi masuk siang, jadi jam segini baru pulang.” Ucap Nua. “Nua ke belakang dulu ya, ketemu ibu dulu.” Lanjut Nua. Bude mengangguk.
Nua berjalan ke dapur yang berada tak jauh dari ruang keluarga. Nua mendapati ibunya sedang mencuci piring.
“Bu, Nua mau ngomong sesuatu.”
“Di rumah saja ya.”
“Ahh gak mau, ini penting.” Nua memaksa. “Ya..ada apa Nu?”
“Nua diajak nikah.”
Ibu diam tapi kemudian tertawa. “Kamu ini, main-main”
“Nua serius. Udah lama sebenarnya laki-laki ini ngajak Nua nikah, tapi Nua nggak mau.”
“Sekarang kenapa kamu mau?”
“Karena udah nggak tahan Bu, dia udah sampai minta tolong dosen Nua supaya Nua mau menerima lamarannya.”
“Kok sampai begitu? Dia itu cowokmu?”
“Bukan Bu, aku kenal dia karena kami masuk di organisasi yang sama. Ini mungkin karena doa ibu.” Nua malah “menuduh” ibunya.
“Maksud kamu apa sayang?” Ibu bertanya sembari terus mencoba menahan tawanya. “Yaa..ibu kan pengen banget Nua pakai jilbab, lah mungkin setelah nikah dengan dia, Nua bisa pakai jilbab, dia itu anaknya soleh banget bu. Kerjaannya aja ngajiiii terus.” Ekspresi Nua membuat ibunya tertawa.
“Kamu ini, kok malah panik gitu.”
“Ya iyalah Bu, kalau yang ngajak nikah itu cowok biasa-biasa aja, Nua mungkin bisa nolak, tapi kalau cowok yang gayanya soleh begitu, Nua sulit tolaknya Bu, kan harus dengan alasan yang dibolehkan agama. Ah Nua nggak paham dengan itu Bu. Makanya sampai sekarang nggak bisa nolak.”
Nua terus saja bercerita, ibunya terlihat sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Sayang, bukannya ibu nggak boleh kamu nikah.” Ucap ibunya kemudian. “Tapi kamu tau sendiri kalau kamu kuliah itu atas bantuan keluarga Bude Asma. Ibu nggak mau kalau kuliahmu menjadi sia-sia karena putus di tengah jalan.”
“Loh Bu, pihak universitas nggak melarang mahasiswanya menikah ketika masih kuliah Bu, jadi nggak perlu takut.”
“Hadduuuuh sayang, apa kamu udah membayangkan kalau kamu kuliah tapi harus disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Sekarang aja kamu masih ngeluh, yang capek organisasi ini-organisasi itu, belum lagi, kamu juga ngeluh soal tugas ini-tugas itu.”
“Tapi Bu…”
“Nanti setelah nikah kamu ngeluh lagi, ‘Bu, nggak bisa masak’. Apa kamu mau terus bergantung dengan ibu hanya karena urusan masak aja?” Ibu menyindir anaknya yang memang sama sekali nggak tau kerjaan dapur.
Nua cengir-cengir. “Yaa…trus Nua harus gimana?”
“Kalau kamu belum yakin, ya udah tolak aja.”
“Dengan alasan?” tanya Nua kemudian. “Kamu belum siap.”
“Ibuuuuu….” Nua tampak gemes dengan ucapan ibunya. “Ibu ini, udah Nua bilang, kalau nolak cowok biasa, mungkin Nua bisa, tapi ini cowok luar biasa Bu, kelihatannya soleh banget. Dia itu banyak banget alasan untuk nggak mundur, ‘nikah itu sunnah’, ‘siapa yang dimudahkan nikah tapi nggak mau, berarti bukan umat rasulullah’, dan bla bla bla….Nua kan jadi takut Bu.”
“Ya udah, kamu bilang aja, belum dapat restu dari orangtua.”

***
Beberapa bulan setelah Nua menolak pinangan teman cowok yang menurutnya soleh itu, kemudian Nua akrab dengan cowok “biasa”, alias nggak sesoleh cowok sebelumnya itu. Cowok itu namanya Nino. Rumahnya nggak jauh dari rumah Nua, dulu mereka satu SMA dan sekarang juga satu kampus.
Pertemanan Nua dan Nino nggak mendapat pertentangan dari ibu. Nua mengatakan kalau Nino itu hanya teman main, walaupun belakangan ini mereka jadi lebih sering bertemu dan pergi bareng, tapi ibu tetap nggak curiga. “Mereka teman lama”, mungkin itu yang ibu pikirkan.
Selain Nino merupakan teman main yang gaul dan asik, Nino juga mensupport kemajuan prestasi Nua di kampus. Nino ketua BEM fakultas. Gerak gerik Nua di organisasi kemahasiswaan menjadi lebih fleksibel dengan keberadaan Nino. Selain itu, Nino juga anak yang pinter, IPK-nya memuaskan, nggak berbeda jauh dengan IPK-nya Nua.
Beberapa bulan berlalu, Nua dan Nino semakin dekat. Akhirnya mereka memutuskan untuk lebih serius memikirkan hubungan mereka. Setelah beberapa bulan pendekatan, mereka merasa satu sama lain saling mendukung prestasi masing-masing. Bagi Nino yang berjiwa “pemimpin”, Nua bukan hanya sebagai pihak yang “dipimpin” tetapi juga dapat menjadi “pesaing”, tentunya persaingan di antara mereka adalah persaingan yang sehat.
Malam itu Nino mengajak Nua makan mie ramen, salah satu jenis makanan khas negeri Jepang. Sembari menunggu pesanan datang, mereka berbicara mengenai hubungan mereka.
“Setelah beberapa bulan pedekate, aku ngerasa nyaman jalan bareng kamu Nu.” Nino membuka pembicaraan. Mendengar ucapan Nino yang jujur dari hati, tiba-tiba Nua diserang rasa gugup. Dia menjadi salah tingkah dan berusaha mengalihkan kegugupannya dengan sibuk memencet tombol hapenya.
“Aku pingin kita lebih serius” lanjut Nino. “Maksud kamu?” tanya Nua walaupun sebenarnya Nua tahu maksud Nino. Tak lain tak bukan pasti Nino mengajaknya untuk pacaran. “Kita pacaran Nu, kamu mau kan?”
Nua diam. Beberapa menit Nino menunggu jawaban Nua. Pelayan pun datang, meletakkan makanan pesanan mereka berdua di atas meja. “Minum dulu Nin.” Nua mengalihkan perhatian Nino. Nino tetap diam, sedikit pun tak menyentuh makanannya yang udah dihidangkan itu. “Atau kamu mau makan dulu? Ya silahkan aja.” Nua terus mengalihkan perhatian Nino. Tapi Nino tetap tak berekspresi.
“Maaf Nin, aku belum bisa langsung menjawab pertanyaan kamu.”
Mendengar pernyataan Nua, Nino mengalihkan pandangan ke mangkuk mie ramennya. “Ya Nua, aku paham, kamu pasti butuh waktu. Aku nggak akan memaksa.” Nino kemudian mempersilahkan Nua menyantap makanannya.

***

Hari ini Nino, Nua, dan beberapa temannya mengadakan liburan ke daerah Bandungan di Semarang. Mereka menyewa sebuah penginapan. Satu penginapan terdiri dari beberapa buah kamar. Tujuan mereka pergi ke Semarang untuk rekreasi. Nua di ajak Nino dan sahabat-sahabatnya untuk liburan semester. Nua tak menolak, karena selain dirinya, masih ada 4 orang temen Nino yang perempuan. Jumlah mereka sekitar 8 orang. Tiga orang laki-laki dan lima orang perempuan. Nua seneng banget bisa jalan-jalan ke luar kota. Selama ini, dia nggak pernah pergi kemana-mana, selalu saja di Jogja.
Malam pertama mereka di Bandungan, mereka langsung bakar-bakar makanan. Anak-anak pada seneng. Nino dan Nua duduk memeperhatikan keceriaan temen mereka dari kejauhan.
“Nua, gimana jawabanmu?”
Nua tampak malu-malu, tetapi kemudian salah seorang teman cewek Nino berteriak, “Sebenarnya dia juga suka dengan kamu Nin, tapi sok jual mahal, ngetes keseriusan kamu kali.” Ucapnya. Mendengar itu, Nua terkekeh. “Jadi gitu?” Nino pura-pura sebel tapi kemudian mereka marah.
“Sebagai hadiahnya, kamu suka film action kan? Yuk, kita nonton, aku punya film seru banget.”
Film yang mereka tonton sebenarnya film romantis, tapi dibalut dengan action. Nua serius nonton film-nya karena memang dia sangat suka film. Sementara Nino menikmati sisi romantis film itu.
Karena terbawa suasana, Nua tak menyadari tangan Nino yang “bergentayangan”. Ketika tangan Nino semakin aktif, darah Nua serasa mendidih. Ada suatu kenikmatan yang tak bisa ditolak oleh Nua. Sesuatu yang nikmat. Sampai akhirnya mereka berdua beranjak dari ruang tengah menuju kamar.


pic from deviantart.com

cerpen: DOMPET



Di balik tumpukan baju di dalam lemari, Tinah menyembunyikan dompet kulit berwarna coklat yang sudah tampak sobek di sana-sini. Senyumnya mereka, rokok menyala bertengger di sudut bibirnya. Tak lama kemudian, Tinah keluar dari kamar, kamar menantunya.
“Ada apa Bu?” tanya Rina, menantunya, yang baru saja dari kamar mandi. “Ah tidak ada apa-apa, Ibu hanya melihat-lihat saja, apa kamarmu rapi atau tidak. Kalau tidak rapi kan bisa Ibu bantu bereskan”
“Tumben, Ibu baik begini.” Batin Rina tetapi tingkah aneh Ibu mertuanya tak digubris, Rina langsung berpakaian rapi karena suaminya menunggu di teras, malam ini mereka mau makan malam di luar.


***
“Bu… Ibu…” panggil Tarno kepada istrinya, Tinah. “Iya Pak, kenapa?”
“Sini dulu Bu.” Tarno meminta istrinya masuk ke kamar sebentar. Di dalam kamar, lelaki setengah baya berwajah cekung itu menunggu dengan wajah pucat pasi.
“Ada apa tho Pak? Aku lagi masak air, masak lauk, mbok ya kalau ada apa-apa dikerjakan sendiri dulu.” Ucap Tinah yang tahu kebiasaan suaminya yang selalu menyuruhnya mengerjakan ini-itu, hal-hal sepele sekalipun.
“Bu, dompetku hilang Bu. Apa Ibu melihat?”
“Apa? Astagfirullah…ya Allah Pak, lagi ndak ada uang kayak gini kok pake kehilangan dompet segala.” Tinah memarahi kecerobohan suaminya.
“Lah, bapak juga ndak tau Bu, kalau tau akan kehilangan begini, ya Bapak pasti sudah merantai dompet itu.”
“Sudah cari di dalam lemari?”
Tarno mengangguk. “Ah ya sudah Bu, mungkin belum rejeki. Diikhlaskan saja, mudah-mudahan dapat ganti yang lebih banyak dan baik dari Allah.”
Tinah memandang wajah suaminya yang tenang. Dia sebenarnya sebel dengan sikap Tarno yang menurutnya terlalu religius. “Rejeki itu kan dari Allah Bu, nanti biar Allah yang ganti.”
“Haduh Pak..Pak, Ibu mau minta uang belanja yo ndak bisa tho kalau kayak gini. Besok mau makan apa Pak..pak”
Tinah sebenarnya tak mempermasalahkan sikap Tarno yang religius, tetapi makin ke sini, Tinah makin menganggap suaminya keterlaluan.
“Sedikit sedikit Tuhan…sedikit sedikit Tuhan… tapi kalau nggak ada uang begini, mau makan pakai apa. Mau beli sayur ndak bisa, mbok ya realistis sedikit tho pak..pak” Gerutu Tinah.


***
Walaupun menantu dan anak satu-satunya tinggal bersama dia dan suaminya. Tetapi Tinah dan Tarno tak sekalipun meminjam uang kepada anak atau menantunya kalau hanya soal untuk memenuhi kebutuhan makan. Sebenarnya setiap bulan, anaknya memberikan uang ke ibunya untuk belanja kebutuhan dapur. Tetapi pemberian itu tak ditentukan Tinah. Dia menerima saja, dan kalau pada kenyataannya kurang, Tinah tak pernah meminta uang lagi kepada anak atau menantunya.
Dia sadar diri kalau anaknya pun belum mapan soal ekonomi. Terlebih lagi, anaknya, Surya menikahi Rina, seorang gadis dari keluarga berkecukupan, tetapi pelit. Setelah menikah, orangtua Rina sama sekali tidak mau mencampuri soal ekonomi rumah tangga anaknya. Sampai soal mengontrak rumah, orangtua Rina tidak mau memberikan subsidi padahal mereka tahu kalau Surya hanya pegawai bawahan, gaji tidak ada apa-apanya, untuk makan saja kurang.
Semua sudah terjadi, Rina dan Surya menikah atas dasar saling mencintai dan tentunya atas dasar keyakinan kepada Allah. “Rejeki itu Allah yang atur nak.” Ucap Tarno kepada putranya.
Karena Surya tak sanggup mengontrak rumah, maka dia memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuanya. Tetapi Surya berjanji dengan dirinya sendiri dan bersepakat dengan orangtuanya kalau soal makan, listrik, dan air, Surya akan membantu semampunya. Mendengar keluhan putranya, Tarno dan Tinah tak mungkin tega meminta lebih dari kesanggupan putranya. Apalagi Rina tak bekerja, jadi beban pemenuhan kebutuhan hidup berada di pundak Surya seorang diri.


***
Tinah masuk ke kamar menantunya. Matanya sibuk meneliti keadaan sekitar. Rina sedang tidak di rumah, mungkin dia sedang main ke rumah tetangga. Sementara Tarno dan Surya bekerja. Tinah mengendap-endap. Mencari sesuatu di dalam kamar itu.
“Nah ini…” Tinah menemukan sebuah dompet hitam bercorak kotak-kotak warna merah dan merah muda. Dia meneliti isi dompet itu. Foto anak dan menantunya terpasang di sisi dalam dompet itu.
Tinah kemudian mengambil selembar uang 20 ribu dari dalam dompet. Setelah mendapatkan yang diinginkan, TInah mencari-cari sesuatu yang lain pula. Dia merogoh bagian belakang tumpukan pakaian di dalam lemari menantunya.
“Nah dapat.” Batin Tinah.
Dia menemukan barang itu dan kemudian memasukkan uang 20 ribu ke dalam dompet coklat yang dipegangnya.


***
“Dek, tolong belikan pulsa, pakai uangmu dulu ya.” Pinta Surya kepada istrinya. Sebenarnya “uangmu” yang dimaksud Surya adalah uang jatah istrinya setiap bulan dari sebagian gaji Surya. Rina mencari uang dari dalam dompetnya.
“Loh Mas, uangku kok berkurang ya.” Rina kebingungan.
“Kurangnya berapa?”
Rina menggeleng. “Aku nggak tahu.”
“Ah, kamu lupa itu Dek, mungkin kamu membeli sesuatu tadi, tapi kamu lupa.”
Rina diam sejenak seperti memikirkan sesuatu. “Ya, mungkin juga Mas. Lagipula masak uang di dalam rumah bisa ilang, emangnya kamu piara tuyul.”
“Loh kok aku, kamu tho yang piara tuyul.”
“Ndak kok.”
“Iya kok, buktinya hatiku kamu curi.”
Tawa suami-istri itu kemudian berderai. Sepertinya mereka telah melupakan perkara uang yang mungkin hilang, mungkin terselip, atau bahkan mungkin telah digunakan.


***
Hari besoknya, Tinah kembali mencari-cari sesuatu. Tetapi kali ini di dalam lemari suaminya. Tak butuh waktu lama, Tinah menemukan benda yang dicarinya. Dompet berwarna hitam, yang masih tampak mulus.
“Pasti baru beli dompet di toko loak.” Batin Tinah. Wanita setengah baya yang kecanduan merokok itu kemudian mengambil selembar uang 50 ribu dari dalam dompet dan memindahkannya ke dalam dompet coklat yang disembunyikan di dalam lemari menantunya.


***


“Aduh Buk, harus hati-hati sekarang.” Ucap seorang wanita bernama Mirna. “Emang kenapa Mir?” tanya Tinah. Beberapa wanita yang umurnya hampir setengah baya itu berkumpul di halaman kecil rumah Tinah. Seperti biasa, setiap sore mereka selalu mengobrol. “Itung-itung menghilangkan kejenuhan di rumah.” Alasan Tinah ketika anaknya bertanya.
“Wah, lagi musim maling Tin. Itu tuh, rumah di atas, ada yang kehilangan barang dan uang.”
“Ah, masak iya. Aku kok nggak tau.” Tinah tak percaya. Dia melihat ke wajah ibu-ibu lain, berharap mendapat dukungan. Ibu yang lain pun turut angkat suara, “Kamu gossip saja Mir.”
“Ah, kalau tak percaya ya sudah.” Mirnah kemudian bangkit dan pulang duluan.


***
“Haduh Bu, kenapa tho uangku ilang terus. Kemarin malah dompetku yang ilang, sekarang uangku ilang. Pertama 20 ribu, kemudian 50 ribu, eh belakangan jadi 100 ribu yang ilang. Kalau begini terus, aku kehabisan modal untuk keperluan kedai Bu.” Tarno menggerutu kesal.
“Oalah Pak..Pak, mbok yang sabar. Rejeki kan datangnya dari Allah, kenapa takut.” Tinah menyindir suaminya.
“Ah, kamu itu menyindirku.” Tarno kesal dengan ucapan istrinya.
“Loh, kan Bapak yang mengajarkan, aku sebagai istri hanya menurut.” Tinah beralasan. Tarno kemudian meninggalkan istrinya yang sedang menonton tivi.
“Kamu mbok ya bantu-bantu aku Bu, masak nggak malu dengan anakmu, dia susah payah bekerja. kamu malah santai-santai menunggu uang dari dia.” Tarno kesal, karena yang ada di situ hanya Tinah, maka istrinya yang jadi sasaran kemarahan.
“Loh kok aku Pak. Menantumu nggak disuruh bekerja, dia masih muda. Kerjanya hanya mengobrol di rumah tetangga.” Tinah malah melempar kesalahan ke menantunya.
“Kamu nggak kasian dengan Rani. Perutnya sudah besar sekali begitu, masih disuruh bekerja juga. Biar lah dia istirahat. Nanti kalau sudah melahirkan, dia kan pasti mau bekerja Bu.”


***
“Sudah, besok malam kita adakan pengajian saja.” Tarno mengatakan niatnya kepada anak, menantu, dan istrinya. “Tumben Pak.” Celetuk Tinah. “Mengaji kok tumben Bu.”
“Ya nggak biasa-biasanya Bapak ngadain pengajian di rumah. Biasanya bapak yang datang pengajian ke masjid. Memangnya di masjid sudah nggak ada pengajian Pak?” tanya Tinah kemudian. Anak dan menantunya hanya mendengar saja.
“Ya, masih ada, tapi aku mau menghilangkan tuyul yang ada di rumah ini. Biar uangku nggak ilang terus.”
Mendengar alasan Tarno, anaknya langsung tertawa. “Bapak ini, sholat rajin, mengaji ke masjid pun rajin, tapi masih percaya tuyul.”
“Aku kapok kehilangan uang, lagipula yang gaib begitu kan memang ada tho Sur? Yang penting, pengajian nanti niatnya yang baik-baik saja, rumah ini kan jarang dingajikan tho. Makanya banyak setan.” Tarno melirik ke istrinya, ucapannya sebagai sindiran ke Tinah.


***
Setelah pengajian usai, Rani tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa dari perutnya. “Mungkin dia sudah saatnya melahirkan.” Ucap Tarno. “Aduh Pak, tapi tabunganku belum cukup.” Keluh Surya. “Lah, gimana tho?”
“Beberapa hari lalu, motorku rusak berat. Kalau tak dibetulkan, bisa fatal dan aku nggak bisa kerja. Uang tabungan kupakai untuk itu dulu, kukira Rani masih lama melahirkannya.”
“Hayah, malah bikin pusing, Bapak juga lagi nggak megang uang.”
Rani terus berteriak-teriak. Dia tergeletak di ranjangnya, menjerit-jerit minta tolong.
“Sudah, bawa ke rumah sakit atau dukun beranak saja sana. Biar pakai uang belanja Ibu.”
Tarno dan Surya langsung memandang ke Tinah.
“Sudah, pakai uang jatah belanjaku saja. Daripada cucuku celaka. Aku sudah lama menabung, ngapain kalian berdua malah melihatku? Bawa Rani sana.” Bentak Tinah. Tarno dan Surya reflek bergerak menggendong tubuh Rani ke luar rumah dan kemudian meminta tolong tetangga yang mempunyai mobil untuk mengantar ke puskesmas.
Sebelum pergi menyusul ke puskesmas, Tinah salin pakaian dan kemudian mengambil dompet coklat dari dalam lemari menantunya.




Jogja, 30 Nop 2011
22:36