Kamis, 29 Maret 2012

PENYIMPANGAN ARTI DALAM SAJAK KUDETA KARYA YUKISASTRADIRJA
Kajian Stilistika




RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah bentuk penyimpangan arti yang terdapat dalam sajak Kudeta karya Yukisastradirja?
TUJUAN
Menjelaskan bentuk penyimpangan arti yang terdapat dalam sajak Kudeta karya Yukisastradirja


ANALISIS PEMBAHASAN
Sajak Kudeta karya Yukisastradirja


Kudeta
Presiden senyum pepsodent
Penyair sengih menyisir
Lelaki belah duren
Wanita mendesir
Malioboro, 04 Desember 2011


Penyimpangan Arti dalam Sajak Kudeta
Wujud kategori penyimpangan arti dalam sajak sering dihubungkan dengan kata-kata ambigu, kontradiksi, dan nonsense.


1. Ambiguitas, merupakan kata-kata, frase, dan kalimat pada sajak atau lirik yang memiliki banyak tafsir atau mempunyai arti ganda.


Lelaki belah duren


    Belah duren memiliki banyak tafsir. Belah duren bisa diartikan sebagai suatu tindakan membelah buah durian dan dapat pula diartikan sebagai hubungan bercinta antara seorang pria dan wanita dewasa. Hal tersebut disebabkan sejak kemunculan lagu dangdut berjudul Belah Duren, maka idiom tersebut mengarah pada kesan negatif atau porno. Sehingga baris tersebut seolah ingin mengatakan bahwa banyak pria (politisi) di negeri ini yang melakukan penyimpangan moral, seperti berhubungan seks dengan wanita yang bukan istrinya.


2. Kontradiksi, di dalam puisi erat kaitannya dengan penggunaan kata-kata yang berlawanan pilihan kata maupun maknanya. Kontradiksi dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu:
     a. Antitesis, merupakan sejenis bahasa kiasan yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim.


         Lelaki belah duren
        Wanita mendesir


       Kata lelaki merupakan antonim dari kata wanita. Kedua kata tersebut menunjukkan bahwa pada baris ketiga dan keempat terdapat hubungan perbandingan antara dua antonim. Kata lelaki dan wanita diperbandingkan karena sebagai suatu bentuk penegasan bahwa Lelaki senang belah duren sementara wanita selalu mendesir.
     b. Paradoks, merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.


           Penyair sengih menyisir


       Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sengih diartikan sebagai kegiatan membuka mulut sedikit hingga tampak gigi. Kata menyisir, yang berasal dari kata dasar sisir, diartikan sebagai berjalan di tepian. Dalam sajak Kudeta, kata sengih dan menyisir dianggap sebagai paradoks.
       Penyair sengih menyisir dipahami bahwa seorang penyair hanya mampu tersenyum sinis sembari mengikuti perkembangan kebijakan-kebijakan pemerintah dari “tepian” zaman. Penyair tidak bisa bersuara lantang mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat. Tetapi padahal sesungguhnya, seorang penyair mampu mengkritik pemerintah melalui karya-karyanya dan pada kenyataannya, saat ini, banyak penyair yang justru mampu menumbangkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.
      c. Hiperbola, merupakan sejenis bahasa kias yang mengandung kata-kata, frase, maupun kalimat yang berlebih-lebihan dalam jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.


       Wanita mendesir


           Baris di atas mengandung hiperbola yaitu pada kata mendesir. Kata desir erat kaitannya dengan angin. Sehingga mendesir pada baris di atas mengarah pada perilaku seorang wanita yang dianggap menyerupai angin, yaitu “tidak terlihat gerak-geriknya tetapi terasa keberadaannya”. Wanita dianggap sebagai sesuatu yang fleksibel dalam banyak hal. Hal ini dianggap sebagai suatu hiperbola.
           Dari pengertian tersebut, wanita mendesir dapat dipahami bahwa akhir-akhir ini, kejahatan lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita sebab tindak-tanduk wanita tidak memunculkan kecurigaan dan wanita pun mampu mewujudkan tujuan dari niat jahatnya tersebut.
      d. Ironi, merupakan bahasa kias yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda, bahkan ada kalanya bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan itu.


            Presiden senyum pepsodent


         Pepsodent mengarah pada suatu merk dagang berupa pasta gigi yang memiliki slogan “White Now membuat gigi tampak putih hanya dalam satu kali sikat gigi”. Kata Pepsodent memunculkan suatu ironi. Baris tersebut seolah ingin mengatakan bahwa presiden mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dengan cepat dan tanggap, tetapi pada kenyataannya presiden sebagai kepala negara, tak jarang justru bertindak lambat menghadapi permasalahan-permasalahan bangsa Indonesia.
      e. Eufemisme, ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, merugikan, atau tidak menyenangkan.


           Presiden senyum pepsodent


          Baris di atas sesungguhnya ingin mengatakan bahwa presiden Indonesia selalu bergerak lambat dan tidak tanggap terhadap permasalahan yang terjadi di Indonesia. Kata Pepsodent dipilih sebagai kata pengganti yang menggantikan maksud baris di atas yang sesungguhnya.


3. Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kosakata.


    Presiden senyum pepsodent


           Kata pepsodent tidak mempunyai arti secara linguistik sebab pepsodent merupakan merk dagang. Tetapi pepsodent pada baris di atas memiliki makna, yaitu “White Now membuat gigi tampak putih hanya dalam satu kali sikat gigi” sesuai dengan slogan pasta gigi pepsodent yang berarti harapan untuk presiden Indonesia supaya dapat bertindak cepat dan tanggap sekaligus juga merupakan sindiran bagi presiden yang pada kenyataannya masih bertindak lambat dalam menangani permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia.


SIMPULAN
Bentuk penyimpangan arti yang terdapat dalam sajak Kudeta karya Yukisastradirja yaitu:
1. Ambiguitas, terdapat pada baris ketiga dalam sajak Kudeta
2. Kontradiksi
     a. Antitesis, terdapat pada baris ketiga dan keempat
     b. Paradoks, terdapat pada baris kedua
     c. Hiperbola, terdapat pada baris keempat
     d. Ironi, terdapat pada baris pertama
     e. Eufemisme, terdapat pada baris pertama
3. Nonsense, terdapat pada baris pertama
STEREOTIPE TOKOH MAGDALENA DALAM NOVEL MAGDALENA
KARYA MUSTAFA LUTFI EL-MANFALUTHI
Kajian Feminis Ideologis



RUMUSAN MASALAH
Apakah stereotipe yang melekat pada tokoh Magdalena?
TUJUAN
Memaparkan bagian di dalam novel Magdalena yang menggambarkan stereotipe pada tokoh Magdalena


ANALISIS PEMBAHASAN
Sinopsis
Novel Magdalena merupakan novel karya Mustafa Lutfi El Manfaluthi dengan judul asli Al Majdulin yang ditulis dalam bahasa Arab. Mustafa Luthfi El Manfaluthi menyadur novel karya Alphonse Karr dengan judul Sous les Tilleus yang ditulis dengan bahasa Prancis. Novel Magdalena kemudian menjadi semakin terkenal sampai ke Indonesia ketika novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” milik HAMKA dituduh sebagai plagiat buku Al Majdulin karya Al Manfaluthi.
Novel Magdalena yang diterbitkan oleh penerbit Nuun pada Juli 2008 ini mengisahkan kehidupan percintaan seorang gadis bernama Magdalena dengan Stevan. Gadis tersebut mengenal Stevan pertama kali ketika Stevan menyewa kamar di rumah orangtua Magdalena. Kemudian, timbul rasa kasih dan sayang di antara mereka berdua. Tetapi karena Stevan adalah pria miskin yang dibuang oleh keluarganya, maka Magdalena memilih menikah dengan Edward yang merupakan sahabat Stevan.
Edward kemudian mati bunuh diri karena kemalangan-kemalangan hidup akibat tabiat buruknya yang suka berjudi. Magdalena pun berharap dapat menjalani sisa hidupnya dengan Stevan. Tetapi Stevan belum bisa memaafkan pengkhianatan Magdalena, akhirnya wanita itu memutuskan untuk bunuh diri.


Stereotipe Tokoh Magdalena
1. Magdalena digambarkan sebagai seorang gadis yang mencintai pria hanya karena sifat lahiriah pria tersebut. Maka dari itu, Magdalena tidak menyukai Stevan karena lelaki tersebut sangat buruk lahiriahnya. Terlihat dari kutipan,


“…pemuda itu tidak tampan dan juga tidak memikat hati, malah wajahnya tampak kasar dan tidak ramah. Orang tidak akan tertarik jika melihatnya” (hlm 2)


2. Hati Magdalena mudah berpaling dari tidak menyukai jadi mencintai Stevan hanya karena nama Stevan mulai tersohor ketika Stevan menolong orang yang hampir tenggelam. Terlihat dari kutipan,


“Engkau telah merahasiakan jatidirmu Stevan, dan sekarang aku tahu siapa engkau sebenarnya. Aku tahu engkau telah berjasa menyelamatkan orang yang hampir mati tenggelam, yang menyebabkan engkau menderita demam.’ Kata Magdalena sembari mengulurkan tangannya pada Stevan.” (hlm 48)


“…ia satu-satunya orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan orang yang hampir tenggelam, padahal orang itu tidak dikenalnya, dan meskipun ia sendiri hampir celaka…” (hlm 183)


3. Magdalena malu mengakui Stevan sebagai kekasihanya kepada teman-temannya karena Stevan adalah laki-laki yang jelek lahiriahnya. Terlihat dari kutipan,


“Sebenarnya Magdalena berbohong, tidak mungkin ia berterus-terang. Karena lelaki yang mereka ejek, yang mereka pergunjingkan habis-habisan tentang ketololan dan kebodohannya, ditertawakan dengan seenaknya itu, tak lain adalah tunangannya sendiri, lelaki yang ia cintai dan sayangi.” (hlm 188)


“Akhirnya Magdalena merasakan perihnya kesedihan dilubuk hati ketika ia tahu bahwa perhiasan yang diharapkan akan dibanggakan di depan teman-temannya kelak sudah dicela, dicerca dan ditertawakan oleh lelaki dan perempuan. Ia memikirkan hal itu sesaat, lalu merasakan derita kesedihan jiwa seperti orang yang sedang mengalami sakaratul maut.” (hlm 191)


4. Magdalena lebih memilih Edward menjadi suaminya karena Edward lebih kaya dan terhormat daripada Stevan. Terlihat dari kutipan,


“Edward menyela di antara keduanya dan memeluk Magdalena sambil berkata, ‘Marilah sayang. Sudah lama kita duduk di tempat ini hingga bosan.’ Magdalena mengikutinya dengan diam dan tertunduk, mereka berdua masuk ke dalam rumah dan lambat-laun menghilang dari pandangan. Meninggalkan Stevan terpaku sendirian.” (hlm 256)


“Engkau tahu Stevan, aku seorang gadis yang miskin dan engkau juga seorang pemuda yang fakir, tak mempunyai uang, yang dapat membantumu sebagai suami dan ayah. Maka sebaiknya kita saling berpisah. Masing-masing menempuh jalan sendiri untuk mencapai kebahagiaan dan kesenangan hidup. Kurasa ini lebih baik, tidak peduli kita menyukai atau tidak.” (hlm 293)


5. Setelah tahu keburukan sifat Edward, Magdalena berharap bisa kembali dengan Stevan dan memohon ampun kepada Stevan. Terlihat dari kutipan,


“Edward menderita sakit keras hingga hampir saja merenggut nyawanya, karena musibah yang menimpanya itu. Stevanlah yang menjaga dan merawat selama sakitnya, membantuk dan meringankan musibahnya…” (hlm 370)


“…sekarang aku mencintai Stevan dengan cinta yang belum pernah kumiliki sebelumnya dalam hidupku, karena cinta ini semata-mata untuk cinta, tanpa cita-cita dan harapan atau alasan yang lain…” (hlm 381)


“…bahkan sampai sekarang aku yakin, bahwa aku belum pernah melupakannya walau seharipun. Aku telah menipu dan membohongi diriku sendiri, ketika aku mengira dapat hidup tanpa dirinya, dan aku merasa beruntung hidup di sisi orang lain selain dirinya.” (hlm 381)


“Engkau sangat kejam padaku, Stevan. Jika engkau menghendaki, engkau dapat mengasihi dan menyayangiku.” (hlm 403)


“Magdalena semakin sedih dan menangis tersedu-sedu seraya mengulurkan tangannya pada Stevan dan memelas, ‘inikah semua yang masih tersisa bagiku dan hatiku, Stevan?’ airmata Magdalena telah menggetarkan dan mengobarkan kembali perasaan Stevan.” (hlm 405)


6. Magdalena digambarkan sebagai gadis yang lemah dan tidak kuat menanggung kesedihan akibat tidak mendapatkan maaf dari Stevan, Magdalena memilih untuk bunuh diri.


“Apa yang dapat kuperbuat dengan diriku, setelah penolakanmu, Stevan? Dan apa yang dapat kukerjakan dengan hidupku, setelah kehilangan dirimu, setelah putus duniaku dari duniamu?” (hlm 416)


“Stevan memalingkan wajahnya kea rah itu dan melihat orang yang sedang kelelap menggelepar-nggelepar di tengah arus sungai, mengacungkan tangannya kea rah tepi, seakan-akan meminta tolong. Kebetulan badai sedang mengamuk dan angin topan mengoyak dari tiap sudut sungai. Stevan melihat Fritz sedang mempercepat perahu ke arah orang yang kelelap itu untuk menolongnya. Iapun berteriak, ‘cepat Fritz, tolonglah, itu Magdalena!” (hlm 412-413)


“Tiba-tiba datang gelombang besar di sekeliling Magdalena yang telah kelelap itu. Gelombang itu menggunung, berputar-putar, berputar dan menggulung-gulung sekelilingnya.” (hlm 413)


KESIMPULAN
1. Magdalena adalah gadis yang mencintai pria hanya karena sifat lahiriah pria tersebut. Maka dari itu, Magdalena tidak menyukai Stevan karena lelaki tersebut sangat buruk lahiriahnya.
2. Hati Magdalena mudah berpaling dari tidak menyukai jadi mencintai Stevan hanya karena nama Stevan mulai tersohor ketika Stevan menolong orang yang hampir tenggelam
3. Magdalena malu mengakui Stevan sebagai kekasihanya karena Stevan adalah laki-laki yang jelek lahiriahnya
4. Magdalena lebih memilih Edward sebagai suaminya karena Edward lebih kaya dan terhormat daripada Stevan
5. Setelah tahu keburukan sifat Edward dan ditinggal mati suaminya tersebut, Magdalena berharap bisa kembali dengan Stevan dan memohon ampun kepada Stevan
6. Magdalena adalah gadis yang lemah dan tidak kuat menanggung kesedihan akibat tidak mendapatkan maaf dari Stevan, Magdalena memilih untuk bunuh diri

GANGGUAN BIPOLAR ANGGI PRISCILIA DEWANTO
DALAM CERPEN PERPISAHAN NARCISSUS KARYA MUKHAMMAD NF
KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA


A.PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Cerpen Perpisahan Narcissus merupakan salah satu cerpen karya Mukhammad NF di dalam buku kumpulan cerpen Senyum Bidadari Milik Padma. Cerpen tersebut ditulis oleh pengarang pada Mei 2006 dan berkisah tentang seorang wanita bernama Anggi Priscilia Dewanto yang merupakan istri dari seorang lelaki kaya bernama Dewanto. Anggi diduga memiliki kelainan mental. Menurut psikiaternya, Rastri, Anggi mengidap manic-depressive.
Di dalam cerpen Perpisahan Narcissus dipaparkan sikap Anggi yang cenderung kasar terhadap lingkungan, diikuti dengan keinginan Anggi untuk cerai dari suami, dan pada akhirnya Rastri mampu menyambuhkan jiwa Anggi.
Cerpen Perpisahan Narcissus akan dianalisis dengan pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra merupakan pendekatan yang menganggap bahwa karya sastra mengandung aspek-aspek kejiwaan manusia. Manusia yang dimaksud yaitu pengarang, tokoh-tokoh di dalam karya sastra, dan pembaca karya sastra tersebut.
Di dalam makalah ini akan dianalisis bentuk-bentuk gangguan bipolar yang ada pada diri tokoh, faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya gangguan bipolar tersebut, serta cara mengatasi gangguan bipolar, baik oleh tokoh maupun orang-orang yang ada di sekitar tokoh.


Rumusan Masalah
1.Bagimanakah bentuk gangguan bipolar pada tokoh?
2.Apakah faktor yang menyebabkan munculnya gangguan bipolar pada tokoh?
3.Bagaimanakah cara mengatasi gangguan bipolar pada tokoh?


Tujuan
1.Menjelaskan bentuk gangguan bipolar pada tokoh
2.Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gangguan bipolar pada tokoh
3.Menjelaskan cara mengatasi gangguan bipolar pada tokoh


B.KAJIAN TEORI

Psikologi Sastra
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh pemahaman bahwa: pertama, karya sastra merupakan produk kejiwaan. Imajinasi pengarang muncul akibat interpretasi pemikiran pengarang pada situasi setengah sadar kemudian dituangkan ke dalam bentuk sadar. Kedua, psikologi sastra menganalisis perwatakan tokoh. Seberapa jauh pengarang menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya sastra menjadi semakin hidup. Penggambaran tersebut dapat terlihat melalui dialog atau diksi tokoh di dalam karya sastra.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2011:96). Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan dalam Endraswara, 2011:97-98).
Dalam pandangan Wellek dan Warren dan Hardjana (Endraswara, 2011:98-99), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologi ketika mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra. asumsi dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya.
Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya tersebut (Endraswara, 2011:103). Selanjutnya Endraswara menjelaskan bahwa penelitian psikologi terbagi menjadi dua sasaran, penelitian psikologi tokoh dan proses kreativitas pengarang. Bila meneliti psikologi tokoh, langkah-langkahnya yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra terletak pada aspek intrinsik dan ekstrinsik, tetapi yang ditekankan adalah unsur intrinsik. Kedua, selain tokoh dan watak, juga diperlukan analisis tema karya. Analisis tokoh difokuskan pada nalar perilaku tokoh. Yang diteliti tidak harus tokoh utama, dapat pula tokoh pendamping, selama peneliti bisa menjelaskan mengapa tokoh tersebut yang dianalisis. Ketiga, konflik perwatakan tokoh yang dikaitkan dengan alur cerita. Misalnya saja ada tokoh yang phobi, halusinasi, gila, dan sebagainya harus dihubungkan dengan jalan cerita secara struktural. Hal tersebut menghindari para peneliti terjenak hanya pada penggunaan teori psikologi. Jika penelitian hanya pada aspek teori-teori psikologi, berarti masuk ke ranah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra.
Jika sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat melakukan langkah-langkah: pertama, aspek ekstrinsik, meliputi cita-cita, keinginan, obsesi, harapan, dan tuntutan personal. Perlu adanya riwayat hidup pengarang untuk mengetahui pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya. Kedua, latar belakang penciptaan karya sastra perlu digali, dengan begitu, peneliti dapat mengetahui alasan seorang pengarang menuliskan karyanya tersebut. Apakah pengarang hanya sekedar menumpahkan perasaannya, atau kah ada tujuan lain. Ketiga, peneliti perlu mengaitkan dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh atau tidak.
Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian, tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai membahas isi dan makna perwatakan dalam kaitannya dengan struktus alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi dokumen, misalnya biografi pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika masih hidup) (Endraswara, 2011:105).
Dalam kajian psikologi sastra tak terlepas dari wilayah psikoanalisa. Awalnya psikoanalisa diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Tiga unsur kejiwaan yang dianalisis di dalam psikoanalisa yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga unsur itu layaknya rantai yang saling terhubung dan saling memerlukan satu sama lainnya. Id (das es) merupakan kepribadian dasar manusia, kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tak kenal nilai. Ego merupakan kepribadian yang mengarahkan setiap individu pada dunia luar, dunia kenyataan. Super ego merupakan sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai dan bersifat evaluatif (berkaitan dengan baik-buruk).
Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolute, harus dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak (Freud dalam Minderop, 2010:21).

Gangguan Bipolar atau Manik Depresif (dirangkum dari www.sehatnews.com)
a.Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar atau Manic-Depressive Illness (MDI) merupakan salah satu gangguan jiwa tersering yang menyerang manusia. MDI menyebabkan penderitanya merasakan sangat antusias dan bersemangat, seakan memiliki energi yang tidak ada habisnya. Namun, ketika suasana hatinya berubah buruk, si penderita bisa mengalami depresi hingga putus asa.
Gangguan bipolar baru muncul ketika seseorang sudah menginjak usia remaja. Keadaan ini akan terus berulang jika tidak dilakukan penanganan. Menurut beberapa kajian ilmiah yang dimuat dalam Ikatan Dokter Amerika, seseorang memiliki risiko 8 hingga 18 kali lebih besar terkena gangguan bipolar jika memiliki anggota keluarga yang mengidap gangguan bipolar.

b.Gejala Gangguan Bipolar
Gejala manusia mengalammi gangguan bipolar yaitu, (1) Penderita tidak mampu mengendalikan mood yang dirasakannya; (2) Penderita terlalu larut dengan suasana emosinya dalam jangka waktu yang cukup lama, berminggu-minggu bahkan hinga berbulan-bulan; (3) Penderita tampak terlalu bersemangat atau terlalu depresi dalam waktu yang tidak lumrah; (4) Penderita berperilaku dengan sangat impulsif dan tidak memikirkan risiko.

1.Fase Manik merupakan fase dimana si penderita mengalami semangat dan energi berlebih. jika seseorang mengalami fase manik, maka ia akan merasa penuh energi, siap melakukan apapun, tidak terkalahkan, dan siap menghadapi apapun yang menghalangi niatnya.
Fase ini berlangsung bisa beberapa hari hingga beberapa bulan sebelum akhirnya digantikan oleh fase selanjutnya, yaitu fase depresi. Untuk fase depresi, gejala penderita gangguan bipolar ini akan lebih sulit dikenali. Karena, jika belum mengalami fase manik, orang awam lebih banyak menganggapnya sebagai depresi saja. Padahal, gangguan manik depresif lebih berbahaya dibandingkan depresi saja.

Gejalanya:
1.Penderita seringkali mempunyai rencana yang tidak masuk akal dan tidak logis,
2.Berkurangnya nafsu makan dan jam tidur secara drastis,
3.Penderita bisa begadang semalaman tapi tidak terlihat tanda kelelahan,
4.Bicara yang sangat cepat dan sering berubah topik pembicaraan,
5.Kepercayaan diri yang sangat tinggi,
6.Sering mengambil keputusan tanpa berpikir risikonya. Akibatnya, seringkali keputusan yang diambil merugikan,
7.Cara berpakaian berubah-ubah

2.Fase Depresi merupakan kebalikan dari fase manik. Meski demikian, banyak orang yang mengalami fase ini lebih banyak dibandingkan fase manik.

Gejalanya:
1.Sedih dan sering menangis,
2.Tidak peduli dengan keadaan diri sendiri. Tidak ingin mandi, ganti baju, atau bahkan inginnya hanya mengurung diri saja,
3.Penderita bisa mengalami susah tidur (insomnia) atau bahkan terlalu banyak tidur (hipersomnolens),
4.Banyak dari penderita tidak berselera pada makanan dan kehilangan berat badannya,
5.Penderita sering mengalami kesulitan berpikir dan masalah pada ingatannya karena merasa depresi,
6.Penderita mengucilkan diri dari lingkungan sosialnya,
7.Hobi yang biasa dilakukan untuk menghilangkan stres sudah tidak lagi menarik bagi si penderita,
8.Selalu merasa pesimis, tidak berguna, dan hilang harapan,
9.Penderita bisa terkena penyakit kronis dan keluhan fisik lainnya tanpa sebab yang jelas,
10.Yang paling parah, penderita bisa merencanakan untuk bunuh diri karena merasa sudah tidak memiliki tujuan untuk hidup.

C.ANALISIS PEMBAHASAN
1.Bentuk Gangguan Bipolar
a.Manic-depressive
Menurut pengakuan Rastri, Anggi mengidap manik depresif, terlihat dari kutipan

“Mendadak wajah perempuan itu menjadi berubah. Yang tadinya cerah kemerahan, tiba-tiba saja gelap berwarna buram.” (hlm 132)

“Rastri terperangah. Perempuan di depannya mengidap manic-depressive, tiba-tiba saja dengan drastis berubah perilaku. Waktu baru datang sepertinya dia sayang sekali dengan pasangannya. Tapi setelah diingatkan masalahnya, perempuan itu beralih wajah, seakan-akan ingin menelan bulat-bulat suaminya.” (hlm 132)

“Rastri terperangah. Ya Allah, benar-benar manic depressive, psikopat. Rastri tidak tau apa yang harus dilakukan.” (hlm 138)

b.Anggi mengalami depresi dan melakukan penyerangan kepada orang-orang yang terlibat memunculkan rasa depresi pada dirinya
a.Anggi marah kepada suaminya dan meminta cerai

“Pokoknya gwe minta cerai. C E R A I . . .!” (hlm 135)

“…Ah, pura-pura, kamu aja yang mau kawin lagi nyari istri baru.” (hlm 135)

“…Gwe ngga mau tau! Mau ada perempuan kek, monyet kek, gajah, belatung, jin… pokoknya cerai! Cerrr-raiiiii…! Gwe dah ngga tahan Pa. Ngga tahan!” (hlm 135-136)

“Hei, jangan lari kamu ya. Ke sini, gwe hajar dulu biar tahu rasa! Gwe minta cerai. Pokoknya CERAI. CERAI…!” (hlm 139)


b.Anggi melempar suaminya dengan barang-barang yang ada di dekatnya

“…tiba-tiba Bu Anggi sudah melempar tas kulitnya ke wajah Pak Dewanto. Lalu Bu Anggi berdiri, seperti kesetanan mendorong Pak Dewanto hingga terjengkang jatuh terjerembab. Bu Anggi segera berlari ke arah meja. Matanya menatap vas bunga yang ada di atas meja. Ia mengambilnya, lalu… melemparnya ke arah Pak Dewanto…” (hlm 138)

“…Bu Anggi mengayunkan gagang sapu ijuk untuk meraih Pak Dewanto…” (hlm 139)

“…Bu Anggi tidak menyerah, ia nekat naik dan melompati meja kerja Rastri mencari celah untuk menusuk-nusuk suaminya itu.” (hlm 139)

2.Faktor Penyebab Munculnya Gangguan Bipolar
1.Anggi merasa tertekan karena dilarang bekerja oleh Dewanto,

“…Udah di rumah sepi kayak kuburan, eh dia malah ngelarang gwe berkarir…” (hlm 133)

“…Dia ngga mau gwe berkarir di luar rumah…” (hlm 133)

“…Gwe butuh udara luar, biar tahu, ngga cuma dikurung dalam rumah kayak piaraan…” (hlm 136)

“…Gwe tuh ya Pa, penginnya jadi perempuan karier kayak wanita yang lain. Papa ngga kasi ijin, gwe kan males jadinya…” (hlm 136)

2.Anggi merasa tertekan karena belum memiliki anak

“…Kami nikah delapan tahun yang lalu. Sampe sekarang belum punya anak.” (hlm 132)

“…dia belum bisa kasi anak ke gwe…” (hlm 133)

“…Lagian Papa belum bisa ngasi anak…” (hlm 136)

3.Cara Mengatasi Gangguan Bipolar

1.Anggi konsultasi ke Rastri (psikiater)

“Ah, dia, bener Dok! Pacar gwe, yang gwe certain tuh yaa… yang sekarang jadi suami gwe. Ngga tau! Dulu dia baik, menyenangkan. Tapi sekarang, gwe benci dia Dok. Pokoknya benci! Benci! Benciii…!!!” (hlm 132)

“Begini Dok!...” (hlm 132)

2. Dewanto konsultasi ke Rastri

“Maaf Bu Rastri, rasanya sakit sekali ketika saya mendengar istri saya minta cerai. Saya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba seperti itu. Padahal sebagai laki-laki saya sudah berusaha memberikan yang terbaik. Saya tidak tahu, Bu. Saya ngga habis pikir.” (hlm 141)

“Bu, jujur saja. Ibu boleh percaya boleh ngga. Walaupun istri saya seperti itu, tapi saya justru makin sayang sama dia Bu. Saya ingin sampai meninggal ada dia di samping saya. Saya ngga mau menceraikan dia. Demi Allah…” (hlm 142)

3.Rastri menyarankan Dewanto untuk mengirim surat cinta kepada istrinya

“Saya ingin Pak Dewanto menuliskan kembali surat cinta yang pernah Bapak kirimkan ke Bu Anggi. Lalu Bapak kirimkan, seperti dulu. Ya persis seperti dulu ketika belum menikah dengan Bu Anggi. Oh ya, saya juga ingin Pak Dewanto menuliskan kembali alasan-alasan kenapa memilih menikah dengan Bu Anggi. Bisa kan? Dua minggu ini saja. Saya minta tiap hari selama dua minggu Bapak mengirimkan surat-surat itu ke Bu Anggi…” (hlm 143)

“Pak Dewanto menyetujui usulan Rastri. Ia seperti mengingat kembali kenangan-kenangan tentang masa lalu.” (hlm 143)


Pada akhir cerita, digambarkan bahwa hubungan Anggi dan Dewanto kembali akur berkat pertolongan psikiater. Hal tersebut terlihat dari kutipan,

“…Bu Dok Rastri, gwe tuh makasih banget ya sama Bu Dok udah nyatuin rumah tangga kita. Rasanya seperti baru kemaren gwe nikah. Ih great. Tahu, ngga Dok, hampir tiap hari kita gituan. Kayak pengantin baru aja. Tiap hari honeymoon. Tahu kan? Itu tuuh…” (hlm 144)

“Ih, Bu Dok Rastri, bener ya…gwe ngg bisa ngebayangin kalo ngga ada Bu Dok gimana jadinya. Mungkin gwe jadi gelandangan lagi kali…” (hlm 144)

D.KESIMPULAN
1.Bentuk Gangguan Bipolar pada Tokoh
    a.Manik Depresif, terdiri dari 3 kutipan
    b.Anggi mengalami depresi dan melakukan penyerangan kepada orang-orang yang terlibat memunculkan rasa depresi pada dirinya, diantaranya yaitu:
       a. Anggi marah kepada suaminya dan meminta cerai, terdiri dari 4 kutipan
       b. Anggi melempar suaminya dengan barang-barang yang ada di dekatnya, terdiri dari 3 kutipan

2.Faktor Penyebab Munculnya Gangguan Bipolar
   a.Anggi merasa tertekan karena dilarang bekerja oleh Dewanto, terdiri dari 4 kutipan
   b.Anggi merasa tertekan karena belum memiliki anak, terdiri dari 3 kutipan

3.Cara Mengatasi Gangguan Bipolar
    a.Anggi konsultasi ke Rastri (Psikiater), terdiri dari 2 kutipan
    b.Dewanto konsultasi ke Rastri, terdiri dari 2 kutipan
    c.Rastri menyarankan Dewanto untuk mengirim surat cinta kepada istrinya, terdiri dari 2 kutipan
Pada akhir cerita, digambarkan bahwa hubungan Anggi dan Dewanto sudah kembali akur berkat pertolongan psikiater, terdiri dari dua kutipan
KONSEP “PENCARIAN” DALAM SAJAK “JALAN MENUJU RUMAHMU” DAN KONSEP “TASAWUF” DALAM SAJAK “KASIDAH SUNYI” KARYA ACEP ZAMZAM NOOR:
INTERPRETASI HERMENEUTIKA PAUL RICOUER


A. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dan sajak “Kasidah Sunyi” merupakan sajak-sajak di dalam buku kumpulan sajak berjudul “Jalan Menuju Rumahmu”. Buku kumpulan sajak tersebut diterbitkan oleh PT. Grasindo, terdiri dari seratus buah sajak yang sebagian besarnya pernah dipublikasikan dalam bentuk buku puisi, antologi puisi, Koran, majalah, dan jurnal.
Menurut Acep Zamzam Noor, sajak-sajak di dalam kumpulan sajak “Jalan Menuju Rumahmu” secara kebahasaan tidak terlalu banyak masalah, secara tema masih ada kaitan satu sama lain (alam, lingkungan, cinta, keimanan, dan pencarian diri), dan secara suasana ada benang merahnya. Membaca latar belakang penyusunan sajak-sajak dalam kumpulan sajak “Jalan Menuju Rumahmu”, penulis tertarik untuk memahami sajak berjudul “Jalan Menuju Rumahmu” dan sajak “Kasidah Sunyi”. Penulis menganggap kedua sajak tersebut memiliki kaitan yaitu sama-sama membahas mengenai keimanan dan ketuhanan.

IDENTIFIKASI MASALAH
Acep Zamzam Noor dilahirkan di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshop seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).
Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, JurnalPuisi, serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako(Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dan sajak “Kasidah Sunyi” merupakan dua sajak di dalam kumpulan sajak berjudul “Jalan Menuju Rumahmu” yang diterbitkan Grasindo pada tahun 2004. Penulis tertarik memahami lebih dalam makna yang terkandung di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu” lebih dikarenakan penulis memiliki anggapan awal bahwa sajak tersebut berbicara mengenai “pencarian”, dan penulis menemukan konsep “tasawuf” di dalam sajak “Kasidah Sunyi” yang penulis anggap dapat menjawab “pencarian” yang dimaksud pada sajak “Jalan Menuju Rumahmu”.
Penulis akan menggunakan teori dan metode analisis hermeneutika Paul Ricoeur. Ricoeur melihat wacana sebagai sesuatu yang lahir dari tuturan individu. Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur. Terdapat empat unsur pembentuk wacana, yakni : (1) terdapatnya subjek yang menyatakan, (2) isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, (3) alamat yang dituju, (4) dan terdapatnya konteks (ruang dan waktu).
Tugas hermeneutika bukan mencari kesamaan antara maksud penyampai pesan dan penafsir, melainkan menafsirkan makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang tertulis atau terlukis, tetapi selalu berkaitan dengan konteks.


RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konsep “Pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”?
2. Bagaimanakah konsep “Tasawuf” dalam sajak “Kasidah Sunyi”?
3. Sejauh apakah konsep “Tasawuf” dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat menjawab konsep “Pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”?

TUJUAN
1. Mengetahui bagaimanakah konsep “Pencarian” yang terdapat di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”
2. Mengetahui bagaimanakah konsep “Tasawuf” yang dikandung oleh sajak “Kasidah Sunyi”
3. Mengetahui sejauh apa konsep “Tasawuf” dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat menjawab konsep “Pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”?


B. TEORI DAN METODE
TASAWUF
Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf. Ilmu Tauhid bertugas membahas i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai ketuhanan, kerasulan, hari akhirat dan sebagainya. Ilmu Fiqih membahas seputar ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, naik haji dan sebagainya. Sementara ilmu Tasawuf membahas hal-hal yang berhubungan dengan akhlak dan budi pekerti, berhubungan dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan sebagainya. Setiap orang Islam dianjurkan beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), beribadah sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang sufi. Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat mengenai asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat. Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal. Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu (kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya). Huruf ya’ adalah huruf nisbat. Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah SWT. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya: “...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21).
Firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Sad:46-47).

TEORI HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
Bagi Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas makna, disaat itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab di sini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan. Menurutnya interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan (Sumaryono,1999:105). Kata-kata adalah simbol yang menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung, tidak begitu penting serta figurative (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut” (Sumaryono,1999:105).
Kedudukan penafsir menurut Ricoeur harus mengambil jarak dengan obyek yang kita teliti supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Ricoeur sadar bahwa setiap manusia dalam benaknya pasti sudah membawa anggapan-anggapan atau gagasan-gagasan, oleh karenanya kita sama sekali tidak dapat menghindari diri dari prasangka. Dibalik itu pula Ricoeur sadar bahwa anggapan-anggapan dan gagasan-gagasan yang terdapat pada para penafsir itu turut mempengaruhi dalam mereka dalam memberi kritik (Sumaryono,1999:106-107) dan tugas dari seorang penafsir adalah menguraikan keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa atau teks (Sumaryono,1999:108)
Analisi hermeneutika Ricoeur bergerak pada wilayah teks yang otonom (otoritas teks) sehingga pemahaman terhadap teks terhindar dari hubungan intersubjektif (intense pengarang) (Via Heru Kurniawan,2009:112). Oleh karena itu, menurut Ricoeur (via Heru Kurniawan,2009:112), tugas hermeneutika tidak lagi ditafsirkan sebagai mencari kesamaan antara pemahaman penafsir dengan maksud pengarang.

TEORI SIMBOL
Kata simbol yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti menghubungkan atau menggabungkan. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya. Ricouer merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (via Heru Kurniawan, 2009:27).
Ricouer mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutika (via Heru Kurniawan, 2009:27).

TEORI METAFORA
Metafora, kata Manroe, adalah ”puisi dalam miniature”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figurative dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna ekspliesit dan makna implisit (via Heru Kurniawan, 2009: 23).
Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi (Via Heru Kurniawan, 2009: 23).
Aristoteles menjelaskan bahwa metafora adalah ”penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke spesies, dari spesies jenis, dari spesies atau secara proporsional”. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (via Heru kurniawan, 2009:23).
Makna metafora akan diperoleh melalui, sedikitnya proposisi (kalimat) sebagai unsur terkecil wacana, dan bahasa mempunyai makna bila dipergunakan dalam kalimat. Dengan demikian, metafora bukanlah penyimpangan makna harfiah dari kata-kata itu, seperti teori metafora klasik, tetapi berfungsinya operasi prediksi dalam tingkat kalimat. (via Heru Kurniawan, 2009:25).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sumber yang berdasarkan Al-Quran untuk mengarah pada penjelasan deskriptif dan interpretasi sebagai ciri khas penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa , pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (via Heru Kurniawan, 2009:31). Metode teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah teori metafora dan simbol dalam hermeneuika (Paul Ricoeur).

Tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Pembacaan terhadap objek penelitian,
2. Pemilihan sampel sebagai data penelitian, yaitu sajak yang mengandung metafora dan simbol sebagai subjek penelitian,
3. Pengumpulan data tambahan yang mendukung penelitian. oleh karena penelitian kualitatif, maka data utamanya adalah kata-kata atau bahasa (via Heru kurniawan, 2009:31), data pendukungnya yaitu buku yang mendukung penelitian ini,
4. Melakukan analisis secara cermat terhadap metafora dan simbol yang terdapatdalam sajak-sajak yang dijadikan sampel penelitian dengan menggunakan teori hermeneutika (via Heru Kurniawan, 2009:31). Langkah kerja analisisnya mencakup: Pertama, langkah objektif (penjelasan), yaitu menganalisis dan mendiskripsikan aspek semantik pada metafora dan simbol berdasarkan pada tataran linguistiknya. Kedua, langkah-langkah refleksi (pemahaman) yaitu menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (reference), yang pada aspek simbolnya bersifat non linguistik. langkah ini mendekati tingkat antologis. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan metafora dan simbol sebagai titik tolaknya. Langkah ini disebut juga dengan langkah eksistensial atau antologi, keberadaan makna itu sendiri,
5. Merumuskan kesimpulan.


C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
KONSEP “PENCARIAN” DALAM SAJAK “JALAN MENUJU RUMAHMU” KARYA ACEP ZAMZAM NOOR: INTERPRETASI HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR


Jalan Menuju Rumahmu

Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar

Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis. Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan

Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semuanya beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali

Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi

1986

Kata “Jalan” menjadi simbol yang digunakan untuk memaknai keseluruhan isi sajak “Jalan Menuju Rumahmu”. Penulis memaknai sajak “Jalan Menuju Rumahmu” sebagai suatu sajak yang berbicara mengenai konsep “pencarian”. Terlihat dari pemilihan kata “Jalan”, dimana kata jalan dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mendapatkan sesuatu. Makna jalan sebagai “cara” juga dipaparkan di dalam kamus besar bahasa Indonesia, yakni “cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu” (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Sehingga “Jalan menuju rumahmu” dapat dimaknai sebagai cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) yang digunakan untuk “menuju rumahmu”. Tetapi kemudian muncul pertanyaan di benak penulis, apakah makna di balik kata “rumahmu”?
Sajak “Kasidah Kekosongan (1)” dan sajak “Jalan Setapak” karya Acep Zamzam Noor yang juga merupakan sajak-sajak dalam kumpulan sajak “Jalan Menuju Rumahmu” kiranya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Di dalam sajak “Kasidah Kekosongan (1)”, kata “jalan” disandingkan dengan kesabaran yang dianggap sebagai jalan terbaik menuju hakikat. “Menunggu adalah tabiat batu-batu, sedang kesabaran/jalan terbaik menuju hakikat. Aku ingin tenggelam.” (sajak “Kasidah Kekosongan (1), Jalan Menuju Rumahmu, 2004: 40).
AlQuran telah berbicara mengenai hakikat kesabaran, sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:153)

Ayat di atas menceritakan bahwa meminta pertolongan kepada Allah SWT harus dilakukan dengan sabar dan shalat. Dengan adanya salah satu surat di dalam kitab suci umat Islam yang berbicara mengenai kesabaran, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa “hakikat” yang dimaksud di dalam sajak “Kasidah kekosongan (1)” adalah Allah SWT.
Di dalam sajak “Jalan Setapak” juga terdapat simbol jalan. “Jalan setapak membentang ke cakrawala” (sajak “Jalan Setapak”, Jalan Menuju Rumahmu, 2004:34). Simbol “jalan” di dalam sajak “Jalan Setapak” disandingkan dengan kata “cakrawala”.
Cakrawala merupakan sesuatu yang berkaitan dengan langit. “Lengkung langit; langit (tempat bintang-bintang);peredaran bintang di langit (kerap pula berarti sbg bintang di langit);kaki langit; tepi langit; batas pemandangan” (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php), sehingga lagi-lagi simbol “jalan” dikaitkan dengan sesuatu yang hakiki dan berada “di atas”, yakni Allah SWT. Dapat disimpulkan bahwa judul “Jalan Menuju Rumahmu” memiliki makna cara yang dapat ditempuh untuk dapat “bertemu” dengan Allah SWT.

(1) Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar

Bait pertama menggambarkan “aku-lirik” menggelepar di tengah salak anjing dan ringkik kuda. Di dalam sajak Acep yang berjudul “Kasidah Hujan” terdapat kata “salak anjing” yang dianggap sebagai penyebab “langit terbelah”. “Merenungi bumi. Langit terbelah oleh salak anjing” (sajak Kasidah Hujan, Jalan Menuju Rumahmu, 2004:28).
Pada baris selanjutnya, menerangkan “aku-lirik” bertanya “engkau-lirik” berada di mana. Pertanyaannya kemudian, siapa atau apa yang dimaksud oleh “aku-lirik” dengan ungkapan “engkau di mana?”. Penulis dapat menyimpulkan, “engkau-lirik” yang dimaksud oleh “aku-lirik”, tak lain adalah Allah SWT.
Di dalam sajak “Di Masjid Salman” karya Acep lainnya, kata “rumah” disandingkan dengan kata “Tuhan” dan “suci”, sehingga “rumah” dianggap sebagai tempat suci keberadaan “Tuhan”.
Pada baris berikutnya menerangkan “aku-lirik” merasakan kesepian. “Angin mengupas lembar-lembar/kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang/rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar”
Sajak “Di sini” karya Acep, dapat memperkuat rasa sepi yang menyelimuti hati (yang disimbolkan dengan “tulang-tulang rusuk”, dimana hati merupakan organ dalam tubuh manusia yang dilindungi oleh tulang rusuk) “aku-lirik”.

Di Sini
Sesaat, sepi yang luruh mengurapi
Rambutmu. Malam tanpa bingkai
Telanjang berbeban sunyi dan rindu
Padamu kutambatkan kereta waktu

Hanya angin yang lintas, seiring
Senyum yang bermain di ujung firmanmu
Di sini, telah kuukirkan iman
Memahamimu selembar demi selembar

1982

Sajak “Di sini” menggambarkan perasaan “aku-lirik” yang merasa kesepian, berada dalam kesunyian dan kerinduan. Kemudian “aku-lirik” menambatkan kereta waktu “padamu”. Penulis dapat mengetahui maksud “mu-lirik” melalui pemaparan bait kedua sajak di atas tersebut.
Pada baris kedua dan baris ketiga bait kedua yang berbunyi “senyum yang bermain di ujung firmanmu” dan “di sini, telah kukirimkan iman” menjelaskan makna “mu-lirik” yang dimaksud penyair melalui sajaknya “Di sini”. “Mu-lirik” merupakan Allah SWT. Simbol “firman” dan “iman” erat kaitannya dengan konsep ketuhanan. Firman diartikan sebagai perintah Tuhan (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php) sedangkan iman diartikan sebagai keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dsb (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Sehingga dapat dikatakan bahwa bait pertama sajak “Jalan Menuju Rumahmu” memaparkan mengenai perasaan sepi akibat kerinduan yang dirasakan “aku-lirik” kepada Allah SWT.

(2) Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis. Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan

Bait kedua sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dibuka dengan ungkapan yang menjelaskan bahwa “aku-lirik” menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara pada batu karang. Pertanyaannya kemudian, apa kaitan antara “aku-lirik” yang menyusuri pantai, menghitung lokan (kerang besar yg dapat dimakan, hidup di lumpur di tepi laut), dan bicara pada batu karang dengan makna “jalan menuju rumahmu”.
Alquran surat Al-Kahfi ayat 109 dapat menjelaskannya,

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu." (QS. Al-Kahfi: 109).


Ternyata pada bait kedua menjelaskan bahwa “aku-lirik” menyadari bahwa kekuasaan Allah SWT tidak akan cukup digambarkan dengan lautan sebagai tintanya, sehingga tak heran bila “aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara pada batu karang”, semuanya tersebut merupakan hal-hal yang berkaitan dengan lautan dan “aku-lirik” menganggap bila “aku-lirik” bertanya pada “pantai, lokan dan batu karang” dapat menemukan hakikat keberadaan Allah SWT, karena Alquran juga menggunakan simbol “lautan” untuk menjelaskan luasnya kekuasaan Allah SWT.
Tetapi kesadaran tersebut tetap membawa “aku-lirik” ke dalam “keputusasaan”, hal tersebut terlihat pada ungkapan berikutnya di baris kedua bait kedua “Jalan menuju rumahmu kian lengang.
Di tengah ketidakpuasan “aku-lirik” mendapatkan “keberadaan” Allah SWT, “aku-lirik” memutuskan untuk “mengalun bersama gelombang/meliuk mengikuti topan dan jumpalitan bagai ikan”, yang itu artinya “aku-lirik” memutuskan menjalani hidup apa adanya. Mengikuti arus kebersamaan (“mengalun bersama gelombang”), menghadapi tantangan dan cobaan hidup (“meliuk mengikuti topan”) dan menikmati hidup (“jumpalitan bagai ikan”), walaupun pada akhirnya “aku-lirik” merasakan “Tapi matamu kian tak tergambarkan”. Simbol “Matamu” dapat dimaknai sebagai “pengamatan Allah SWT” kepada hamba-hambaNya.
Bait kedua sajak “Jalan Menuju Rumahmu” diperkuat pula oleh bait ketiga sajak tersebut.

(3) Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semuanya beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali

“Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas” dapat melambangkan perputaran waktu. Pada ungkapan “menuliskan igauanku”, sajak tersebut menggambarkan bahwa “igauanku” tak dapat ditulis sejak menggunakan “kulit-kulit kayu, hingga menggunakan kertas-kertas”. Sejarah membuktikan bahwa dahulu menuliskan sesuatu menggunakan kulit-kulit kayu dan daun-daun lontar, seiring perkembangan zaman, fungsi kulit-kulit kayu dan daun-daun lontar sebagai media tulis digantikan oleh kertas.
Bait ketiga menjelaskan bahwa “aku-lirik” tetap dalam “ketidakpuasan” dan “keputusasaan”, hal tersebut terlihat pada ungkapan “kembali aku bergulingan/bagai cacing”. Tetapi di akhir bait ketiga, “aku-lirik” telah memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, tergambar melalui ungkapan “bersujud lama sekali”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan An-Nasai telah pula menerangkan keistimewaan sujud sebagai berikut,

Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW bersabda: “Kondisi yang paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa, hal itu patut untuk dikabulkan bagimu”.

“Ketidakpuasan” dan “keputusasaan” “aku-lirik” di dalam mendapatkan cara agar dapat berdekatan dengan Allah SWT, diperkuat pula dengan keberadaan bait keempat.

(4) Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi

“Aku-lirik” memberikan penekanan “Engkau siapa?”, pertanyaan tersebut melambangkan keputusasaan, sebab selanjutnya “aku-lirik” mengatakan “sebab telah kutatah nisan yang indah”. “Aku-lirik” seolah-olah telah menyiapkan detik-detik kematiannya, “aku-lirik” mengganggap bahwa kematian yang disimbolkan dengan kata “nisan” merupakan cara terakhir yang dapat digunakan untuk dapat berdekatan dengan Allah SWT. Kata “tatah” di dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “pahat”( http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Telah penulis paparkan bahwa sajak “Jalan Menuju Rumahmu” merupakan sajak yang bercerita mengenai proses “pencarian” Allah SWT yang dianggap oleh “aku-lirik” dapat menghilangkan kesepian dan kesunyian hati. Proses “pencarian” tersebut berakhir kepada “keputusasaan” dan “kenihilan” pertemuan dengan Dzat Yang Maha Agung.
Perasaan “sepi” dan “sunyi” akibat jauh dengan Allah SWT juga tergambar lengkap di dalam sajak “Kasidah Sunyi” karya Acep Zamzam Noor yang ditulis pada tahun 1982.


Kasidah Sunyi
1
Kepada sunyi
Jagalah napasku
Agar tidak berbunyi

Peliharalah tubuhku
Agar tidak ikut pergi

Lemparkan aku
Ke lembah
Biarkan sendiri

Tenggelam
Dalam rindu
Biarkan mati

2
Aku ingin tidur
Lelap dalam pelukan kasihmu

Tapi baying-bayang kehidupan
Impian-impian masa depan
Selalu mengusik kantukku

Tapi suara-suara yang memanggilku
Suara-suara di luar jendela
Tak bisa kuelakkan

Bagai senyum istriku
Bagai senyum anak-anakku
Bagai kabut yang turun di depanku

Kekasih, aku tak bisa melihat wajahmu



3
Dalam sujud batu-batu
Dalam runduk suara-suara
Dalam derasnya aorta

Sungai-sungai datang
Menerjangku

Dalam shalat sepi syahdu
Dalam lezat bertamu
Dalam dzikir dan rindu

Daun-daun luruh
Menguburku

4
Kutanggalkan baju, celana, dan sepatu
Kutinggalkan kamar, buku-buku dan mimpi-mimpi
Kulupakan kamu, harapan dan nafsu-nafsu
Kubersihkan debu dari sekujur tubuhku

Dengan begini aku merasa telanjang
Dan berjalan menuju kasihmu

Apakah aku sudah telanjang, kekasih
Dan sedang berjalan ke arahmu?

Aku lupa ruang
Aku lupa waktu
Aku lupa diriku

Betapa banyak jalan bersimpangan di hadapanku
Betapa banyak rambu-rambu petunjuk ke arahmu

Aku lenyap, kekasih
Dan berjalan entah ke mana

5
Perjalanan ini
Alangkah gelapnya
Dan sunyi

Berat langkahku
Oleh beban kalbu

Kelu mulutku
Untuk mengucapkan namamu

Aku terkunci
Oleh keinginan dan nafsu
Yang tak terungkapkan


Kepada sunyi
Simpanlah birahiku
Sebelum pertemuan nanti

6
Tidak. Ini bukan rumahmu
Ini bukan tempat yang ingin kutuju
Sebab terlalu banyak lampu, cahaya-cahaya
Yang gemerlapan menyilaukan mataku

Terlalu banyak bunga, warna-warna
Dan suara-suara merdu yang melenakanku

Gedung ini terlalu megah
Taman ini terlalu indah

Ini bukan rumahmu
Bukan tempat yang ingin kutuju
Keindahan dan kemegahan selalu fana
Sedangkan bagiku engkau sederhana

7
Apa yang kauinjak
Berguncang

Apa yang kaupandang
Bergoyang

Apa yang kupegang
Hanya bayang-bayang

Kepada sunyi
Tariklah aku kembali
Kembalikan ke kamarku

Baringkan aku tidur
Di ranjang bumi

Aku lelah sekali

8
Di antara bilik
Dan atap yang tiris
Tempias angin yang dingin
Membaringkanku di sini

Di antara bisik
Dunia yang tak pernah tidur
Peluk dan cium perempuan berpupur
O, nasibku terbujur

Ini kasur yang tak pernah kuganti
Setia menanggung hidupku sepanjang hari
Kamar yang tak pernah merasa terganggu
Jika aku memekik memanggil-manggil namamu

Kekasih, impian-impianku kian memanjangkan talinya
Mengikat dan melilit hidupku satu dengan ranjang ini
Sedang bayang-bayangmu kian genit menggodaku
Untuk berontak, lepas dan lari memburumu

9
Terimalah aku
Kuakkanlah pintu
Peluklah aku, o, peluklah
Kelana dungu

Terimalah aku
Bukakanlah hatimu
Kawinilah aku, o, kawinilah
Dengan kasihmu
Sebelum rindu menghamili sepiku
Dan kesepian
Melindas hidupku

Kuakkanlah pintu
Bukakanlah hatimu
Setubuhilah aku, o, setubuhilah
Kekosongan jiwaku

10
Dalam tafakur
Gairahku meluncur
Adakah tanganmu padaku terulur
O, bayang-bayang kubur

Dalam syukur
Apa yang mesti kuulur
Tangisku deras mengucur
O, kepadamu aku melebur

1982

Di dalam sajak “Kasidah Sunyi” dipaparkan dengan lengkap hakikat kesunyian dan kerinduan kepada Allah SWT yang pada nomor satu (1), hakikat Dzat Allah SWT terlihat ketika “aku-lirik” memohon penjagaan kepadaNya melalui ungkapan “jagalah napasku”.
Pada nomor dua (2) sajak “Kasidah Sunyi”, menceritakan bahwa “aku-lirik” ingin segera berjumpa dengan Allah SWT. Berjumpa di sini dapat dimaknai sesungguhnya yaitu bertemu dengan Allah SWT yang dilakukan melalui proses kematian. Terlihat pada ungkapan “aku ingin tidur/lelap dalam pelukan kasihmu”, selain itu, pada bait-bait berikutnya menguatkan pula keyakinan bahwa kematian merupakan sesuatu yang diinginkan “aku-lirik”. Tetapi “aku-lirik” merasa berat ketika kematian itu benar-benar datang dikarenakan “aku-lirik” merasa masih memiliki tanggung jawab kepada keluarga. Hal tersebut terlihat pada ungkapan “tapi bayang-bayang kehidupan/impian-impian masa depan/selalu mengusik kantukku//tapi suara-suara yang memanggilku/suara-suara di luar jendela/tak bisa kuelakkan/bagai senyum istriku/bagai senyum anak-anakku/bagai kabut yang turun di depanku”.
Keadaan bingung dikarenakan merasa tak mendapat petunjuk Allah SWT juga dirasakan “aku-lirik” dalam proses pencariannya, hal tersebut dapat dilihat pada nomor 4 bait keempat, kelima, dan keenam, berikut “aku lupa ruang/aku lupa waktu/aku lupa diriku//betapa banyak jalan bersimpangan di hadapanku/betapa banyak rambu-rambu petunjuk ke arahmu//aku lenyap, kekasih/dan berjalan entah ke mana”.
Akhirnya perjalanan dalam proses pencarian Allah SWT berakhir pada kenihilan, ketika “aku-lirik” dengan terang-terangan mengatakan penyebab kenihilan perjumpaan dengan Allah SWT karena “aku terkunci/oleh keinginan dan nafsu/yang tak terungkapkan”.
Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa “Kasidah Sunyi” merupakan sajak yang bercerita tentang kesunyian dan kerinduan “aku-lirik” kepada Allah SWT. Karena kerinduan itu pula, “aku-lirik” ingin berjumpa dengan Allah SWT melalui proses kematian, tetapi keinginan tersebut tidak dapat teralisasikan karena “aku-lirik” merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarganya, dan akhirnya dengan jujur “aku-lirik” mengungkapkan bahwa nafsu dirinya yang membuat “aku-lirik” jauh dari Allah SWT.

KONSEP “TASAWUF” DALAM SAJAK “KASIDAH SUNYI” KARYA ACEP ZAMZAM NOOR
Berbicara mengenai ketuhanan dalam perspektif agama Islam, tak akan terlepas dari suatu ilmu yang dinamakan ilmu tasawuf. Di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”, Allah SWT disimbolkan dengan “mu-lirik” dan dalam hal ini, “rumah” “mu-lirik” merupakan tujuan “aku-lirik”. Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” sarat akan kesepian yang dirasakan “aku-lirik” akibat ketidakbersamaan Allah SWT di dalam hidupnya. Begitu pula di dalam sajak “Kasidah Sunyi” yang sarat akan kerinduan “aku-lirik” bertemu dengan Allah SWT.
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” kuat mengandung keinginan “aku-lirik” agar dapat berdampingan dengan Allah SWT. Melalui simbol “rumahmu”, “aku-lirik” menggambarkan bahwa kedekatan dengan Allah SWT akan tercapai bila “aku-lirik” mendatangi kediaman (“rumahmu”) Allah SWT. Pemaknaan seperti ini tidak terlepas dari konsep tasawuf di dalam agama Islam, sebab terdapat pendapat seorang sufi mengenai hal tersebut, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”(Abu Bakr asy-Syibly).
Selain konsep tasawuf di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”, sajak “Kasidah Sunyi” yang mengandung nilai-nilai kerinduan terhadap Allah SWT, dapat juga secara otomatis mengandung konsep tasawuf. Pada bagian keempat, sajak “Kasidah Sunyi” yang berbunyi “Kutanggalkan baju, celana, dan sepatu/Kutinggalkan kamar, buku-buku dan mimpi-mimpi/Kulupakan kamu, harapan dan nafsu-nafsu/Kubersihkan debu dari sekujur tubuhku//Dengan begini aku merasa telanjang/Dan berjalan menuju kasihmu//Apakah aku sudah telanjang, kekasih/Dan sedang berjalan ke arahmu?” mengandung nilai-nilai dari ilmu tasawuf. “aku-lirik” berupaya untuk melepaskan diri dari kebutuhan dunia, “kutanggalkan baju, celana, dan sepatu/kutinggalkan kamar, buku-buku dan mimpi”.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pendapat para sufi sebagai beriku:

“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.” (Abu Hamzah Al-Baghdady)

“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan member dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.” (Ruwaim bin Ahmad)


“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.” (Ahmad ibnul Jalla’)


Pemaknaan terhadap simbol “rumahmu” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dijelaskan pula di dalam sajak “Kasidah Sunyi” pada bagian keenam,

6
Tidak. Ini bukan rumahmu
Ini bukan tempat yang ingin kutuju
Sebab terlalu banyak lampu, cahaya-cahaya
Yang gemerlapan menyilaukan mataku

Terlalu banyak bunga, warna-warna
Dan suara-suara merdu yang melenakanku

Gedung ini terlalu megah
Taman ini terlalu indah

Ini bukan rumahmu
Bukan tempat yang ingin kutuju
Keindahan dan kemegahan selalu fana
Sedangkan bagiku engkau sederhana

Pada bagian keenam dalam sajak “Kasidah Sunyi” digambarkan bahwa Allah SWT berada dalam nilai kesederhanaan. Hal tersebut juga terkandung di dalam konsep tasawuf, seperti yang diungkapkan oleh seorang sufi bernama Samnun, “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
Pada bagian kesembilan sajak “Kasidah Sunyi” juga mengandung konsep tasawuf.

9
Terimalah aku
Kuakkanlah pintu
Peluklah aku, o, peluklah
Kelana dungu

Terimalah aku
Bukakanlah hatimu
Kawinilah aku, o, kawinilah
Dengan kasihmu
Sebelum rindu menghamili sepiku
Dan kesepian
Melindas hidupku

Kuakkanlah pintu
Bukakanlah hatimu
Setubuhilah aku, o, setubuhilah
Kekosongan jiwaku

Pada bagian kesembilan, digambarkan bahwa “aku-lirik” memohon agar “mu-lirik” bersedia membukakan “pintu” untuknya. Simbol “pintu” juga terkandung di dalam konsep tasawuf seperti yang dijelaskan oleh salah seorang sufi sebagai berikut, “Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.” (Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary).
Pada bagian penutup sajak “Kasidah Sunyi” yang berbunyi “O, kepadamu aku melebur” juga mengandung nilai-nilai tasawuf. Terdapat pula seorang sufi yang mengatakan pendapatnya mengenai hal tersebut,

“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, ‘siapakah, yang menurutmu Sufi itu?’ Lalu ia menjawab, ‘Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit’. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.” (Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy)


D. KESIMPULAN
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” mengandung konsep “Pencarian”, terlihat dari simbol “Jalan” yang dapat dimaknai sebagai suatu “cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu” (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php). Sehingga “Jalan menuju rumahmu” dapat dimaknai sebagai cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) yang digunakan untuk “menuju rumahmu”. Sedangkan “rumahmu” dikaitkan dengan Allah SWT, sebab di dalam sajak sajak “Kasidah Kekosongan (1)”, kata “jalan” disandingkan dengan kesabaran yang dianggap sebagai jalan terbaik menuju hakikat. “Menunggu adalah tabiat batu-batu, sedang kesabaran/jalan terbaik menuju hakikat. Aku ingin tenggelam.” (sajak “Kasidah Kekosongan (1), Jalan Menuju Rumahmu, 2004: 40). Di dalam al-quran surat Al-Baqarah ayat 153 juga telah menjelaskan mengenai hakikat kesabaran yang dikaitkan dengan Allah SWT.
Sajak “Kasidah Sunyi” mengandung nilai-nilai tasawuf. Konsep tasawuf yang mencintai kesederhanaan terlihat dari bait-bait di dalam sajak “Kasidah Sunyi” (bagian keempat sajak), begitu pula, sajak tersebut juga berbicara mengenai peleburan seorang hamba kepada Allah SWT (bagian kesepuluh).
Konsep “Tasawuf” di dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat menjawab “pencarian” “aku-lirik” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”. Kedua sajak tersebut berbicara mengenai ketuhanan dan kerinduan akan perjumpaan dengan Allah SWT. Sajak “Kasidah Sunyi” kental dengan konsep “tasawuf”, dalam memahami konsep “pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu” salah satu caranya dengan memaknai sajak “Kasidah Sunyi” secara menyeluruh. Akhirnya nilai-nilai ketuhanan dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat dikatakan mampu menjawab makna “rumahmu” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul karim
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Kurniawan, Heru. 2009. Mistisisme Cahaya. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press
Sumaryono, E.1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat ed.1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Wachid B.S, Abdul. 2008. Gandrung Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
www.qalbu.net
Zamzam Noor, Acep. 2004. Jalan Menuju Rumahmu. Jakarta: Grasindo