Senin, 14 Mei 2012

cerpen: Dilema

             Suasana siang itu seperti biasanya, rame sesak dengan teman-teman yang akan melaksanakan shalat. Aku duduk di dekat lemari penyimpanan mukena milik masjid kampus. Kalau lagi ramai begini, shalat rasanya tidak khusyuk, karena harus giliran tempat dan mukena untuk shalat. Jadi kuputuskan untuk menunggu sejenak. Biasanya jam setengah 1, ruang khusus wanita di masjid ini pasti sudah sepi, karena rata-rata sudah kembali ke ruang kuliah. Berhubung kelasku nanti baru mulai jam 2, jadi aku tiak perlu buru-buru dikejar waktu seperti kebanyakan mereka.
            Hhhhmmmm……sambil menghilangkan kebosanan, kulanjutkan membaca novel. Oh my God, novel ini indah sekali, mengapa? Karena imajinasinya liar. Oh… yeah…. Penulisnya seolah-olah menyisipkan tokoh utama idamannya ke dalam sebuah tema novel yang sudah lebih dulu booming daripada novel yang aku genggam sekarang. Jadi aku rasa penggemar novel yang lebih dulu booming tersebut akan protes kalau novel idaman mereka dibajak. Yeah…aku lagi bicara tentang twilight yang “dibajak” oleh almost twilight. Apakah benar dibajak? Aku yakin tidak, karena almost twilight adalah bayi yang lahir dari rahim kreativitas, bukan rahim plagiat.
            Di tengah asyik berimajinasi dengan novel di tanganku ini, tiba-tiba pundakku disentuh seseorang dan otomatis aku mendongak mencari empunya tangan jail di pundakku ini.
            “Oh…Mbak Sali.”
            Aku tersenyum senang. Senyum ini mewakili pernyataanku menarik kembali ucapanku bahwa yang menyentuh pundakku adalah tangan jail. Yeah…aku merasa bersalah karena ternyata yang menyuntuhku adalah seniorku di kampus sekaligus favoritku. Bagaimana tidak? Mbak Dila yang biasa kupanggil “Mbak Sali” itu benar-benar sesuai dengan sebutannya, “Sangat Lincah”. Aku kenal beliau sebagai mahasiswi yang sangat aktif di organisasi-organisasi kampus.
            Terakhir kali aku bertanya, beliau terlibat di 8 organisasi sekaligus, baik di intern kampus maupun ekstern. Hebat bukan? Tidak hanya aktif di organisasi, aku juga tahu banget kalau IPK beliau super baik, nyaris sempurna malah. Bahkan untuk mata kuliah yang nilai akhirnya dapat B saja, beliau pasti mengulang di tahun berikutnya agar dapat nilai A. Oh yeah…. Berbeda denganku yang sudah lega bila dapat B, walaupun aku tetap punya ambisi untuk dapat nilai maksimal, nilai A.
            “Hai dek, assalamu’alaikum.”
            Aku tersenyum dan menjawab salamnya. “Sini mbak, duduk dulu.”
            “Ngapain di sini? Udah shalat?”
            Aku menggeleng. “Shalat dulu yuk dek.” Ajak Mbak Sali, aku sontak melihat keadaan sekeliling. Hhhmmmm….. udah lumayan tidak seramai tadi. “Ya ok” aku mengikuti Mbak Sali ke tempat wudhu.
            Selesai bersuci, seperti biasa, aku meminta Mbak Sali menjadi imam shalat dan setelah selesai shalat aku berniat kembali melanjutkan kegiatanku dengan novel imajinasi itu.
            “Dek…. Masih ada kuliah?” tanya Mbak Sali berbisik setelah selesai berdoa. “Nanti jam 2 Mbak” Mbak Sali langsung melirik ke jam tangan berwarna gold yang tersemat di pergelangan tangan kirinya.
            “Masih ada 1 jam lagi, temenin mbak ngobrol yuk.”
            Aku tersenyum dan mengangguk.
            Setelah mengembalikan mukena ke lemari, Mbak Sali mengajakku duduk di sudut ruang masjid berdekatan dengan jendela yang menghadap ke jalan. Aku sempat memandang ke luar, langit cerah berawan dan lalu lintas jalan lumayan ramai oleh pengguna motor.
            “Tadi kamu baca buku apaan tuh dek?”
            Aku tahu kalau Mbak Sali sedang basa-basi membuka pembicaraan dan tidak ada salahnya kalau aku menjawabnya bukan?
            “Hhmmm…hanya sebuah novel imajinasi saja Mbak.”
            Bagiku, novel imajinasi sangat luar biasa membuat aku ketagihan membaca. Kata “saja” yang barusan aku ucapkan sesungguhnya sangat menyiksa ketentraman hatiku, seolah-olah kata itu sangat meremehkan kecintaanku, tapi terpaksa kuucapkan untuk menghargai keberadaan Mbak Sali yang mungkin tidak seketagihanku membaca novel imajinasi.
            Mbak Sali mengangguk. “Wah….tahun depan Mbak udah skripsi ya? Udah ada bahan untuk skripsi besok Mbak?” tanyaku kemudian dengan semangat menggebu. Aku sudah tak sabar untuk segera menulis skripsi dan lulus S1.
            Mbak Sali mengangguk, “Udah ada bayangan objeknya dan subjeknya apa dek.”
            “Kenapa kamu baca novel itu? Aku kira kamu lebih suka baca novel-novel dengan tema keibuan atau keistrian.” Mbak Sali tertawa dan menampakkan jejeran gigi putih berkawatnya.
            “Oh ayolah, walaupun statusku sudah jadi istri, tapi aku tidak seserius itu memilih tema untuk novel-novel yang aku baca. Aku butuh penyegaran” batinku. Yang tampak lahirku hanya sebentuk senyuman untuk merespon ucapan Mbak Sali.
            “Oh ya…Mbak mau tanya, kenapa kamu berani ngambil keputusan nikah mudah dek?” tak langsung kujawab pertanyaan itu, kupandangi mata Mbak Sali, dalam. Yang dipandang malah tertawa, “Hahahaaahahaa….. pertanyaan mbak aneh ya?”
            “Ah…enggak juga Mbak, hanya bingung mau menjawab aja mbak, takut salah, maklum kan aku bicara di depan senior hebat” ucapku berusaha merendah.
            “Ah…..jangan begitu, anggap saja aku ini temanmu, aku serius mau belajar mengambil keputusan menikah yang tepat seperti kamu.”
            “Mbak sudah ingin menikah ya?” tanyaku kemudian. “Hhhhmmm….gimana ya?” Mbak Sali kebingungan. Aku menatap bola matanya sembari menggerakkan alis mataku sebagai pertanda menanti jawaban.
            “Oh ya…sebaiknya aku ceritakan semuanya biar kamu nggak bingung” Mbak Sali memberi keputusan dan aku tersennyum lega. Ekspresi wajahku seperti mewakili ucapan batinku, “Nah…begitu lebih OK”
            “Begini dek…”
            Mbak Sali tampak membenarkan posisi duduknya sebelum melanjutkan cerita.
            “Aku adalah seorang manager dari salah satu kelompok nasyeed acapella dari kota ini….” Mbak Sali bercerita dan ketika mendengar ceritanya yang satu ini, aku terkagum-kagum. Aku baru tahu, di tengah kesibukan organisasi, Mbak Sali juga seorang manager. Aku tidak bisa membayangkan betapa sibuknya beliau.
            “Nasyeed yang aku manageri itu beranggotakan laki-laki 5 orang.” Mbak Sali menarik nafas.
            “Ya....singkat cerita, aku dekat dengan salah seorang dari mereka.”
            “Maksud Mbak pacaran?” aku mencoba memastikan dugaanku.
            Mbak Sali diam dan yeah…aku berkesimpulan kalau mereka memang pacaran.
            “Ah…entahlah, aku takut membayangkan kalau aku pacaran dengan dia.”
            Mbak Sali masih bercerita dan pikiranku masih terfokus pada dugaan bahwa Mbak Sali pacaram dan kalau itu benar, Mbak Sali membuat aku kecewa.
            Aku tahu bagaimana Mbak Sali aktif di organisasi Keislaman dan selalu berpesan kepada adik-adik remaja yang dibimbingnya bahwa pacaran jelas dapat merusak hati kita. Hati yang seharusnya diberikan hanya untuk muhrim kita, malah diberikan kepada pasangan yang belum jelas. Dan parahnya pacaran membuat pelakunya rela menyerahkan tubuh kepada pasangan yang belum sah.
            “Dek…. Kenapa kamu melamun?” Mbak Sali menggoyangkan lenganku.
            “Ah…hehehehhee…enggak Mbak, nggak kenapa-kenapa. Mbak tadi bilang apa?”
            “Aku takut membayangkan kalau aku pacaran dengan dia.” mendengarnya, keningku langsung berkerut.
            “Maksudnya, Mbak benci dengan laki-laki itu?”
            Mbak Sali menggeleng seketika. “Bukan..bukan gitu. Mbak takut membayangkan bukan karena benci dengan dia, tapi lebih karena benci dengan diriku yang munafik ini.”
            Aku mengangguk. Dalam hati aku setuju dengan pernyataan Mbak Sali yang itu.
            “Aku mengatakan apa yang tidak aku lakukan, aku ngerasa berdosa banget.” Mbak Sali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
            “Eh…dek, maaf ya kalau Mbak jadi melo begini.”
            Yeah…walaupun tak kuduga Mbak Sali akan mengalami hal-hal menyedihkan seperti ini, tapi aku sadar kalau sekuat-kuatnya Mbak Sali, sehebat-hebatnya dia, Mbak Sali tetaplah manusia biasa.
            “Kenapa Mbak tidak menikah saja? Kan yang cowok sudah bekerja” saranku.
            “Oh…ya Allah dek, andaikan Mbak bisa ngambil keputusan seperti itu. Mbak ngerasa sulit banget.”
            Aku jadi ngerasa bersalah dengan ucapanku tadi. Melihat ekspresi Mbak Sali ini, sudah seperti orang putus asa dan kebingungan mau berbuat apa. Aku berharap Mbak Sali tidak benar-benar sedang putus asa.
            “Hhhmmm…kenapa mbak kelihatan bingung begitu? Apakah hanya ada 2 pilihan yang bisa diambil? Menikah atau tidak.” aku mengelus lengan Mbak Sali, menguatkan.
            “Begini dek, aku belum siap menikah.”
            “Apa mbak belum yakin dengan cowok itu?”
            “Aku sudah kenal dia lama, aku tak ada ketidakyakinan dengan dia.”
            “Terus masalah yang membuat mbak belum siap menikah apa?”
            “Aku masih ingin lulus kuliah dulu, jadi dosen, melanjutkan S2 dan baru menikah.”
            “Nah…itu mbak sudah punya pandangan ke depan. Jalani saja.”
            “Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku tidak bisa menjauhi dia.”
            Mendengar cerita Mbak Sali, aku jadi bingung. Yeah…gejolak perasaan tidak sesederhana melaksanakan sebuah pernikahan. Aku yang telah lebih dulu menikah, aku justru tidak merasakan apa-apa ketika ijab qabul. Rasanya biasa saja. Seolah semua ini memang sudah pasti terjadi dan aku tidak perlu menolak.
            Oh yeah….menolak. Masalah Mbak Sali terasa sangat mencekik karena di dalam diri Mbak Sali ada 2 hal yang bertentangan, yakni penerimaan dan penolakan.
            “Mbak sebenarnya menerima kehadiran dia, Mbak nyaman dan ngerasa bahagia. Tapi Mbak juga menolak keberadaan dia, karena belum jadi suami.”
            “Yaa dek, kamu benar banget.” Wajah Mbak Sali ceria seolah mendapat pencerahan.
            “Dan Mbak belum bisa menjadikannya suami karena Mbak masih punya obsesi yang belum tercapai.” Aku menyimpulkan obrolan kami siang ini.
            “Bukan hanya itu dek.”
            “Terus apa lagi Mbak?” ekspresi wajahku jelas seperti orang yang menanti jawaban.
            “Karena dia belum mapan. Yaa walaupun dia sekarang bekerja dengan kelompok nasyeednya itu, tapi mbak rasa itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Karena kelompok nasyeednya kan masih bertaraf local. Dan orang tua kami melarang adanya pernikahan untuk saat ini karena si cowok belum lulus S1.”
            “Orang tua Mbak dan dia tahu tentang hubungan kalian?”
            “Mbak Sali mengangguk.
            Oh ya Allah…apa ini namanya kalau bukan pacaran, ucap batinku dan kupandang wajah Mbak Sali dengan tatapan kecewa.
            “Orang tua kami setuju kalau kami berteman. Dan itu membuat aku sulit menjauhi dia, karena aku udah akrab dengan keluarganya.”
            “Sebenarnya tidak ada yang sulit kalau Mbak mau menjauhi si cowok itu. Karena kalau memang begitu, Mbak bisa menetralisir perasaan Mbak ke dia, kenapa nggak Mbak lakukan saja. Tapi masalahnya, Mbak menerima hadirnya perasaan khusus itu ke dia, makanya semua jalan jadi sulit Mbak.”
            Mbak Sali tampak berpikir.
            “Aku rasa Mbak, orang tua Mbak hanya perlu pembuktian dan Mbak perlu memilih.”
            “Maksudmu dek?”
            “Yeah…Mbak, kita memang harus punya obsesi tapi kita harus ingat kodrat kita.”
            “Ya dek, aku wanita dan aku harus jadi istri karena menjadi istri dan ibu banyak pahalanya. Tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku masih ingin bermanfaat untuk orang lain dek, dengan begitu aku juga kan bisa dapat pahala.”
            “Iya Mbak, tapi kalau Mbak masih bermain-main dengan perasaan Mbak ini, apa Mbak bisa terbebas dari dosa? Kan Mbak yang bilang sendiri, kalau memberikan hati kepada…..”
            “Iya dek, tapi….” Mbak Sali berusaha memotong ucapanku.
            “Maafkan aku mbak kalau lancang, tapi coba deh Mbak pikir, kita sebagai wanita bisa dapat pahala selayaknya suami yang berjihad ke luar rumah hanya dengan kita melaksanakan kewajiban sebagai istri di dalam rumah. Kita juga bisa masuk surge bila suami kita ridho. Indah kan kalau jadi istri. Belum lagi kalau punya anak-anak soleh dan kita didoakan oleh mereka.”
            “Kenapa Mbak takut untuk menikah sekarang? Bukannya kalau sudah menikah, Mbak juga masih bisa melakukan apa yang mbak mau, asalkan dapat ijin dari suami.”
            “Tapi kenapa ya dek, aku masih ragu untuk menikah, aku ingin sukses dulu.”
            “Sukses yang mbak maksud sukses yang bagaimana dulu mbak. Ya sudahlah, Mbak tidak perlu terburu-buru, mintalah petunjuk kepada Allah, kapan menurut Allah waktu yang tepat.”
            Mbak Sali mengangguk.
            “Untuk orang tua mbk, sepertinya mereka terlalu berada ‘di dalam zona nyaman mereka’. Yaa…mereka punya anak yang prestasi akademiknya sangat luar biasa, jadi ada keraguan di hati orang tua mbak untuk setuju ketika anaknya izin untuk menikah. Mereka takut prestasi mbak berantakan. Jadi yang mereka perlukan adalah pembuktian yang serius dari Mbak, kalau ketakutan mereka belum tentu benar terjadi.”
           

Sabtu, 12 Mei 2012

Resensi buku: Almost Twilight Vs Twilight Series


Judul buku: Almost Twilight
Penulis: Noey Moore
Penerbit: Laksana
Cetakan: I, 2011
Tebal: 379 hlm

   Ketika kita membaca judulnya, mungkin yang pertama kali terbayang adalah “apakah benar isinya hampir menyerupai serial Twilight karangan Stephenie Meyer”? jika Anda membayangkan begitu, sama dengan apa yang aku bayangkan pertama kali sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli novel Almost Twilight ini.
   Ketika membuka lembar pertama novel tersebut, seolah adegan demi adegan dalam film twilight yang sudah aku tonton beberapa waktu lalu, kembali berlompatan di benakku. Tak salah memang ketika aku mengaitkan novel Almost Twilight dengan Twilight Series, karena setelah bab demi bab aku baca, aku geleng-geleng kepala keheranan sekaligus tak percaya dengan kemiripannya.
   Novel Almost Twilight karangan Noey Moore (yang aku kira pengarang luar negeri, ternyata justru pengarang dalam negeri, dan itu membuatku takjub) menceritakan seorang gadis bernama Enola yang (“pada awalnya”) adalah anak yatim piatu. Selama kecil, Enola hidup di panti asuhan. Sampai umurnya genap sembilan belas tahun, datanglah ke panti asuhan tempat Enola hidup seolah lelaki lima puluh tahun bernama Saul yang memberikan liontin berisi foto ayah Enola.
   Saul membuka sekilas identitas orang tua Enola. Sampai pada suatu ketika, Enola melakukan perjalanan jauh dengan pesawat udara untuk wawancara beasiswa kuliah di Harvard University. Sialnya, karena ketiduran di toilet saat menunggu boarding, Enola salah masuk pesawat. Tragisnya, pesawat yang ditumpangi Enola “jatuh” dan beberapa hari kemudian, Enola ditemukan di tepian hutan di kota Forks dalam keadaan pingsan dan tubuh terdapat luka bekas cabikan.
   Oh yeah….kota Forks, mungkin bagi Anda yang sudah menonton maupun membaca Twilight series tidak asing lagi dengan nama kota tersebut. Yap….Forks adalah kota tempat tinggal Bella dan Charlie Swan, serta keluarga Cullen si vampire dan Jacob si srigala teman akrab Bella sejak kecil.
    Akibat “kecelakaan” yang dialami Enola, gadis itu sempat mengalami amnesia, tetapi ketika sembuh, Enola menyadari keanehan-keanehan yang ada di sekelilingnya. Yang Enola tahu, keluarga Swan dan Cullen hanya ada di serial Twilight karangan Stephenie Meyer, tetapi kok dia justru tinggal bersama keluarga Swan.
    Keanehan semakin menjadi ketika Enola mengetahui bahwa di dalam darahnya mengalir darah vampire dan ayahnya ternyata masih hidup. Yup….Enola keturunan vampire. Tepatnya ayahnya adalah penguasa malam (vampire kasta tertinggi), jauh lebih tinggi kedudukannya daripada keluarga Cullen yang pada awalnya sangat ditakuti oleh Enola.
   Novel Almost Twilight sangat fantastis, imajinasi liar sangat harmonis berdampingan dengan kisah dramatis seorang anak yang sangat merindukan kedua orangtuanya. Pembaca seolah tersihir dan mungkin sedikit kebingungan untuk memilah mana adegan yang terdapat di Twilight Series dan Almost Twilight. Tetapi jika kita jeli, perbedaan sangat mencolok adalah, Noey Moore seolah ingin menunjukkan bahwa keluarga Cullen yang “luar biasa” di Twilight Series dapat “dikalahkan” dengan kehadiran Enola dan ayahnya sang penguasa malam di Almost Twilight.
    Kekurangan novel ini hanya ada pada kekurangmandirian tokoh dan setting, dimana tokoh dan setting hampir mirip (kalau tidak boleh dikatakan mirip) dengan tokoh dan setting di dalam Twilight Series. Pembaca Almost Twilight mungkin sedikit “tertipu” ketika sebelumnya belum membaca atau menonton Twilight Series. Tapi, ok lah, kekurangan Almost Twilight pada akhirnya justru menjadi daya tariknya (yang liar).

Kamis, 03 Mei 2012

cerpen: Keikhlasan Istri

       Tiwi masih duduk di atas sajadahnya, memandang ke ranjang. Tampak suaminya sedang tertidur pulas. Dalam malam yang sunyi, Tiwi bermunajat pada Allah. Apa pun diceritakannya kepada Sang Kuasa, termasuk kegalauannya saat ini. Pernikahannya belum genap setahun. Selama pernikahan itu, terasa banyak warna yang dirasakan Tiwi. Dari yang sakit hingga menyakitkan. Air matanya kembali menetes ketika mengingat ucapan ibu mertuanya, “Kamu nggak secantik Santi…tapi ibu tahu, kamu gadis yang baik.” Walaupun akhirnya memuji, tetapi awalnya menekan perasaan Tiwi. Kalau mau memuji, kenapa harus membandingkan dengan gadis lain, yang notabene gadis itu adalah mantan pacar suaminya. Sakit hati Tiwi bertambah-tambah karena mengingat suaminya yang tempo hari meminta mantar pacarnya itu menginap di rumah mereka. 

 *** 



   “Hallo…Assalamu’alaikum…” Tiwi menjawab panggilan telponnya. 
   “Walaikum salam, Bunda lagi dimana?” suaminya menelpon. Tetapi tidak seperti biasa, karena suaminya menghubungi Tiwi ketika masih dalam jam kerja, mungkin ada urusan penting yang harus disampaikan. “Di rumah, kenapa Yah?” “Tolong jemput Santi di terminal ya? Dia lagi butuh bantuan, dan ayah nggak mungkin menjemputnya.” Ucap suaminya. Mendengar nama “Santi”, hati Tiwi serasa teriris. Dia adalah wanita yang pernah ada di masa lalu suaminya, dia mantan pacar suaminya ketika kuliah dulu. 


 *** 


     Tio menikahi Tiwi ketika umurnya 25 tahun dan Tiwi berumur 19 tahun. Tio menikahi Tiwi ketika dirinya telah menyelesaikan kuliah SI di salah satu universitas di kota asalnya, Semarang. Tio dan Tiwi berkenalan melalui perantara sepupu Tiwi, Siska yang merupakan adik tingkat Tio. Melalui Siska, Tiwi tahu kalau dulu Tio berpacaran lama dengan Sinta. “Mereka dulu hampir menikah loh mbk.” Ucap Siska ketika Tiwi memutuskan untuk menerima pinangan Tio. Kegagalan rencana pernikahan Tio dan Sinta karena orang tua Sinta nggak mau menikahkan anaknya dengan laki-laki yang belum memiliki perkerjaan mapan. Kemudian Tio mundur dan akhirnya berkenalan dengan Tiwi. Tio dan Tiwi kemudian memutuskan untuk tinggal di Jogja setelah mereka menikah. Sampai akhirnya Sinta muncul kembali di kehidupan rumah tangga mereka. 


 *** 


    “Mas…apa kabar?” ternyata suara cewek di seberang telpon sana adalah suara Sinta. Wanita yang pernah hadir di hati Tio. “Alhamdulillah baik, kamu sekarang lagi dimana?” “Aku lagi di Jogja Mas, lagi di terminal Jombor.” “Mampir ke rumahku Sin, dekat kok dari Jombor.” Ucap Tio mempersilahkan Sinta mampir. “Kalau boleh, saya mau minta tolong dengan mas.” Ucap Sinta kemudian. Sinta pun menceritakan bahwa udah seminggu dirinya di Jogja. Tujuannya mengunjungi pacarnya yang tinggal di sekitar kampus UNY. Rencananya hari ini dia mau pulang ke Semarang, tapi sayang, tiket bisnya habis semua. Sementara pacarnya yang tadi mengantar udah pulang, itu pun tanpa izin dengan Sinta. Wanita itu kesel banget dengan pacarnya itu, ditelpon-telpon tapi nggak diangkat, disms tapi balasnya “aku lagi sibuk, aku nggak mau tau, hari ini kamu harus pulang ke Semarang.” “Tapi aku nggak mungkin menjemputmu dan membawamu pulang ke rumahku. Aku nggak enak dengan istriku Sin, kamu kan tau aku udah menikah.” “Iya mas, tapi gimana ya, uangku udah habis.” Sinta semakin memelas. Akhirnya Tio menelpon istrinya meminta menjemput Sinta di terminal. 

*** 
    Sinta memakai gamis dan jilbabnya kemudian berangkat ke terminal dengan hati teriris. Sampai di terminal, dia mengingat-ingat wajah Sinta yang baru beberapa kali ditemuinya ketika berkunjung ke rumah mertua di Semarang. Dari kejauhan, tampak seorang wanita yang melambai-lambaikan tangannya dan meneriaki namanya. “Itu Sinta.” Batin Tiwi. “Udah lama nunggu di sini Sin?” tanya Tiwi berbasa-basi. “Maaf ya, aku merepotkan kamu dan mas Tio, tapi aku nggak tau harus ke mana minta pertolongan.” Kemudian Tiwi membawa Sinta ke rumahnya. Memasuki rumah, Tiwi melirik ke jam dinding yang tertempel di dinding bercat kuning itu. “Udah sore Sin, kamu bakal kemalaman kalau nunggu di terminal.” Ucap Tiwi sekedar basa-basi supaya Sinta merasa nyaman dengannya. Walaupun Tiwi nggak tau apa sebenarnya yang “direncanakan” suaminya dan Sinta.  
     Sekitar jam 5 sore, suaminya sampai di rumah. Sambil menunggu Tio, Tiwi mempersilahkan Sinta untuk makan masakannya terlebih dahulu. “Kamu pintar masak juga ya Ti, pantas mas Tio suka dengan kamu. Dia itu suka dengan wanita yang pintar masak, kan ibunya mas Tio juga pintar masak.” Sinta berbicara panjang. Mendengar ucapannya itu, entah mengapa ada rasa yang nggak enak di hati Tiwi. Seolah-olah, Sinta sangat mengenal Tio dan keluarganya luar dalam. “Kamu udah hamil Ti?” tanya Sinta kemudian. Tiwi menggeleng. Tak lama kemudian, Tio pulang. Setelah mengucapkan salam, Tio langsung menyapa Sinta. “Gimana ceritanya kamu sampai ditinggal Leo di terminal?” 
    “Tadi dia nganter aku ke terminal mas, rencananya aku mau pulang jam 10 tadi pagi, tapi karena Leo maunya aku pulang ketika dia pulang kerja, aku jadi nunggu dia dulu mas. Dia pulang sekitar jam 3, trus dia nganter aku ke terminal. Waktu aku beli tiket, Leo masih nunggu di motornya, tapi ketika aku tahu kalau semua tiket bis jurusan ke Semarang habis, dan aku menghampiri Leo, ternyata dia udah pergi. Aku cari diparkiran atau di toilet tapi dia nggak ada. Aku telpon nggak diangkat, aku sms tapi balasannya ketus. Aku bĂȘte banget.” Sinta mengeluhkan kesusahannya dengan Tio dan Tiwi. “Ini Yah, diminum dulu tehnya.” Tiwi menyajikan tah hangat ke suaminya. “Selama di Jogja, kamu menginap di mana?” 
    “Di kost-nya temenku mas. Dia kerja di Jogja.” “Malam ini rencananya kamu mau pulang ke kost temenmu itu?” Sinta diam. “Aku nggak tau mas, uangku habis, hanya ada untuk ongkos bis pulang ke Semarang. Aku nggak ada ongkos untuk ke kost temenku.” 
   “Besok kamu pulang mau naik apa?” tanya Tio terus-menerus. “Rencananya mau naik bis aja.” “Kamu nginep di sini aja, jadi pagi-pagi banget kamu kan bisa ke terminal, jadi nggak kehabisan tiket. Rumahku kan dekat dengan terminal.” Ucap Tio sembari melirik ke istrinya. Dalam hati Tiwi jelas menyimpan sakit. Tapi dia coba untuk tutupi itu. “Menginap di sini mas? Aku nggak enak dengan Tiwi mas.” Ucap Sinta sembari melihat ke arah Tiwi. 
   “Hheeemm..kok nggak enak dengan aku. Yaa…” “Yaa…kamu menginap di sini aja.” Tiwi mengucapkan itu demi menjaga perasaan suaminya dan Sinta. Tiwi meyakinkan dirinya sendiri kalau suaminya nggak akan “ada apa-apa” dengan Sinta. Hubungan mereka hanya kisah masa lalu. Tiwi nggak ingin menyusahkan hatinya sendiri dengan prasangka-prasangka. Akhirnya Sinta menginap di rumah Tio dan Tiwi. Malam harinya Tio mengajak istrinya dan Sinta makan di luar. Walaupun Tio tahu kalau istrinya udah memasakkan makanan untuk makan malam, tetapi Tio tetap mengajak Sinta makan di luar.     
    “Tapi kan aku udah masak mas.” Tiwi mencoba mencegah suaminya untuk mengajak makan di luar. “Sinta kan nggak tiap saat menginap di rumah kita, apa salahnya kalau memberikan yang terbaik, dia kan tamu kita.” Ucapan Tio nggak bisa dibantah oleh Tiwi.


 *** 
   Ketika embun masih terasa di pagi itu, Tiwi mengantar Sinta ke terminal. Sampai di terminal, ada sebuah bis yang akan ke Semarang, Sinta pun langsung memesan tiket dan naik ke bis itu. “Makasih banget ya Tiw, kamu udah mau mengizinkan aku menginap di rumah kalian.” “Iya, nggak apa-apa, hati-hati ya.” Tiwi kemudian langsung pulang ke rumahnya. Mas Tio berangkat kerja jam 8, Tiwi harus menyiapkan sarapan buat suaminya. 
    Sampai di rumah, Tiwi mendapati suaminya sedang menonton kartun animasi di tv. Suaminnya itu walaupun sudah segitu umurnya, tapi tetep aja suka dengan kartun. Tiwi hanya melihat selintas ke suaminya dan kemudian langsung ke dapur membuatkan nasi goreng untuk sarapan mereka. Tak lama kemudian nasi goreng pun jadi. “Yah, sarapan dulu.” Tio tersenyum. “Ayah udah dhuha?” Tio mengangguk. “Bunda kenapa?, kok ayah lihat wajahnya lain dari biasa?” Tio membaca sesuatu yang tidak enak yang sedang dirasakan istrinya. “Jangan sok tahu deh Yah, Bunda nggak kenapa-kenapa kok.” “Bunda ini, ayah udah hapal kalau bunda ada apa-apa, pasti langsung lain wajahnya, bunda nggak bisa bohong dengan ayah.” 
    “Ayah tuh, bunda sebel banget.” Tiwi langsung cemberut. Rasanya ingin sekali dia menumpahkan kekesalan dengan suaminya itu. “Kenapa sayang?” Tio melunak di hadapan istrinya. “Coba deh, kalau mantan pacar bunda nginep di rumah kita, apa ayah mau?” “Kok kamu tanya begitu?” 
    “Ayah masak nggak paham sih, bunda lagi sebel karena Sinta nginep di sini.” Tiwi sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Kamu kok gitu, nggak ikhlas kalau Sinta nginap di rumah kita? Kan kamu tau kalau Sinta itu lagi kesusahan, kalau dia tetep di terminal dan terjadi apa-apa gimana?” “Kenapa ayah suruh dia nginep di rumah, kan bisa aja dia nginep di kost temennya.” Tio menarik nafas dalam. Menekan perasaannya supaya nggak emosi. “Ayah nyuruh dia nginep di rumah hanya karena faktor efisien, kalau nginep di kost temennya, bisa aja dia kesiangan ke terminalnya. Itu aja, nggak ada niat aneh-aneh kok.” 
   “Ayah ini, nggak ngerti perasaan bunda.” Tiwi masuk ke kamar dan mengunci pintu. “Astagfirullah….ayah capek dengan bunda yang begini ini, hal sepele dibesar-besarkan. Bunda itu manja banget, hilangin dong sifat kekanak-kanakannya.” Tio tampak kesel dengan sikap istrinya. “Kalau ayah capek dengan bunda, ya udah kita pisah aja. Ngapain juga bunda hidup dengan laki-laki yang nggak ngerti perasaan bunda.” Teriak Tiwi dari dalam kamar. 
   Tok…tok…tok.. “Bunda, buka pintunya.” Pinta Tio. “Kenapa tho, bunda ngomongnya gitu terus?” tanya Tio dengan suara yang melunak. “Ya Allah, ayah, gimana sih menjelaskan dengan ayah. Ayah sih terlalu cuek, makanya jangan keseringan nonton kartun, pikirannya nggak dewasa-dewasa.” Sindir Tiwi yang merasa keberatan dengan kebiasaan suaminya itu. “Kok malah kartun yang disalahkan, itu kan bagus bunda, mengasah daya imajinasi.” “Ya udah, ayah hidup di dunia imajinasi ayah aja. Ngapain hidup dengan bunda.” Tio dan Tiwi terus bertengkar mulut. Tiwi tetap nggak mau ke luar dari kamar sementara Tio terus membujuknya. “Bunda, ayah mau kerja, buka pintu kamarnya dong.” Tio membujuk Tiwi agar mau membuka pintu kamar dengan berjuta alasan. 


*** 


     Waktu telah berjalan sebulan setelah kejadian Sinta menginap di rumah Tio dan Tiwi. Hari ini orangtua Sinta datang ke rumah mereka dan berbicara serius dengan Tio. “Saya mau kamu mempertanggungjawabkan perbuatan kamu.” Ayah Sinta terlihat emosi. Sementara Sinta terus menangis di pelukan ibunya. Tiwi yang melihat obrolan itu dari balik pintu kamar tidurnya hanya bisa menangis pilu. “Kalau saja, mas sedikit menghargai perasaanku dan tak semudah itu mempersilahkan dia menginap, kejadian nggak akan sampai begini.” Batin Tiwi terus saja menyesali keputusan suaminya yang tergesa-gesa itu. “Tapi bukan saya yang melakukannya pak. Saya udah punya istri, jadi saya nggak mungkin menghamili anak bapak.” Tio membela dirinya. “Shhiiiittt…. Kamu itu berbicara seolah-olah kamu bebas dari nafsu. Saya tau bagaimana dulu kamu sangat mencintai anak saya, beberapa kali kamu mencoba ngajak anak saya kawin lari, sekarang kalau Sinta menginap di rumahmu, apa saya percaya kalau kamu katakan kamu nggak ngapa-ngapain dengan Sinta? Hah?”
    “Bapak, jangan bicara begitu. Hargai perasaan istri saya. Ini rumah saya, bapak dan ibu nggak berhak membuat keributan di rumah ini.” “Menghargai perasaan istrimu?” pertanyaan ayahnya Sinta seolah-olah ditujukan untuk mencibir dan menghina Tio. “Kamu meminta saya menghargai istri kamu, tapi kamu sendiri nggak menghargai perasaannya, istri mana yang ikhlas membiarkan mantan pacar suaminya menginap di rumah kalian?” Tio menunduk mendengar ucapan ayahnya Sinta. “Saya harus berkata apa lagi, bukan saya yang melakukan itu. Bapak bisa tanya dengan anak bapak sendiri, saya nggak mungkin menghamilinya.” 
    “Mas…kenapa kamu tega begitu mas….” Sinta juga seolah-olah sedang merencanakan sesuatu. Dia jelas tahu bahwa bukan Tio yang menghamili dirinya. Tapi dia nggak berkata yang sejujurnya. “Aku tau, kamu melakukan itu sebagai pelampiasan kekecewaan kamu karena istrimu sampai saat ini belum hamil.” Mendengar ucapan Sinta, Tiwi yang menguping dari dalam kamar, langsung terduduk lemas. Menarik kedua lututnya menempel ke dada, dan menangis terisak. “Astagfirullah, ya Allah, teganya dia berbohong seperti itu.” Rasanya Tiwi ingin sekali mecabik-cabik mulut wanita itu, tetapi dirinya nggak mungkin kluar kamar. Tio melarang keras dia keluar kamar, orang tua Sinta bisa saja menyakiti Tiwi agar Tio mau menikahi Sinta. “Sinta, kamu itu keterlaluan, kata-katamu pernuh dusta.” 
   “Tio, berhenti menghina anak saya. Dulu kamu sangat menginginkan dia, sekarang ketika kamu mendapatkan keperawanannya, kamu malah mau membuang dia begitu saja. Saya hanya mau pertanggungjawaban kamu. Kamu mau menikahi anak saya, atau kamu mau saya penjarakan?” Tiwi tak bisa berbuat banyak. “Ya allah, apakah ini arti dari mimpi saya ya allah.” Tiwi kembali teringat mimpinya di malam-malam belakangan ini. Dia bermimpi Sinta tinggal bersama mereka dan juga tidur satu ranjang dengan mereka. “Maafkan aku mas, aku harus berkata begini. Aku tahu bukan kamu yang salah, Leo-lah laki-laki pengecut itu.” 


 SELESAI