Suasana siang itu seperti biasanya, rame
sesak dengan teman-teman yang akan melaksanakan shalat. Aku duduk di dekat
lemari penyimpanan mukena milik masjid kampus. Kalau lagi ramai begini, shalat
rasanya tidak khusyuk, karena harus giliran tempat dan mukena untuk shalat. Jadi
kuputuskan untuk menunggu sejenak. Biasanya jam setengah 1, ruang khusus wanita
di masjid ini pasti sudah sepi, karena rata-rata sudah kembali ke ruang kuliah.
Berhubung kelasku nanti baru mulai jam 2, jadi aku tiak perlu buru-buru dikejar
waktu seperti kebanyakan mereka.
Hhhhmmmm……sambil
menghilangkan kebosanan, kulanjutkan membaca novel. Oh my God, novel ini indah sekali, mengapa? Karena imajinasinya
liar. Oh… yeah…. Penulisnya seolah-olah menyisipkan tokoh utama idamannya ke
dalam sebuah tema novel yang sudah lebih dulu booming daripada novel yang aku
genggam sekarang. Jadi aku rasa penggemar novel yang lebih dulu booming tersebut
akan protes kalau novel idaman mereka dibajak. Yeah…aku lagi bicara tentang
twilight yang “dibajak” oleh almost twilight. Apakah benar dibajak? Aku yakin
tidak, karena almost twilight adalah bayi yang lahir dari rahim kreativitas,
bukan rahim plagiat.
Di
tengah asyik berimajinasi dengan novel di tanganku ini, tiba-tiba pundakku
disentuh seseorang dan otomatis aku mendongak mencari empunya tangan jail di
pundakku ini.
“Oh…Mbak
Sali.”
Aku
tersenyum senang. Senyum ini mewakili pernyataanku menarik kembali ucapanku
bahwa yang menyentuh pundakku adalah tangan jail. Yeah…aku merasa bersalah
karena ternyata yang menyuntuhku adalah seniorku di kampus sekaligus favoritku.
Bagaimana tidak? Mbak Dila yang biasa kupanggil “Mbak Sali” itu benar-benar
sesuai dengan sebutannya, “Sangat Lincah”. Aku kenal beliau sebagai mahasiswi
yang sangat aktif di organisasi-organisasi kampus.
Terakhir
kali aku bertanya, beliau terlibat di 8 organisasi sekaligus, baik di intern
kampus maupun ekstern. Hebat bukan? Tidak hanya aktif di organisasi, aku juga
tahu banget kalau IPK beliau super baik, nyaris sempurna malah. Bahkan untuk
mata kuliah yang nilai akhirnya dapat B saja, beliau pasti mengulang di tahun
berikutnya agar dapat nilai A. Oh yeah…. Berbeda denganku yang sudah lega bila
dapat B, walaupun aku tetap punya ambisi untuk dapat nilai maksimal, nilai A.
“Hai
dek, assalamu’alaikum.”
Aku
tersenyum dan menjawab salamnya. “Sini mbak, duduk dulu.”
“Ngapain
di sini? Udah shalat?”
Aku
menggeleng. “Shalat dulu yuk dek.” Ajak Mbak Sali, aku sontak melihat keadaan
sekeliling. Hhhmmmm….. udah lumayan tidak seramai tadi. “Ya ok” aku mengikuti
Mbak Sali ke tempat wudhu.
Selesai
bersuci, seperti biasa, aku meminta Mbak Sali menjadi imam shalat dan setelah
selesai shalat aku berniat kembali melanjutkan kegiatanku dengan novel
imajinasi itu.
“Dek….
Masih ada kuliah?” tanya Mbak Sali berbisik setelah selesai berdoa. “Nanti jam
2 Mbak” Mbak Sali langsung melirik ke jam tangan berwarna gold yang tersemat di
pergelangan tangan kirinya.
“Masih
ada 1 jam lagi, temenin mbak ngobrol yuk.”
Aku
tersenyum dan mengangguk.
Setelah
mengembalikan mukena ke lemari, Mbak Sali mengajakku duduk di sudut ruang
masjid berdekatan dengan jendela yang menghadap ke jalan. Aku sempat memandang
ke luar, langit cerah berawan dan lalu lintas jalan lumayan ramai oleh pengguna
motor.
“Tadi
kamu baca buku apaan tuh dek?”
Aku
tahu kalau Mbak Sali sedang basa-basi membuka pembicaraan dan tidak ada
salahnya kalau aku menjawabnya bukan?
“Hhmmm…hanya
sebuah novel imajinasi saja Mbak.”
Bagiku,
novel imajinasi sangat luar biasa membuat aku ketagihan membaca. Kata “saja”
yang barusan aku ucapkan sesungguhnya sangat menyiksa ketentraman hatiku,
seolah-olah kata itu sangat meremehkan kecintaanku, tapi terpaksa kuucapkan
untuk menghargai keberadaan Mbak Sali yang mungkin tidak seketagihanku membaca
novel imajinasi.
Mbak
Sali mengangguk. “Wah….tahun depan Mbak udah skripsi ya? Udah ada bahan untuk
skripsi besok Mbak?” tanyaku kemudian dengan semangat menggebu. Aku sudah tak
sabar untuk segera menulis skripsi dan lulus S1.
Mbak
Sali mengangguk, “Udah ada bayangan objeknya dan subjeknya apa dek.”
“Kenapa
kamu baca novel itu? Aku kira kamu lebih suka baca novel-novel dengan tema
keibuan atau keistrian.” Mbak Sali tertawa dan menampakkan jejeran gigi putih
berkawatnya.
“Oh
ayolah, walaupun statusku sudah jadi istri, tapi aku tidak seserius itu memilih
tema untuk novel-novel yang aku baca. Aku butuh penyegaran” batinku. Yang tampak
lahirku hanya sebentuk senyuman untuk merespon ucapan Mbak Sali.
“Oh
ya…Mbak mau tanya, kenapa kamu berani ngambil keputusan nikah mudah dek?” tak
langsung kujawab pertanyaan itu, kupandangi mata Mbak Sali, dalam. Yang dipandang
malah tertawa, “Hahahaaahahaa….. pertanyaan mbak aneh ya?”
“Ah…enggak
juga Mbak, hanya bingung mau menjawab aja mbak, takut salah, maklum kan aku
bicara di depan senior hebat” ucapku berusaha merendah.
“Ah…..jangan
begitu, anggap saja aku ini temanmu, aku serius mau belajar mengambil keputusan
menikah yang tepat seperti kamu.”
“Mbak
sudah ingin menikah ya?” tanyaku kemudian. “Hhhhmmm….gimana ya?” Mbak Sali
kebingungan. Aku menatap bola matanya sembari menggerakkan alis mataku sebagai
pertanda menanti jawaban.
“Oh
ya…sebaiknya aku ceritakan semuanya biar kamu nggak bingung” Mbak Sali memberi
keputusan dan aku tersennyum lega. Ekspresi wajahku seperti mewakili ucapan
batinku, “Nah…begitu lebih OK”
“Begini
dek…”
Mbak
Sali tampak membenarkan posisi duduknya sebelum melanjutkan cerita.
“Aku
adalah seorang manager dari salah satu kelompok nasyeed acapella dari kota ini….”
Mbak Sali bercerita dan ketika mendengar ceritanya yang satu ini, aku
terkagum-kagum. Aku baru tahu, di tengah kesibukan organisasi, Mbak Sali juga
seorang manager. Aku tidak bisa membayangkan betapa sibuknya beliau.
“Nasyeed
yang aku manageri itu beranggotakan laki-laki 5 orang.” Mbak Sali menarik
nafas.
“Ya....singkat
cerita, aku dekat dengan salah seorang dari mereka.”
“Maksud
Mbak pacaran?” aku mencoba memastikan dugaanku.
Mbak
Sali diam dan yeah…aku berkesimpulan kalau mereka memang pacaran.
“Ah…entahlah,
aku takut membayangkan kalau aku pacaran dengan dia.”
Mbak
Sali masih bercerita dan pikiranku masih terfokus pada dugaan bahwa Mbak Sali
pacaram dan kalau itu benar, Mbak Sali membuat aku kecewa.
Aku
tahu bagaimana Mbak Sali aktif di organisasi Keislaman dan selalu berpesan
kepada adik-adik remaja yang dibimbingnya bahwa pacaran jelas dapat merusak
hati kita. Hati yang seharusnya diberikan hanya untuk muhrim kita, malah
diberikan kepada pasangan yang belum jelas. Dan parahnya pacaran membuat
pelakunya rela menyerahkan tubuh kepada pasangan yang belum sah.
“Dek….
Kenapa kamu melamun?” Mbak Sali menggoyangkan lenganku.
“Ah…hehehehhee…enggak
Mbak, nggak kenapa-kenapa. Mbak tadi bilang apa?”
“Aku
takut membayangkan kalau aku pacaran dengan dia.” mendengarnya, keningku
langsung berkerut.
“Maksudnya,
Mbak benci dengan laki-laki itu?”
Mbak
Sali menggeleng seketika. “Bukan..bukan gitu. Mbak takut membayangkan bukan
karena benci dengan dia, tapi lebih karena benci dengan diriku yang munafik
ini.”
Aku
mengangguk. Dalam hati aku setuju dengan pernyataan Mbak Sali yang itu.
“Aku
mengatakan apa yang tidak aku lakukan, aku ngerasa berdosa banget.” Mbak Sali
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Eh…dek,
maaf ya kalau Mbak jadi melo begini.”
Yeah…walaupun
tak kuduga Mbak Sali akan mengalami hal-hal menyedihkan seperti ini, tapi aku
sadar kalau sekuat-kuatnya Mbak Sali, sehebat-hebatnya dia, Mbak Sali tetaplah
manusia biasa.
“Kenapa
Mbak tidak menikah saja? Kan yang cowok sudah bekerja” saranku.
“Oh…ya
Allah dek, andaikan Mbak bisa ngambil keputusan seperti itu. Mbak ngerasa sulit
banget.”
Aku
jadi ngerasa bersalah dengan ucapanku tadi. Melihat ekspresi Mbak Sali ini,
sudah seperti orang putus asa dan kebingungan mau berbuat apa. Aku berharap
Mbak Sali tidak benar-benar sedang putus asa.
“Hhhmmm…kenapa
mbak kelihatan bingung begitu? Apakah hanya ada 2 pilihan yang bisa diambil? Menikah
atau tidak.” aku mengelus lengan Mbak Sali, menguatkan.
“Begini
dek, aku belum siap menikah.”
“Apa
mbak belum yakin dengan cowok itu?”
“Aku
sudah kenal dia lama, aku tak ada ketidakyakinan dengan dia.”
“Terus
masalah yang membuat mbak belum siap menikah apa?”
“Aku
masih ingin lulus kuliah dulu, jadi dosen, melanjutkan S2 dan baru menikah.”
“Nah…itu
mbak sudah punya pandangan ke depan. Jalani saja.”
“Tapi
aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku tidak bisa menjauhi dia.”
Mendengar
cerita Mbak Sali, aku jadi bingung. Yeah…gejolak perasaan tidak sesederhana
melaksanakan sebuah pernikahan. Aku yang telah lebih dulu menikah, aku justru
tidak merasakan apa-apa ketika ijab qabul. Rasanya biasa saja. Seolah semua ini
memang sudah pasti terjadi dan aku tidak perlu menolak.
Oh
yeah….menolak. Masalah Mbak Sali terasa sangat mencekik karena di dalam diri
Mbak Sali ada 2 hal yang bertentangan, yakni penerimaan dan penolakan.
“Mbak
sebenarnya menerima kehadiran dia, Mbak nyaman dan ngerasa bahagia. Tapi Mbak
juga menolak keberadaan dia, karena belum jadi suami.”
“Yaa
dek, kamu benar banget.” Wajah Mbak Sali ceria seolah mendapat pencerahan.
“Dan
Mbak belum bisa menjadikannya suami karena Mbak masih punya obsesi yang belum
tercapai.” Aku menyimpulkan obrolan kami siang ini.
“Bukan
hanya itu dek.”
“Terus
apa lagi Mbak?” ekspresi wajahku jelas seperti orang yang menanti jawaban.
“Karena
dia belum mapan. Yaa walaupun dia sekarang bekerja dengan kelompok nasyeednya
itu, tapi mbak rasa itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Karena kelompok
nasyeednya kan masih bertaraf local. Dan orang tua kami melarang adanya
pernikahan untuk saat ini karena si cowok belum lulus S1.”
“Orang
tua Mbak dan dia tahu tentang hubungan kalian?”
“Mbak
Sali mengangguk.
Oh
ya Allah…apa ini namanya kalau bukan pacaran, ucap batinku dan kupandang wajah
Mbak Sali dengan tatapan kecewa.
“Orang
tua kami setuju kalau kami berteman. Dan itu membuat aku sulit menjauhi dia,
karena aku udah akrab dengan keluarganya.”
“Sebenarnya
tidak ada yang sulit kalau Mbak mau menjauhi si cowok itu. Karena kalau memang
begitu, Mbak bisa menetralisir perasaan Mbak ke dia, kenapa nggak Mbak lakukan
saja. Tapi masalahnya, Mbak menerima hadirnya perasaan khusus itu ke dia,
makanya semua jalan jadi sulit Mbak.”
Mbak
Sali tampak berpikir.
“Aku
rasa Mbak, orang tua Mbak hanya perlu pembuktian dan Mbak perlu memilih.”
“Maksudmu
dek?”
“Yeah…Mbak,
kita memang harus punya obsesi tapi kita harus ingat kodrat kita.”
“Ya
dek, aku wanita dan aku harus jadi istri karena menjadi istri dan ibu banyak
pahalanya. Tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku masih ingin bermanfaat untuk
orang lain dek, dengan begitu aku juga kan bisa dapat pahala.”
“Iya
Mbak, tapi kalau Mbak masih bermain-main dengan perasaan Mbak ini, apa Mbak bisa
terbebas dari dosa? Kan Mbak yang bilang sendiri, kalau memberikan hati kepada…..”
“Iya
dek, tapi….” Mbak Sali berusaha memotong ucapanku.
“Maafkan
aku mbak kalau lancang, tapi coba deh Mbak pikir, kita sebagai wanita bisa
dapat pahala selayaknya suami yang berjihad ke luar rumah hanya dengan kita
melaksanakan kewajiban sebagai istri di dalam rumah. Kita juga bisa masuk surge
bila suami kita ridho. Indah kan kalau jadi istri. Belum lagi kalau punya
anak-anak soleh dan kita didoakan oleh mereka.”
“Kenapa
Mbak takut untuk menikah sekarang? Bukannya kalau sudah menikah, Mbak juga
masih bisa melakukan apa yang mbak mau, asalkan dapat ijin dari suami.”
“Tapi
kenapa ya dek, aku masih ragu untuk menikah, aku ingin sukses dulu.”
“Sukses
yang mbak maksud sukses yang bagaimana dulu mbak. Ya sudahlah, Mbak tidak perlu
terburu-buru, mintalah petunjuk kepada Allah, kapan menurut Allah waktu yang
tepat.”
Mbak
Sali mengangguk.
“Untuk
orang tua mbk, sepertinya mereka terlalu berada ‘di dalam zona nyaman mereka’. Yaa…mereka
punya anak yang prestasi akademiknya sangat luar biasa, jadi ada keraguan di
hati orang tua mbak untuk setuju ketika anaknya izin untuk menikah. Mereka takut
prestasi mbak berantakan. Jadi yang mereka perlukan adalah pembuktian yang
serius dari Mbak, kalau ketakutan mereka belum tentu benar terjadi.”