Jumat, 15 Juli 2011

cerpen:Bocah Malang

Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada ketulusan,
ketulusan semu,
karena akhirnya kenyataan selalu bicara tentang kedengkian di hatimu, ibu


Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada kelembutan,
kelembutan semu,
karena akhirnya kenyataan berteriak tentang kekasaran yang kuterima dengan kepolosan, ibu.


Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada kesucian,
kesucian semu,
karena akhirnya dunia mencela kesucianmu yang ternoda dengan kemunafikanmu, ibu


Ibu...
Satu kata yang selalu mengingatkanku pada kehadiran,
kehadiran semu,
karena akhirnya aku menyadari bahwa kehadiranmu untuk meniadakan aku


Wahai ibu...
Kau yang menciptakan kenangan di buku harianku
Kau menuliskannya dengan tinta putih
Tinta putih yang membuat aku tak mampu membaca ketulusan, kelembutan, kesucian, dan makna kehadiranmu.


       Seorang bocah duduk di bawah temaram lampu. Keadaan sekeliling telah sepi. Orang-orang yang sejak subuh beraktivitas di pasar, kini beristirahat pulang ke kediaman masing-masing. Tinggallah bocah laki-laki itu meratapi kemalangannya. Dia duduk di emperan toko. Duduk dengan lutut menempel erat di dada. Dia hanya membekali dirinya dengan sebuah tas ransel yang berisi 2 helai baju dan sebingkai cantik foto seorang pria. Pria itu adalah ayahnya. Ayah yang sangat dicintainya. Telah lama dia berpisah dengan ayahnya. Dia sangat merindukan ayahnya.

        Dia kemudian mencium dan memeluk erat foto itu. air matannya tak tertahan. Bocah laki-laki yang kesepian dan sangat malang. Dia akhirnya melewati malam pertama kabur dari rumah dengan merasakan jahatnya udara malam yang menusuk tulang. Dengan beralaskan kardus seadanya, dia mencoba terlelap dan bermimpi sang ayah datang menjemput. Emperan toko menjadi saksi bisu betapa udara malam itu sangat kejam menjamah tubuh lemah di bocah.

***

    Matahari belum lagi tampak, tetapi orang-orang sudah ramai beraktivitas kembali. Bocah kecil itu bangun. Matanya yang terasa berat dikuceknya. Akh... Dia kemudian mendesah lapar. Menyesal dia kabur dari rumah, tapi apa mau dikata, dia tak dapat bertahan menetap di rumah itu jika sikap ibunya selalu begitu.
Semua berawal ketika...

     “Putra, ibu tahu bagaimana kehidupan keluargamu, tetapi ibu tak habis fikir, kenapa kamu sampai menunggak uang sekolah selama 5 bulan?” Bu Dewi, kepala sekolah dasar tempat bocah itu bersekolah bertanya dengan penuh rasa curiga. Dia fikir tidak mungkin kedua orangtua bocah ini tak memberikan uang kepada Putra untuk diberikan ke pihak sekolah. Ayah bocah itu adalah seorang pengusaha. Apa mungkin bocah kelas 2 SD telah berani bertindak korupsi? Begitu fikir gurunya. Tapi bocah kecil itu tetap bungkam ketika dipanggil dan ditanya ini itu oleh kepala sekolah.
     “Baiklah Putra, sekarang kamu boleh pulang.” Ucap Bu Dewi dengan lembut. Putra terus merunduk. Sepanjang jalan yang dia fikirkan hanyalah “hadiah” apa yang akan dia dapat dari ibunya.
Bocah kecil itu bernama Putra Rilian, anak kandung dari seorang wanita bernama Miranda. Dia adalah istri dari pengusaha sukses bernama Burhan. Tetapi Burhan adalah ayah tiri Putra, bukanlah ayah kandungnya.
Sejak tinggal bersama ayah tiri dan ibunya, Putra merasa tidak bahagia. Hidupnya tidak bebas seperti ketika dia masih tinggal di rumah ayah kandungnya. 


       Semua itu harus dijalani bocah malang itu walaupun sebenarnya dia tidak menginginkan kondisi seperti ini, kedua ibu bapak kandungnya bercerai. Itu terjadi ketika usaha sang bapak mengalami pailit. Sang ibu yang enggan jadi susah memilih untuk bercerai dan pergi menikah lagi dengan pengusaha kaya di Bandung, sementara anak dan mantan suaminya tinggal di Jogja.
Awalnya Putra tinggal bersama ayah kandung yang juga sakit-sakitan semenjak perpisahan dengan mantan istrinya, saat itu Putra masih TK. Tapi setelah lulus TK dan ingin melanjutkan ke SD, ayahnya meminta si bocah untuk tinggal bersama ibunya di Bandung. Kondisi keuangan ayahnya sungguh sangat memperihatinkan, dan keselamatan Putra juga tidak akan terjamin karena belakangan sudah beberapa orang yang mengancam akan membunuh bocah malang itu jika ayahnya tidak segera melunasi hutang-hutangnya yang sudah mencapai angka milyaran rupiah.


        Sebagai anak, Putra tidak mampu mengelak. Apalagi ketika itu dirinya dianggap masih belum pantas “bicara”. Tapi tanpa disangka, keputusan untuk tinggal bersama sang ibu justru merupakan gerbang awal kesengsaraannya. Bocah malang itu mendapatkan seorang adik tiri dari ibu dan ayah di Bandung. Adik itu bernama Niven, umurnya 2 tahun lebih muda.
Setiap hari Putra selalu berkewajiban menjaga Niven. Walaupun sang adik telah memiliki seorang babysitter tapi tetap saja, Putra tak dapat lepas dari tanggung jawab. Putra dilarang bermain di luar rumah karena setiap saat harus mendampingi Niven.
Ketika ada sesuatu yang terjadi pada Niven, entah itu si adik terjatuh atau apa pun, maka bocah malang itu yang harus menanggung akibatnya. Putra tidak mendapatkan jatah makan siang atau bahkan dia dikurung di kamar mandi. Tak ada yang dapat menolong dirinya karena semua perintah di bawah kendali ibunya tersebut. Wanita itu tak segan memecat pembantu yang lancang melanggar perintahnya.
Putra hanya mampu tersenyum dalam pilu yang membuncah mengisi dada. Dia terus memandangi dan terkadang berbicara pada foto ayah kandungnya. Dia ingi pergi dari rumah ibunya ini tapi dia nggak tahu ke mana tujuannya. Dia tak mungkin mampu ke Jogja sendirian.
Sampai akhirnya keinginan tersebut terpenuhi. Pulang sekolah, bocah malang itu disemprot habis-habisan oleh ibunya. “Dasar anak nakal, kamu selalu saja membuat keluarga ini malu.” Putra berdiri merunduk dalam di hadapan ibunya yang berkacak pinggang. “Ibu Dewi baru saja menghubungi saya karena uang sekolahmu yang menunggak.”


        Ibunya diam sejenak.
        “Apa ayahmu tidak mengirimimu uang?...... Untuk kamu ketahui, saya hanya akan membiayai uang masuk pertama, biaya awal-awal sekolah, dan uang makan saja, selebihnya sata tidak mau menutupi pembayaran itu. bisa rugi saya. Sementara ayahmu di Jogja sana hanya diam, enak-enakkan di rumah tanpa merasa ada tanggungan. Dia kan seorang bapak, seharusnya dia lah yang membiayai uang bulanan sekolahmu.” Ucap ibunya sembari memandang ke taman belakang melalui dinding kaca yang berukuran besar dengan membelakangi tubuh anaknya.
“Kamu itu harusnya bersyukur, suami saya masih berbesar hati untuk mengijinkanmu tinggal dan makan enak di sini. Seharusnya kamu katakan pada ayahmu supayah dia lebih tahu diri. Kenapa tanggung jawabnya sebagai ayah dilimpahkan ke orang lain. Ketika dia masih kaya, wajar dia bisa memberikan kemewahan, tapi ketika dia susah kenapa dia tak berusaha bangkit, dia justru mengirimu ke saya dan suami saya. Memalukan.” 


       Bocah malang itu tetap diam dan merunduk. Bocah kelas 2 SD harus mencerna setiap kata yang dikeluarkan dari mulut ibunya. Dia pun belakangan mulai paham bahwa dirinya dibenci oleh ibu kandung sendiri. Tanpa sadar air matanya meleleh dan tekat untuk meninggalkan rumah menjadi semakin mantap. Kalau dulu dia ingin pergi karena tidak tahan dengan hukuman-hukuman dari ibunya tapi sekarang dia ingin pergi karena demi kebahagiaan ibunya yang sangat terganggu dengan keberadaannya.
“Sudah sana masuk kamar, lama-lama saya bisa mati karena darah tinggi saya naik.” Ibunya kemudian pergi tanpa memandang betapa sedihnya wajah sang anak. Putra masuk ke kamar dan segera mengambil pakaian seperlunya untuk perjalanan jauh yang mungkin akan dia lakukan.

***

“Assalamu’alaikum.” Sapa seorang ibu. Dia tampak membawa belanjaan banyak. “Walaikum salam.” Jawab Putra dengan sangat lirih. “Sedang apa kamu di sini? Ibu perhatikan sepertinya semalaman kamu tidur di sini ya?” tanya sang ibu sembari duduk di samping Putra.
Bocah malang itu mengangguk. Sang ibu memperhatikan Putra. Dalam hatinya terbersit perasaan janggal. Tidak mungkin dia gembel, pakaiannya bagus. Apa mungkin anak sekecil ini sudah berani kabur dari rumah? pikir ibu itu.
“Nak, kamu belum menjawab pertanyaan ibu, sedang apa kamu di sini?” ulangnya lagi. Putra masih diam. “Kamu lapar ya? ini ibu ada roti.” Ibu itu mengeluarkan 2 bungkus roti dari tas belanjanya.
Putra merampas roti itu dan tanpa sungkan dia langsung melahapnya. Sang ibu memandang dengan cemas. Dia menerka, sepertinya anak ini sedang memendam amarah, itu terlihat dari sorot matanya yang tajam memandang orang lain dan bahasa tubuhnya yang tidak terkontrol.

***

       Sudah 3 hari lamanya Putra tinggal di rumah Bu Siti. Ibu baik hati itu sengaja membawa Putra ke rumahnya karena Putra selalu diam ketika ditanya kenapa dia musti tidur di emperan toko pasar. selama 3 hari itu pun Putra masih saja diam. Putra tampak sebagai sosok anak kecil yang kaku, agak kasar, dan pendiam. Putra tidak banyak bicara, walaupun dengan Bu Siti, suaminya, atau kepada anak perempuannya yang 1 tahuan lebih muda dari Putra.


         Hingga ketika itu Bu Siti berucap, “Nak, kamu ibu izinkan tinggal selamanya di rumah ini, tapi ibu mohon, kasihtau ibu di mana rumah orangtuamu, siapa namanya atau nomor telepon mereka yang mungkin dapat ibu hubungi. Ibu tidak akan memaksamu pulang dengan mereka jika kamu tidak mau. Ibu hanya akan memberitahu bahwa anaknya sedang bersama ibu. Tapi jika kamu tidak memberitahu nomor telepon orangtuamu kepada ibu, ibu yang akan pergi dari sini, ibu akan dibawa ke kantor polisi karena dianggap telah menculikmu. Apa kamu mau ibu tinggal di kantor polisi? Tidak kan Nak?” ucap Bu Siti dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang.


         Putra diam dan tampak melamun tetapi kemudian dia menangis serta memeluk Ibu Siti erat-erat. Ketika ingin didekap oleh Bu Siti, Putra malah berlari. Dia mengambil tasnya di kamar. Dia menyerahkan secarik kertas pada Bu Siti. Kertas tersebut berisi alamat, nama, dan nomor telepon ibunya. Kertas itu adalah kertas yang diberikaan ayahnya ketika Putra untuk pertama kali ke Bandung dengan diantar oleh salah seorang tetangga.
“Nak, Ibu yakin kamu anak yang baik. Kamu tidak akan tega membantah perintah orangtuamu. Ibu tidak akan memaksamu pergi dari sini karena mulai saat ini, kamu juga anak ibu dan bapak, kamu kakaknya Aulia. Ibu dan bapak tidak akan senang melihatmu sedih dan Aulian pasti akan menangis jika kamu pergi dari sini dan tak pernah kembali. Kamu paham kan, Nak?”
        Kemudian Bu Siti mengecup kening bocah malang itu sebelum akhirnya Bu Siti ke kamar dan mengambil handphone-nya.

***

       Esok harinya, ayah tiri dan ibunya datang ke rumah Bu Siti. Setelah Bu Siti bercerita panjang, Ibunya Putra menangis. “Putra, ayo kita pulang!” itu ungkapan dari ibu kandungnya. Putra masih saja ketakutan walaupun sang ibu telah menangis.
“Wah...suhanallah, namamu Putra ya? ibu sampai belum tahu. Nama yang bagus. Putra itu artinya anak laki-laki dan yang namanya anak laki-laki itu harus kuat dan tak cengeng.” Bu Siti berucap kepada Putra. Bocah itu langsung tersenyum dan dia pun ikut pamit pulang.
Sepanjang jalan, Putra teruss saja diam. Tak dianggapnya keberadaan ibu dan ayahnya saat itu. Lamunan Putra tersadar ketika ibunya berucap, “Putra, ibu akan memberikanmu hadiah yang sangat kamu inginkan. “ ucap ibunya dengan sesekali memandang ke jok belakang tempat Putra duduk memeluk tas ranselnya.
“Ibu akan mengantarkanmu pulang ke Jogja.”

***

        Tiba di depan pintu pagar rumah ayahnya, Putra hanya terpaku. Dia melihat orang ramai berkunjung ke rumah ayahnya. Putra pun jadi tidak sabar untuk masuk. Langkahnya terhenti ketika suara sang ibu memanggil dari dalam mobil. “Putra, ibu dan ayah Burhan langsung ke Jakarta. Kami harus berangkat ke Singapura. Salam untuk ayahmu, kalau kamu mau ke Bandung, telepon ibu saja, nanti ibu akan menjemput.”
Putra mengikuti kepergian orangtuanya hingga mobil yang ditumpangi hilang dimakan jarak. Langkah Putra semakin mantap. Wah... Jangan-jangan sedang ada acara sambutan kepulangannya dari Bandung, pikir Putra bersemangat. 


        Putra pun menangkap pandangan senang dan haru dari para tamu yang hadir. “Lek....” teriak Putra ketika mendapati sosok lelaki yang dikenalnya. “Lek, Lek Parmin, ayah mana?” Putra mendekati pria itu. “Putra!” Lek Parmin berteriak ketika melihat Putra dan memeluknya haru. “Lek kangen denganmu, kok tidak pernah pulang tho Le?” tanya Lek Parmin. “Aku sekolah Lek.” Ucap Putra. “Sekarang lagi libur?”
Putra menggeleng. “Aku sudah tidak sekolah lagi Lek.”
“Ya sudah cepat masuk sana.” Ucap Lek Parmin sembari meneteskan air mata tak henti.
         Ketika kaki Putra melangkah menuju ruang keluarga, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, tubuh ayahnya yang dulu gagah perkasa sekarang terbaring kaku dengan berselimutkan kain putih. Orang-orang sibuk membaca yasin untuk mengiringi langkah ayanya kembali ke Pemiliknya. Bocah malang itu mematung, sesaat dia rasakan rohnya melayang entah ke mana. Orang-orang memandang bocah malang itu penuh iba. Setelah lamunan Putra tersadar, dia langsung menghambur memeluk tubuh kaku ayahnya. Air mata menjadi saksi betapa pilu kini benar-benar membuncah di hatinya.


        Kemudian bocah malang itu baru mengetahui bahwa ini bukanlah acara yang diadakan untuk menyambut kepulangannya melainkan untuk mengantarkan kepulangan ayahnya. Lagi-lagi bocah malang itu tak dapat bersuara. Dia menelan segala kepahitan hidup secara utuh dan memaksa diri memahami makna kehidupan sesungguhnya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Situs Judi Slot Online Deposit Pulsa 5000 Terpercaya | VIVA88
Selain itu memberikan kenya deposit pulsa yang ingin banyak online converter of youtube to mp3 jenis permainan judi slot online terpercaya. Menangkan jackpot besar togel,