EMOSI
SEKAR DALAM NOVEL SUNSET
BERSAMA ROSIE KARYA TERE LIYE
KAJIAN
PSIKOLOGI SASTRA
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan media bahasa dalam
penyampaiannya. Karya sastra tersebut harus dipahami dan dinikmati berdasarkan
konvensi sastra, sebab karya sastra merupakan dunia rekaan yang tercipta
melalui proses penghayatan, pemikiran dan penilaian. Karya sastra lahir sebagai
hasil perpaduan antara fenomena dunia nyara dan imajinasi pengarang serta
refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Pendapat tersebut
mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama)
dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.
Bentuk karya fiksi yang terkenal dewasa ini adalah
novel. Novel menyajikan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata,
mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan
tentang kehidupan manusia dengan bermacam-macam masalah dalam interaksinya
dengan lingkungan dan sesamanya. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin
mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita
yang ada dalam novel tersebut. Seperti halnya cerita yang ada dalam novel Sunset Bersama Rosie karya Tere-Liye
yang ceritanya mengalir apa adanya mencerminkan permasalahan yang kadang muncul
pada kehidupan manusia.
Novel Sunset
Bersama Rosie merupakan salah satu novel karya Tere-Liye yang menarik untuk
diteliti karena novel ini memiliki kelebihan pada cerita tentang tokoh bawahan
yaitu tokoh Sekar yang digambarkan sebagai wanita yang baik hati dan selalu
mengalah dalam hal percintaannya dengan tunangannya yaitu tokoh Tegar karena
terhalang oleh keadaan Rosie sahabat Tegar yang mengalami musibah. Sebagai
seorang sahabat dekat Rosie, Tegar memutuskan untuk membantu keluarga Rosie di
Gili Trawangan dan meninggalkan Sekar di Jakarta. Dari situlah gejolak emosi
Sekar mulai diuji. Tegar lebih mementingkan keadaan keluarga Rosie dibandingkan
perasaan Sekar, Tegar pun membatalkan rencana pernikahannya dengan Sekar dan
mengundurkannya sampai waktu belum dapat dipastikan. Selama itulah perasaan
Sekar bergejolak tidak menentu menunggu kepastian dari Tegar. Dua tahun Sekar
menunggu kedatangan Tegar namun Tegar tidak datang juga. Sampai pada akhirnya
Sekar memutuskan akan menikah dengan pria lain, namun pada saat Sekar akan
menikah dengan pria lain Tegar datang kembali meminta maaf dan ingin segera
menikahi Sekar, karena perasaan cintanya kepada Tegar begitu besar Sekar pun
menerima kedatangan Tegar dengan perasaan bahagia. Rencana pernikahan mereka
pun segera dilaksanakan, betapa bahagianya perasaan Sekar setelah sekian lama
menunggu Tegar agar menjadi suaminya kini akan terwujud. Hari pernikahan itu
pun datang, sebelum mereka mengucapkan janji perniakahan dan lima langkah lagi
menuju tengah ruangan, Lili anak bungsu
Rosie meminta Tegar untuk menjadi ayahnya. Seketika itu Sekar berlari mengejar
Rosie dan memintanya untuk menikah dengan Tegar. Sekar batal lagi menikah
dengan Tegar.
Tere-Liye adalah penulis novel yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia
sastra, karena Ia mampu menghadirkan cerita-cerita yang sangat menarik lewat
karakter, kepribadian dan emosi yang digambarkan oleh para tokoh di dalam
cerita, tentunya merupakan cerminan yang ada dalam kehidupan nyata manusia.
Tokoh Sekar yang digambarkan dalam novel Sunset
Bersama Rosie adalah sosok wanita yang sangat baik hati, memiliki cinta
yang sangat tulus kepada pasangannya dan mau merelakan kebahagiaannya untuk
kebahagiaan orang lain. Hal tersebut cukup jarang kita jumpai di zaman
sekarang, sehingga sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.
Karya sastra memiliki hubungan dengan psikologi,
yang memberikan gambaran bahwa psikologi mempelajari aktivitas-aktivitas
individu, baik aktivitas secara motorik, kognitif, maupun emosional.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan
alasan-alasan yang mendasari pentingnya dilakukan penelitian ini sebagai
berikut.
1. Novel
Sunset Bersama Rosie karya Tere-Liye
ini menampilkan tokoh Sekar yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
2. Analisis
psikologi sastra digunakan untuk mengetahui kondisi serta emosi tokoh Sekar
dalam novel Sunset Bersama Rosie karya
Tere-Liye.
3. Sepengetahuan
Penulis, novel Sunset Bersama Rosie karya
Tere-Liye tersebut belum pernah ada yang mengkaji tentang kondisi emosi tokoh
Sekar secara khusus menggunakan psikologi sastra.
Rumusan Masalah
1. Apa
sajakah jenis-jenis emosi yang dialami oleh Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie?
2. Apakah
penyebab kedominanan jenis-jenis emosi pada diri Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie?
Tujuan
1. Mengklasifikasikan
jenis-jenis emosi yang dialami oleh Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie.
2. Menjelaskan
penyebab kedominanan jenis-jenis emosi pada diri Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie.
B. KAJIAN TEORI
Psikologi Sastra
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain
dipengaruhi oleh pemahaman bahwa: pertama,
karya sastra merupakan produk kejiwaan. Imajinasi pengarang muncul akibat
interpretasi pemikiran pengarang pada situasi setengah sadar kemudian
dituangkan ke dalam bentuk sadar. Kedua,
psikologi sastra menganalisis perwatakan tokoh. Seberapa jauh pengarang
menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya sastra menjadi semakin hidup.
Penggambaran tersebut dapat terlihat melalui dialog atau diksi tokoh di dalam
karya sastra.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang
karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2011:96). Pada dasarnya,
psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan
tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua,
pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai
penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta
proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan
ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses
kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun
wakil masyarakatnya (Roekhan dalam Endraswara, 2011:97-98).
Dalam pandangan Wellek dan Warren dan Hardjana
(Endraswara, 2011:98-99), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan
penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha
menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra.
Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini
berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah
psikologi ketika mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, penelitian
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. dalam kaitan ini studi
dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam
sebuah teks sastra. asumsi dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan
teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-benar
mengangkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak
psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah
aspek-aspek pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya.
Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks
dapat mempengaruhi jiwa pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya
tersebut (Endraswara, 2011:103). Selanjutnya Endraswara menjelaskan bahwa
penelitian psikologi terbagi menjadi dua sasaran, penelitian psikologi tokoh
dan proses kreativitas pengarang. Bila meneliti psikologi tokoh,
langkah-langkahnya yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra terletak pada aspek
intrinsik dan ekstrinsik, tetapi yang ditekankan adalah unsur intrinsik. Kedua,
selain tokoh dan watak, juga diperlukan analisis tema karya. Analisis tokoh
difokuskan pada nalar perilaku tokoh. Yang diteliti tidak harus tokoh utama,
dapat pula tokoh pendamping, selama peneliti bisa menjelaskan mengapa tokoh
tersebut yang dianalisis. Ketiga, konflik perwatakan tokoh yang dikaitkan
dengan alur cerita. Misalnya saja ada tokoh yang phobi, halusinasi, gila, dan
sebagainya harus dihubungkan dengan jalan cerita secara struktural. Hal
tersebut menghindari para peneliti terjenak hanya pada penggunaan teori
psikologi. Jika penelitian hanya pada aspek teori-teori psikologi, berarti
masuk ke ranah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra.
Jika sasaran
penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat melakukan langkah-langkah:
pertama, aspek ekstrinsik, meliputi cita-cita, keinginan, obsesi, harapan, dan
tuntutan personal. Perlu adanya riwayat hidup pengarang untuk mengetahui
pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya. Kedua, latar belakang
penciptaan karya sastra perlu digali, dengan begitu, peneliti dapat mengetahui
alasan seorang pengarang menuliskan karyanya tersebut. Apakah pengarang hanya
sekedar menumpahkan perasaannya, atau kah ada tujuan lain. Ketiga, peneliti
perlu mengaitkan dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. Apakah
pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh atau tidak.
Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah
demikian, tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian
tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai membahas isi dan makna perwatakan
dalam kaitannya dengan struktus alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran
penelitian kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi dokumen, misalnya
biografi pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika masih hidup)
(Endraswara, 2011:105).
Dalam kajian psikologi sastra tak terlepas dari
wilayah psikoanalisa. Awalnya psikoanalisa diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Tiga unsur kejiwaan yang dianalisis di dalam psikoanalisa yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga unsur itu layaknya rantai yang saling terhubung
dan saling memerlukan satu sama lainnya. Id
(das es) merupakan kepribadian dasar manusia, kepribadian dalam bawah sadar
manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tak kenal nilai. Ego merupakan kepribadian yang
mengarahkan setiap individu pada dunia luar, dunia kenyataan. Super ego merupakan sistem kepribadian
yang berisi nilai-nilai dan bersifat evaluatif (berkaitan dengan baik-buruk).
Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego
sebagai perdana menteri dan superego sebagai
pendeta tertinggi. Id berlaku seperti
penguasa absolute, harus dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan
diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang
diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung
dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan
terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan
bijak (Freud dalam Minderop, 2010:21).
Teori Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan
kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotion). Situasi yang
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang
ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech, 1974: 471).
Selain itu kebencian atau perasaan benci (hate)
berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Cirri khas yang
menandai perasaan benci ialah timbulnya
nafsu atau keinginan untuk menhancurkan onjek yang menjadi sasaran kebencian.
Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan
yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya,
perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah
merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan meraa
puas (Krech, 1974:479).
1.
Konsep
Rasa Bersalah
Rasa bersalah bias disebabkan oleh adanya konflik
antara ekspresi implus dan standar moral (impuls
exspression versus moral standars). Semua kelompok masyarakat cultural
memiliki peraturan untuk mengendalikan implus yang diawali dengan pendidikan
semenjak masa kanak-kanak hingga dewasa, termasuk pengendalian nafsu seks. Seks
dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapi
pada standar rasa bersalah. Rasa bersalah dapat pula disebabkan oleh perilaku
neurotic, yskni ketika individu tidak mampu mengatasi problem hidup seraya
menghindarinya melalui maneuver-manuver defensive yang mengakibatkan rasa
bersalah dan tidak bahagia. Ia gagal berhubungan langsung dengan suatu kondisi
tertentu, sementara orang lain dapat mengatasinya dengan mudah (Hilgard et al., 1975:434 dalam Minderop,
2010:39-40).
Perasaan bersalah kerap kali ringan dan cepat
berlalu, tetapi dapat pula bertahan lama. Derajat ang lebih rendah dari
perasaan bersalah kadang-kadang dapat dihapus karena si individu mengingkarinya
dan ia merasa benar (Minderop, 2010: 40). Terdapat perbedaan yang tajam dalam
diri seseorang dalam menangkap situasi yang menjurus pada rasa bersalah. Ada
orang yang sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia
telah melanggar suatu keharusan. Contohnya, seseorang berpendapat bahwa ia
merasa bersalah karena ia mendiamkan pelayan took mengembalikan uang berlebih.
Ada pula orang yang merasa bersalah, tetapi ia tidak tahu penyebabnya serta
mtidak tahu bagaimana menghilangkanna, seperti ceritera seorang narapidana
dalam buku The Trial karya Kafka, ia
tidak tahu kesalahan apa yang diperbuatnya (Krech, 1974:476 dalam Minderop,
2010:476).
2.
Rasa
Bersalah yang Dipendam
Dalam kasus rasa bersalah, seseorang cenderung
merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendirinya, memang ia
biasanya bersikap baik, tetapi ia seorang yang buruk (Minderop, 2010: 41).
3.
Menghukum
Diri Sendiri
Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah
sebagaimana terdapat dalam sikap menhukum diri sendiri si individu terlihat
sebagai sumber dari sikap bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi
terhadap berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian yang terkait dengan
kepribadian, penyakit mental dan psikoterapi (Minderop, 2010: 42).
4.
Rasa
Malu
Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya
rasa malu tanpa terkait dengan rasa bersalah. Seseorang mengkin merasa malu
ketika salah menggunakan garpu ketika hadir dalam pesta makan malam terhormat,
tapi ia tidak merasa bersalah. Ia merasa malu karena merasa bodoh dan kurang
bergengsi dihadapan orang lain. Orang itu tidak merasa bersalah karena ia tidak
melanggar nilai-nilai moralitas. Perasaan ini tidak terdapat pada anak kecil;
ia merasa malu dan bahkan takut tertangkap basah sedang mencuru kue (Minderop,
2010: 42).
5.
Kesedihan
Kesedihan atau dukacita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting atau
bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang
teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan yang mendalam
bias juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang mengakibatkan
kekecewaan atau penyesalan. Parkes (1965) (dalam(Minderop, 2010: 43) menemukan
bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus
pada kecemasan; akibatnya bias menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu
makan, timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari
pergaulan. Parkes juga menemukan chronic
grief, yaitu kesedihan berkepanjangan yang didikuti oleh self-blame (menyalahkan diri sendiri); inhibited grief (kesedihan yang
disembunyikan), secara sadar menyangkal seseatu yang hilang kemudian
menggantinya dengan reaksi emosional dan timbulnya perasaan jengkel. Delayed grief (kesedihan yang tertunda)
biasanya tidak menampakkan reaksi emosional secara langsung selama
berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun (Krech, et al., 1974:472-473, dalam
Minderop, 2010: 43 ).
6.
Kebencian
Kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri
hati. Cirri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya nafsu atau
keinginan untuk menhancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan
benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/ enggan yang dampaknya ingin
menghindari dan tidak bermaksud menghancurkannya. Sebaliknya perasaan benci
selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas
sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech,
et al., 1974:472-473, dalam Minderop, 2010: 44 ).
7.
Cinta
Perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk; intensitas
pengalaman pun memiliki rentang dari yang terlembut sampai kepada yang amat
mendalam; derajat tensi dari rasa sayang yang paling tenang sampai pada gelora
nafsu yang kasar dan agitatif. Jika demikian, esensi cinta adalah perasaan
tertarik kepada pihak lain dengan harapan sebaliknya. Cinta diikuti oleh
perasaan setia dan sayang. Ada yang berpendapat bahwa cinta tidak mementingkan
diri sendiri, bila tidak demikian berarti bukan cinta sejati. Terdapat pula
cinta yang disebut selfish, misalnya
cinta seorang ibu yang sangat menurut dan positif terhadap anak perempuannya.
Berdasarkan analisis terhadap kisah cinta Romeo
and Juliet, Driscoll, Davis dan Lipetz (1972) menemukan bahwa intervensi
orang tua yang sangat kental dalam percintaan anak-anak dari awal apakah
pasangan ini akan menikah atau tidak akan mempertebal rasa saling mencinta
pasangan kekasih tersebut; maksudnya hubungan cinta yang dihalang-halangi akan
mempertebal perasaan mereka yang bercinta (Krech, et al., 1974:472-473, dalam
Minderop, 2010: 44-45 ).
C.
ANALISIS
PEMBAHASAN
1. Konsep
rasa bersalah
“seharusnya aku senang dengan semua ini,
belum pernah kau menelponku sesering ini selama 6 tahun terakhir hubungan kita
(SBR: 112)”
Kata “seharusnya” dalam kutipan di atas menunjukkan
bahwa Sekar sebenarnya tidak senang (walaupun tidak diungkapkan dengan jelas)
dan dia “bersalah” karena merasa tidak senang tersebut.
“Tidak. Seharusnya
saat berharap pertama kali dulu, saat mengenal pertama kali dulu aku secepat mungkin mengenyahkan semua
perasaan itu, membuangnya jauh-jauh, aku tidak akan pernah mendapatkan cintamu.
Akulah yang keliru, aku memaksakan
diri. Bersimpati, lantas mulai menanam benih-benihnya. Merasa kalau cintaku
yang besar bisa menguburkan masa lalu itu. Aku tidak menginginkan pernikahan
itu kalau kau merasa terpaksa
melakukannya. Pergilah, Tegar, pergilah bersama anak-anak. Mereka jauh
membutuhkanmu dibandingkan aku, dibandingkan aku. Sekar tergugu (178)”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Sekar
merasa bersalah yang sangat mendalam. Dia menganggap rasa
cinta yang hadir di dalam dirinya adalah rasa yang sia-sia, karena Tegar lebih
mementingkan anak-anak Rosie dibanding
perasaan cinta Sekar.
“…Dan aku ternyata tidak
akan bisa meneguhkan diri untuk menerima sepotong kehidupanmu di sini. Ya Tuhan, dulu aku pikir aku bisa
menerimanya, ternyata tidak. Aku egois. Ingin utuh memilikimu…” (SBR:179)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Sekar merasa
bersalah dan sangat egois
2. Rasa
bersalah yang dipendam
Sekar
dan Tegar membatalkan pertunangan dan sekar merasa
bersalah kepada orang tuanya. Rasa
bersalah tersebut berusaha dipendamnya sendiri dan dia meyakinkan kepada Tegar
bahwa seolah semua akan baik-baik saja. Tampak pada kutipan
dibawah ini:
“Tidak apa-apa. Aku akan bilang papa dan
mama, acaranya dibatalkan (SBR:51)”
3. Menghukum
diri sendiri
Sekar
memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang ia sendiri tidak tahu apakah ia
mencintainya atau tidak. Tegar menanyakan kepada sekar apa ia benar-benar
mencintai calon tunangannya itu. Nampak pada kutipan:
“Apakah
kau mencintai calon tunanganmu? “(SBR:350)
Sikap
Sekar di atas
menunjukkan kalau sekar ingin bertunangan dengan laki-laki tersebut dikarenakan
Sekar ingin melupakan Tegar dengan cara akan bertunangan dengan orang lain.
Yang tampak pada kutipan:
“Bagi
kami jauh lebih baik menikah dengan
orang yang mencintai, bukan dengan orang yang dicintai.” (SBR:351)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Sekar seolah
“putus asa” telah mencintai Tegar. Tegar menjadi orang yang dicintai, dan Sekar
batal menikah dengan Tegar. Sekar kemudian mengubah prinsipnya bahwa lebih baik
menikah dengan orang yang mencintai (dirinya) walaupun dia tidak mencintai laki-laki
itu. Pemutarbalikan prinsip menunjukkan bahwa Sekar sedang “menghukum” dirinya
sendiri.
4. Kesedihan
“Ya,
dan aku sepanjang hari menjadi saksi betapa aku hanya menjadi bayang-bayang dari Rosie-mu (SBR: 177)”.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sekar sedih karena
dia hanya menjadi bayang-bayang di kehidupan Tegar dan Rosie. Orang yang hanya
dianggap sebagai bayang-bayang kehidupan orang lain pasti merasa menjadi orang
yang sangat tidak berguna dan hal tersebut jelas memunculkan perasaan sedih di
diri orang yang bersangkutan.
Sekar
mengikhlaskan Tegar, ia sadar kalau sampai kapan pun ia tidak akan bisa untuk
mendapatkan Tegar. Dan Sekar memilih untuk pergi dari Tegar. Yang tampak pada
kutipan:
“Aku
tidak ingin membuat luka itu semakin
besar, Tegar.... Aku tidak akan pernah memilikimu. Jadi kumohon, biarkan
aku melanjutkan kehidupanku. Jangan pernah lagi menghubungi. Itu hanya akan
menambah luka”
(SBR:202).
Sekar
sadar kalau selama ini ia hanya menjadi tempat bercerita bagi Tegar. Tampak
pada kutipan:
“Aku,
aku tidak akan pernah punya kesempatan
memilikimu, Tegar. Kau sudah dimiliki wanita lain. Aku tidak pernah
menyadari kalau aku hanya menjadi tempatmu bercerita” (SBR:349).
“Tetapi
kau tidak pernah ingin pulang, bukan. Kau tidak pernah ingin kembali. Karena,
karena aku tidak pernah menjadi tempat
kau pulang” (SBR:349).
Ungkapan tersebut terlontar dari Sekar akibat
kesedihan yang dirasakan Sekar sangat mendalam karena ketidakjelasan
hubungannya dengan Tegar.
5. Kebencian
Setelah
berpisah dua tahun lamanya, tiba-tiba Tegar datang ke rumah Sekar ketika Sekar
akan bertunangan dengan laki-laki lain. Sekar terkejut melihat kedatangan
Tegar, ia sangat kecewa kepada Tegar. Tampak pada kutipan:
“Kau.....
Buat apa kau datang?” (SBR: 348).
Sekar
sama sekali tidak mengharapkan kedatangan Tegar, sekar malah mengusir Tegar.
Tampak pada kitupan:
“Pergilah,
biarkan aku memilih jalan hidupku” (SBR:348).
Sekar
menyuruh pergi dengan menunjukkan keramaian yang tengah berlangsung di
rumahnya. Nampak pada kutipan:
“Pergilah,
Tegar. Kau pasti tahu apa maksud semua keramaian ini.... Kau pasti datang
karena mendengar kabar itu. Semua sudah
terlambat. Aku tahu aku tidak akan pernah punya kesempatan memilikimu. Jadi
biarkan aku melanjutkan hidup dengan pilihanku. Aku tidak tahu apakah esok semua beban
terasa lebih ringan…”(SBR:350).
6. Cinta
“Aku
mencintaimu, Tegar (SBR: 64,
80 dan 380)”
Ungkapan tulus dari Sekar untuk Tegar.
Cinta Sekar kepada Tegar adalah cinta yang tidak
mementingkan diri sendiri. Terlihat dari pengorbanan Sekar dalam beberapa
kutipan di bawah ini:
Sekar
tetap mencintai Tegar, walaupun Ia selalu mendapatkan kesedihan dari perlakuan
Tegar yang diterimanya, Seperti yang
terdapat dalam kutipan:
“Akhirnya
cintaku yang teramat besar kepadamu
bisa mengalahkan cintamu yang teramat besar kepada Rosie (SBR:52)”.
“Aku
tahu, kau tidak akan pernah bisa
mencintaiku. Tidak dengan cinta sebesar kepada Rosie (SBR:178).
Tidak ada seorang wanita pun yang rela bila kekasihnya
mencintai wanita lain jauh lebih besar daripada rasa cinta kepadanya. Tetapi
hal semustahil itu dapat diterima ikhlas oleh Sekar. Terlihat dari kutipan di
atas.
Sangat besarnya perasaan cinta Sekar untuk Tegar,
hingga dia mencoba ikhlas merelakan Tegar berbahagia dengan Rosie dan
anak-anaknya, terlihat dari kutipan:
“Masalahnya bukan waktu. Bukan waktu. Aku ikhlas, Tegar. Pergilah. Kau memiliki kehidupan di sini. Dan
aku ternyata tidak akan bisa meneguhkan diri untuk menerima sepotong
kehidupanmu di sini.” (SBR:179)
“Aku
masih punya yang lama. Aku masih menyimpannya. Padahal, padahal dulu aku ingin
sekali melemparkannya jauh-jauh.” (SBR:379)
Maksud dari kutipan di atas adalah bahwa Sekar masih
menyimpan cincin tunangannya dengan Tegar. Ungkapan “padahal, dulu aku ingin
sekali melemparkannya” menggambarkan bahwa terlalu besar cinta Sekar kepada
Tegar hingga dia tidak tega membuang benda kenangan mereka.
Sangat besarnya perasaan cinta Sekar untuk Tegar,
hingga dia mencoba ikhlas merelakan Tegas berbahagia dengan Rosie, terlihat
dari kutipan:
“Dua
puluh tahun kelak, aku pasti menyesali telah
melakukan ini, Tegar. Tetapi, dua puluh tahun kelak juga, aku pasti lebih menyesali
jika tidak melakukannya. ‘Menikahlah dengan Rosie, Tegar.
Menikahlah. Pagi ini aku paham, aku mengerti, kalian ditakdirkan bersama sejak
kecil. Aku sungguh akan belajar bahagia menerimanya, dan itu akan lebih mudah
dengan pemahaman yang baru. Aku akan baik-baik saja. Menikahlah” (SBR: 425).
Dari
analisis di atas dapat kita ketahui bahwa jenis emosi yang paling dominan dalam
diri Sekar adalah rasa cinta. Tentu saja dalam hal ini adalah cinta kepada
Tegar dan cinta tersebut dapat dikatakan sebagai cinta sejati, sebab sesuai
pernyataan berikut, “Ada yang berpendapat bahwa cinta tidak mementingkan diri
sendiri, bila tidak demikian berarti bukan cinta sejati.” (Krech, et al.,
1974:472-473, dalam Minderop, 2010: 44-45). Cinta yang dimiliki Sekar adalah
cinta yang tidak mementingkan diri sendiri.
Jenis
emosi selanjutnya yang dominan adalah kesedihan. Sekar mengalami kesedihan yang
teramat sangat disebabkan oleh batalnya pertunangan dengan Tegar hingga dua
kali, yang pada akhirnya Sekar benar-benar batal menikah dengan Tegar. Harapan
yang telah Sekar bangun untuk Tegar harus hancur ketika pembatalan pertunangan
yang pertama. Ketika Sekar mulai membuka hati untuk orang lain, justru Tegar
hadir dan memberi harapan baru. Sekar mencoba menerima kehadiran Tegar, tetapi
pada akhirnya harapan besar itu pun pupus sudah.
Jenis
emosi selanjutnya yang dominan adalah kebencian dan rasa bersalah. Hal ini
sangat menarik, sebab kebencian dan rasa bersalah yang dialami Sekar diwakili
oleh kutipan yang berjumlah seimbang yaitu 3 kutipan. Hal tersebut
menggambarkan bahwa di dalam diri Sekar terjadi pertarungan antara kebencian
dan rasa bersalah yang saling tarik-menarik. Sekar seolah ingin membenci
perilaku Tegar kepadanya, tetapi rasa cinta yang besar membuat Sekar merasa
bersalah jika membenci Tegar. Bahkan ketika Sekar ingin mengusir Tegar dari
kehidupan barunya yaitu bertunangan dengan pria lain, Sekar masih merasa pesimis
bahwa kehidupannya akan menjadi lebih baik bila tidak di sisi Tegar. Terlihat
dari kutipan, “Aku tidak tahu apakah esok semua beban terasa lebih ringan.”(SBR:350).
D.
KESIMPULAN
JENIS-JENIS
EMOSI
|
JUMLAH
KUTIPAN
|
Konsep Rasa Bersalah
|
3
|
Rasa Bersalah yang Dipendam
|
1
|
Menghukum Diri Sendiri
|
2
|
Kesedihan
|
4
|
Kebencian
|
3
|
Cinta
|
8
|
Terlihat
dari tabel di atas bahwa emosi yang paling besar dialami oleh Sekar adalah
cinta yaitu cinta sejati kepada Tegar. Selanjutnya adalah kesedihan yaitu
akibat pembatalan pertungan dengan Tegar hingga dua kali yang pada akhirnya
Sekar tetap batal menikah dengan Tegar. Selanjutnya adalah kebencian dan konsep
rasa bersalah yang saling tarik-menarik di dalam diri Sekar.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: CAPS
Liye, Tere. 2011. Sunset Bersama Rosie. Jakarta: Mahaka Publishing
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus.
Jakarta: Buku Obor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar