Kamis, 14 Juni 2012

Kritik Psikologi Sastra: Emosi Tokoh


EMOSI SEKAR DALAM  NOVEL SUNSET BERSAMA ROSIE KARYA TERE LIYE
KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA


A.    PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan media bahasa dalam penyampaiannya. Karya sastra tersebut harus dipahami dan dinikmati berdasarkan konvensi sastra, sebab karya sastra merupakan dunia rekaan yang tercipta melalui proses penghayatan, pemikiran dan penilaian. Karya sastra lahir sebagai hasil perpaduan antara fenomena dunia nyara dan imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Pendapat tersebut mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.
Bentuk karya fiksi yang terkenal dewasa ini adalah novel. Novel menyajikan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata, mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dengan bermacam-macam masalah dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut. Seperti halnya cerita yang ada dalam novel Sunset Bersama Rosie karya Tere-Liye yang ceritanya mengalir apa adanya mencerminkan permasalahan yang kadang muncul pada kehidupan manusia.
Novel Sunset Bersama Rosie merupakan salah satu novel karya Tere-Liye yang menarik untuk diteliti karena novel ini memiliki kelebihan pada cerita tentang tokoh bawahan yaitu tokoh Sekar yang digambarkan sebagai wanita yang baik hati dan selalu mengalah dalam hal percintaannya dengan tunangannya yaitu tokoh Tegar karena terhalang oleh keadaan Rosie sahabat Tegar yang mengalami musibah. Sebagai seorang sahabat dekat Rosie, Tegar memutuskan untuk membantu keluarga Rosie di Gili Trawangan dan meninggalkan Sekar di Jakarta. Dari situlah gejolak emosi Sekar mulai diuji. Tegar lebih mementingkan keadaan keluarga Rosie dibandingkan perasaan Sekar, Tegar pun membatalkan rencana pernikahannya dengan Sekar dan mengundurkannya sampai waktu belum dapat dipastikan. Selama itulah perasaan Sekar bergejolak tidak menentu menunggu kepastian dari Tegar. Dua tahun Sekar menunggu kedatangan Tegar namun Tegar tidak datang juga. Sampai pada akhirnya Sekar memutuskan akan menikah dengan pria lain, namun pada saat Sekar akan menikah dengan pria lain Tegar datang kembali meminta maaf dan ingin segera menikahi Sekar, karena perasaan cintanya kepada Tegar begitu besar Sekar pun menerima kedatangan Tegar dengan perasaan bahagia. Rencana pernikahan mereka pun segera dilaksanakan, betapa bahagianya perasaan Sekar setelah sekian lama menunggu Tegar agar menjadi suaminya kini akan terwujud. Hari pernikahan itu pun datang, sebelum mereka mengucapkan janji perniakahan dan lima langkah lagi menuju  tengah ruangan, Lili anak bungsu Rosie meminta Tegar untuk menjadi ayahnya. Seketika itu Sekar berlari mengejar Rosie dan memintanya untuk menikah dengan Tegar. Sekar batal lagi menikah dengan Tegar.
Tere-Liye adalah penulis novel  yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia sastra, karena Ia mampu menghadirkan cerita-cerita yang sangat menarik lewat karakter, kepribadian dan emosi yang digambarkan oleh para tokoh di dalam cerita, tentunya merupakan cerminan yang ada dalam kehidupan nyata manusia. Tokoh Sekar yang digambarkan dalam novel Sunset Bersama Rosie adalah sosok wanita yang sangat baik hati, memiliki cinta yang sangat tulus kepada pasangannya dan mau merelakan kebahagiaannya untuk kebahagiaan orang lain. Hal tersebut cukup jarang kita jumpai di zaman sekarang, sehingga sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.
Karya sastra memiliki hubungan dengan psikologi, yang memberikan gambaran bahwa psikologi mempelajari aktivitas-aktivitas individu, baik aktivitas secara motorik, kognitif, maupun emosional.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan alasan-alasan yang mendasari pentingnya dilakukan penelitian ini sebagai berikut.
1.      Novel Sunset Bersama Rosie karya Tere-Liye ini menampilkan tokoh Sekar yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
2.      Analisis psikologi sastra digunakan untuk mengetahui kondisi serta emosi tokoh Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie karya Tere-Liye.
3.      Sepengetahuan Penulis, novel Sunset Bersama Rosie karya Tere-Liye tersebut belum pernah ada yang mengkaji tentang kondisi emosi tokoh Sekar secara khusus menggunakan psikologi sastra.

Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah jenis-jenis emosi yang dialami oleh Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie?
2.      Apakah penyebab kedominanan jenis-jenis emosi pada diri Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie?

Tujuan
1.      Mengklasifikasikan jenis-jenis emosi yang dialami oleh Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie.
2.      Menjelaskan penyebab kedominanan jenis-jenis emosi pada diri Sekar dalam novel Sunset Bersama Rosie.


B.     KAJIAN TEORI
Psikologi Sastra
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh pemahaman bahwa: pertama, karya sastra merupakan produk kejiwaan. Imajinasi pengarang muncul akibat interpretasi pemikiran pengarang pada situasi setengah sadar kemudian dituangkan ke dalam bentuk sadar. Kedua, psikologi sastra menganalisis perwatakan tokoh. Seberapa jauh pengarang menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya sastra menjadi semakin hidup. Penggambaran tersebut dapat terlihat melalui dialog atau diksi tokoh di dalam karya sastra.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2011:96). Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan dalam Endraswara, 2011:97-98).
Dalam pandangan Wellek dan Warren dan Hardjana (Endraswara, 2011:98-99), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologi ketika mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra. asumsi dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya.
Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya tersebut (Endraswara, 2011:103). Selanjutnya Endraswara menjelaskan bahwa penelitian psikologi terbagi menjadi dua sasaran, penelitian psikologi tokoh dan proses kreativitas pengarang. Bila meneliti psikologi tokoh, langkah-langkahnya yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra terletak pada aspek intrinsik dan ekstrinsik, tetapi yang ditekankan adalah unsur intrinsik. Kedua, selain tokoh dan watak, juga diperlukan analisis tema karya. Analisis tokoh difokuskan pada nalar perilaku tokoh. Yang diteliti tidak harus tokoh utama, dapat pula tokoh pendamping, selama peneliti bisa menjelaskan mengapa tokoh tersebut yang dianalisis. Ketiga, konflik perwatakan tokoh yang dikaitkan dengan alur cerita. Misalnya saja ada tokoh yang phobi, halusinasi, gila, dan sebagainya harus dihubungkan dengan jalan cerita secara struktural. Hal tersebut menghindari para peneliti terjenak hanya pada penggunaan teori psikologi. Jika penelitian hanya pada aspek teori-teori psikologi, berarti masuk ke ranah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra.
Jika  sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat melakukan langkah-langkah: pertama, aspek ekstrinsik, meliputi cita-cita, keinginan, obsesi, harapan, dan tuntutan personal. Perlu adanya riwayat hidup pengarang untuk mengetahui pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya. Kedua, latar belakang penciptaan karya sastra perlu digali, dengan begitu, peneliti dapat mengetahui alasan seorang pengarang menuliskan karyanya tersebut. Apakah pengarang hanya sekedar menumpahkan perasaannya, atau kah ada tujuan lain. Ketiga, peneliti perlu mengaitkan dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh atau tidak.
Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian, tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai membahas isi dan makna perwatakan dalam kaitannya dengan struktus alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi dokumen, misalnya biografi pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika masih hidup) (Endraswara, 2011:105).
Dalam kajian psikologi sastra tak terlepas dari wilayah psikoanalisa. Awalnya psikoanalisa diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Tiga unsur kejiwaan yang dianalisis di dalam psikoanalisa yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga unsur itu layaknya rantai yang saling terhubung dan saling memerlukan satu sama lainnya. Id (das es) merupakan kepribadian dasar manusia, kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tak kenal nilai. Ego merupakan kepribadian yang mengarahkan setiap individu pada dunia luar, dunia kenyataan. Super ego merupakan sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai dan bersifat evaluatif (berkaitan dengan baik-buruk).
Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolute, harus dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak (Freud dalam Minderop, 2010:21).

Teori Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotion). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech, 1974: 471). Selain itu kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Cirri khas yang menandai perasaan  benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menhancurkan onjek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan meraa puas (Krech, 1974:479).
1.      Konsep Rasa Bersalah
Rasa bersalah bias disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi implus dan standar moral (impuls exspression versus moral standars). Semua kelompok masyarakat cultural memiliki peraturan untuk mengendalikan implus yang diawali dengan pendidikan semenjak masa kanak-kanak hingga dewasa, termasuk pengendalian nafsu seks. Seks dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapi pada standar rasa bersalah. Rasa bersalah dapat pula disebabkan oleh perilaku neurotic, yskni ketika individu tidak mampu mengatasi problem hidup seraya menghindarinya melalui maneuver-manuver defensive yang mengakibatkan rasa bersalah dan tidak bahagia. Ia gagal berhubungan langsung dengan suatu kondisi tertentu, sementara orang lain dapat mengatasinya dengan mudah (Hilgard et al., 1975:434 dalam Minderop, 2010:39-40).
Perasaan bersalah kerap kali ringan dan cepat berlalu, tetapi dapat pula bertahan lama. Derajat ang lebih rendah dari perasaan bersalah kadang-kadang dapat dihapus karena si individu mengingkarinya dan ia merasa benar (Minderop, 2010: 40). Terdapat perbedaan yang tajam dalam diri seseorang dalam menangkap situasi yang menjurus pada rasa bersalah. Ada orang yang sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan. Contohnya, seseorang berpendapat bahwa ia merasa bersalah karena ia mendiamkan pelayan took mengembalikan uang berlebih. Ada pula orang yang merasa bersalah, tetapi ia tidak tahu penyebabnya serta mtidak tahu bagaimana menghilangkanna, seperti ceritera seorang narapidana dalam buku The Trial karya Kafka, ia tidak tahu kesalahan apa yang diperbuatnya (Krech, 1974:476 dalam Minderop, 2010:476).
2.      Rasa Bersalah yang Dipendam
Dalam kasus rasa bersalah, seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendirinya, memang ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seorang yang buruk (Minderop, 2010: 41).
3.      Menghukum Diri Sendiri
Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap menhukum diri sendiri si individu terlihat sebagai sumber dari sikap bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi terhadap berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian yang terkait dengan kepribadian, penyakit mental dan psikoterapi (Minderop, 2010: 42).
4.      Rasa Malu
Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu tanpa terkait dengan rasa bersalah. Seseorang mengkin merasa malu ketika salah menggunakan garpu ketika hadir dalam pesta makan malam terhormat, tapi ia tidak merasa bersalah. Ia merasa malu karena merasa bodoh dan kurang bergengsi dihadapan orang lain. Orang itu tidak merasa bersalah karena ia tidak melanggar nilai-nilai moralitas. Perasaan ini tidak terdapat pada anak kecil; ia merasa malu dan bahkan takut tertangkap basah sedang mencuru kue (Minderop, 2010: 42).
5.      Kesedihan
Kesedihan atau dukacita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting atau bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan yang mendalam bias juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan. Parkes (1965) (dalam(Minderop, 2010: 43) menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan; akibatnya bias menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan. Parkes juga menemukan chronic grief, yaitu kesedihan berkepanjangan yang didikuti oleh self-blame (menyalahkan diri sendiri); inhibited grief (kesedihan yang disembunyikan), secara sadar menyangkal seseatu yang hilang kemudian menggantinya dengan reaksi emosional dan timbulnya perasaan jengkel. Delayed grief (kesedihan yang tertunda) biasanya tidak menampakkan reaksi emosional secara langsung selama berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun (Krech, et al., 1974:472-473, dalam Minderop, 2010: 43 ).
6.      Kebencian
Kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati. Cirri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menhancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka  atau aversi/ enggan yang dampaknya ingin menghindari dan tidak bermaksud menghancurkannya. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech, et al., 1974:472-473, dalam Minderop, 2010: 44 ).
7.      Cinta
Perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk; intensitas pengalaman pun memiliki rentang dari yang terlembut sampai kepada yang amat mendalam; derajat tensi dari rasa sayang yang paling tenang sampai pada gelora nafsu yang kasar dan agitatif. Jika demikian, esensi cinta adalah perasaan tertarik kepada pihak lain dengan harapan sebaliknya. Cinta diikuti oleh perasaan setia dan sayang. Ada yang berpendapat bahwa cinta tidak mementingkan diri sendiri, bila tidak demikian berarti bukan cinta sejati. Terdapat pula cinta yang disebut selfish, misalnya cinta seorang ibu yang sangat menurut dan positif terhadap anak perempuannya. Berdasarkan analisis terhadap kisah cinta Romeo and Juliet, Driscoll, Davis dan Lipetz (1972) menemukan bahwa intervensi orang tua yang sangat kental dalam percintaan anak-anak dari awal apakah pasangan ini akan menikah atau tidak akan mempertebal rasa saling mencinta pasangan kekasih tersebut; maksudnya hubungan cinta yang dihalang-halangi akan mempertebal perasaan mereka yang bercinta (Krech, et al., 1974:472-473, dalam Minderop, 2010: 44-45 ).

C.    ANALISIS PEMBAHASAN
1.      Konsep rasa bersalah
seharusnya aku senang dengan semua ini, belum pernah kau menelponku sesering ini selama 6 tahun terakhir hubungan kita (SBR: 112)”
Kata “seharusnya” dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa Sekar sebenarnya tidak senang (walaupun tidak diungkapkan dengan jelas) dan dia “bersalah” karena merasa tidak senang tersebut.

 “Tidak. Seharusnya saat berharap pertama kali dulu, saat mengenal pertama kali dulu aku secepat mungkin mengenyahkan semua perasaan itu, membuangnya jauh-jauh, aku tidak akan pernah mendapatkan cintamu. Akulah yang keliru, aku memaksakan diri. Bersimpati, lantas mulai menanam benih-benihnya. Merasa kalau cintaku yang besar bisa menguburkan masa lalu itu. Aku tidak menginginkan pernikahan itu kalau kau merasa terpaksa melakukannya. Pergilah, Tegar, pergilah bersama anak-anak. Mereka jauh membutuhkanmu dibandingkan aku, dibandingkan aku. Sekar tergugu (178)”

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Sekar merasa bersalah yang sangat mendalam. Dia menganggap rasa cinta yang hadir di dalam dirinya adalah rasa yang sia-sia, karena Tegar lebih mementingkan  anak-anak Rosie dibanding perasaan cinta Sekar.

“…Dan aku ternyata tidak akan bisa meneguhkan diri untuk menerima sepotong kehidupanmu di sini. Ya Tuhan, dulu aku pikir aku bisa menerimanya, ternyata tidak. Aku egois. Ingin utuh memilikimu…” (SBR:179)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Sekar merasa bersalah dan sangat egois

2.      Rasa bersalah yang dipendam
Sekar dan Tegar  membatalkan pertunangan dan sekar merasa bersalah kepada orang tuanya. Rasa bersalah tersebut berusaha dipendamnya sendiri dan dia meyakinkan kepada Tegar bahwa seolah semua akan baik-baik saja. Tampak pada kutipan dibawah ini:
Tidak apa-apa. Aku akan bilang papa dan mama, acaranya dibatalkan (SBR:51)”

3.      Menghukum diri sendiri
Sekar memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang ia sendiri tidak tahu apakah ia mencintainya atau tidak. Tegar menanyakan kepada sekar apa ia benar-benar mencintai calon tunangannya itu. Nampak pada kutipan:
“Apakah kau mencintai calon tunanganmu? “(SBR:350)
Sikap Sekar di atas menunjukkan kalau sekar ingin bertunangan dengan laki-laki tersebut dikarenakan Sekar ingin melupakan Tegar dengan cara akan bertunangan dengan orang lain. Yang tampak pada kutipan:
“Bagi kami jauh lebih baik menikah dengan orang yang mencintai, bukan dengan orang yang dicintai.” (SBR:351)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Sekar seolah “putus asa” telah mencintai Tegar. Tegar menjadi orang yang dicintai, dan Sekar batal menikah dengan Tegar. Sekar kemudian mengubah prinsipnya bahwa lebih baik menikah dengan orang yang mencintai (dirinya) walaupun dia tidak mencintai laki-laki itu. Pemutarbalikan prinsip menunjukkan bahwa Sekar sedang “menghukum” dirinya sendiri.

4.      Kesedihan
“Ya, dan aku sepanjang hari menjadi saksi betapa aku hanya menjadi bayang-bayang dari Rosie-mu (SBR: 177)”.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sekar sedih karena dia hanya menjadi bayang-bayang di kehidupan Tegar dan Rosie. Orang yang hanya dianggap sebagai bayang-bayang kehidupan orang lain pasti merasa menjadi orang yang sangat tidak berguna dan hal tersebut jelas memunculkan perasaan sedih di diri orang yang bersangkutan.

Sekar mengikhlaskan Tegar, ia sadar kalau sampai kapan pun ia tidak akan bisa untuk mendapatkan Tegar. Dan Sekar memilih untuk pergi dari Tegar. Yang tampak pada kutipan:
“Aku tidak ingin membuat luka itu semakin besar, Tegar.... Aku tidak akan pernah memilikimu. Jadi kumohon, biarkan aku melanjutkan kehidupanku. Jangan pernah lagi menghubungi. Itu hanya akan menambah luka (SBR:202).

Sekar sadar kalau selama ini ia hanya menjadi tempat bercerita bagi Tegar. Tampak pada kutipan:
“Aku, aku tidak akan pernah punya kesempatan memilikimu, Tegar. Kau sudah dimiliki wanita lain. Aku tidak pernah menyadari kalau aku hanya menjadi tempatmu bercerita (SBR:349).

“Tetapi kau tidak pernah ingin pulang, bukan. Kau tidak pernah ingin kembali. Karena, karena aku tidak pernah menjadi tempat kau pulang (SBR:349).
Ungkapan tersebut terlontar dari Sekar akibat kesedihan yang dirasakan Sekar sangat mendalam karena ketidakjelasan hubungannya dengan Tegar.

5.      Kebencian
Setelah berpisah dua tahun lamanya, tiba-tiba Tegar datang ke rumah Sekar ketika Sekar akan bertunangan dengan laki-laki lain. Sekar terkejut melihat kedatangan Tegar, ia sangat kecewa kepada Tegar. Tampak pada kutipan:
“Kau..... Buat apa kau datang? (SBR: 348).

Sekar sama sekali tidak mengharapkan kedatangan Tegar, sekar malah mengusir Tegar. Tampak pada kitupan:
“Pergilah, biarkan aku memilih jalan hidupku (SBR:348).

Sekar menyuruh pergi dengan menunjukkan keramaian yang tengah berlangsung di rumahnya. Nampak pada kutipan:
“Pergilah, Tegar. Kau pasti tahu apa maksud semua keramaian ini.... Kau pasti datang karena mendengar kabar itu. Semua sudah terlambat. Aku tahu aku tidak akan pernah punya kesempatan memilikimu. Jadi biarkan aku melanjutkan hidup dengan pilihanku. Aku tidak tahu apakah esok semua beban terasa lebih ringan…”(SBR:350).

6.      Cinta
“Aku mencintaimu, Tegar (SBR: 64, 80 dan 380)”
Ungkapan tulus dari Sekar untuk Tegar.       
Cinta Sekar kepada Tegar adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri. Terlihat dari pengorbanan Sekar dalam beberapa kutipan di bawah ini:

Sekar tetap mencintai Tegar, walaupun Ia selalu mendapatkan kesedihan dari perlakuan Tegar yang diterimanya,  Seperti yang terdapat dalam kutipan:
“Akhirnya cintaku yang teramat besar kepadamu bisa mengalahkan cintamu yang teramat besar kepada Rosie (SBR:52)”.

“Aku tahu, kau tidak akan pernah bisa mencintaiku. Tidak dengan cinta sebesar kepada Rosie (SBR:178).
Tidak ada seorang wanita pun yang rela bila kekasihnya mencintai wanita lain jauh lebih besar daripada rasa cinta kepadanya. Tetapi hal semustahil itu dapat diterima ikhlas oleh Sekar. Terlihat dari kutipan di atas.

Sangat besarnya perasaan cinta Sekar untuk Tegar, hingga dia mencoba ikhlas merelakan Tegar berbahagia dengan Rosie dan anak-anaknya, terlihat dari kutipan:
 “Masalahnya bukan waktu. Bukan waktu. Aku ikhlas, Tegar. Pergilah. Kau memiliki kehidupan di sini. Dan aku ternyata tidak akan bisa meneguhkan diri untuk menerima sepotong kehidupanmu di sini.” (SBR:179)

“Aku masih punya yang lama. Aku masih menyimpannya. Padahal, padahal dulu aku ingin sekali melemparkannya jauh-jauh.” (SBR:379)
Maksud dari kutipan di atas adalah bahwa Sekar masih menyimpan cincin tunangannya dengan Tegar. Ungkapan “padahal, dulu aku ingin sekali melemparkannya” menggambarkan bahwa terlalu besar cinta Sekar kepada Tegar hingga dia tidak tega membuang benda kenangan mereka.

Sangat besarnya perasaan cinta Sekar untuk Tegar, hingga dia mencoba ikhlas merelakan Tegas berbahagia dengan Rosie, terlihat dari kutipan:
“Dua puluh tahun kelak, aku pasti menyesali telah melakukan ini, Tegar. Tetapi, dua puluh tahun kelak juga, aku pasti lebih menyesali jika tidak melakukannya. Menikahlah dengan Rosie, Tegar. Menikahlah. Pagi ini aku paham, aku mengerti, kalian ditakdirkan bersama sejak kecil. Aku sungguh akan belajar bahagia menerimanya, dan itu akan lebih mudah dengan pemahaman yang baru. Aku akan baik-baik saja. Menikahlah (SBR: 425).


Dari analisis di atas dapat kita ketahui bahwa jenis emosi yang paling dominan dalam diri Sekar adalah rasa cinta. Tentu saja dalam hal ini adalah cinta kepada Tegar dan cinta tersebut dapat dikatakan sebagai cinta sejati, sebab sesuai pernyataan berikut, “Ada yang berpendapat bahwa cinta tidak mementingkan diri sendiri, bila tidak demikian berarti bukan cinta sejati.” (Krech, et al., 1974:472-473, dalam Minderop, 2010: 44-45). Cinta yang dimiliki Sekar adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri.
Jenis emosi selanjutnya yang dominan adalah kesedihan. Sekar mengalami kesedihan yang teramat sangat disebabkan oleh batalnya pertunangan dengan Tegar hingga dua kali, yang pada akhirnya Sekar benar-benar batal menikah dengan Tegar. Harapan yang telah Sekar bangun untuk Tegar harus hancur ketika pembatalan pertunangan yang pertama. Ketika Sekar mulai membuka hati untuk orang lain, justru Tegar hadir dan memberi harapan baru. Sekar mencoba menerima kehadiran Tegar, tetapi pada akhirnya harapan besar itu pun pupus sudah.
Jenis emosi selanjutnya yang dominan adalah kebencian dan rasa bersalah. Hal ini sangat menarik, sebab kebencian dan rasa bersalah yang dialami Sekar diwakili oleh kutipan yang berjumlah seimbang yaitu 3 kutipan. Hal tersebut menggambarkan bahwa di dalam diri Sekar terjadi pertarungan antara kebencian dan rasa bersalah yang saling tarik-menarik. Sekar seolah ingin membenci perilaku Tegar kepadanya, tetapi rasa cinta yang besar membuat Sekar merasa bersalah jika membenci Tegar. Bahkan ketika Sekar ingin mengusir Tegar dari kehidupan barunya yaitu bertunangan dengan pria lain, Sekar masih merasa pesimis bahwa kehidupannya akan menjadi lebih baik bila tidak di sisi Tegar. Terlihat dari kutipan, “Aku tidak tahu apakah esok semua beban terasa lebih ringan.”(SBR:350).


D.    KESIMPULAN
JENIS-JENIS EMOSI
JUMLAH KUTIPAN
Konsep Rasa Bersalah
3
Rasa Bersalah yang Dipendam
1
Menghukum Diri Sendiri
2
Kesedihan
4
Kebencian
3
Cinta
8

Terlihat dari tabel di atas bahwa emosi yang paling besar dialami oleh Sekar adalah cinta yaitu cinta sejati kepada Tegar. Selanjutnya adalah kesedihan yaitu akibat pembatalan pertungan dengan Tegar hingga dua kali yang pada akhirnya Sekar tetap batal menikah dengan Tegar. Selanjutnya adalah kebencian dan konsep rasa bersalah yang saling tarik-menarik di dalam diri Sekar.


DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS
Liye, Tere. 2011. Sunset Bersama Rosie. Jakarta: Mahaka Publishing
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Buku Obor

Tidak ada komentar: