Kamis, 14 Juni 2012

Kritik Feminis Liberal

PERJUANGAN TOKOH ISABELLA DALAM NOVEL ISABELLA KARYA MAULANA MUHAMMAD SAEED DEHLVI
Kajian Feminis Liberal

A.    PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan media bahasa dalam penyampaiannya. Karya sastra tersebut harus dipahami dan dinikmati berdasarkan konvensi sastra, sebab karya sastra merupakan dunia rekaan yang tercipta melalui proses penghayatan, pemikiran dan penilaian. Karya sastra lahir sebagai hasil perpaduan antara fenomena dunia nyara dan imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Pendapat tersebut mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.
Bentuk karya fiksi yang terkenal dewasa ini adalah novel. Novel menyajikan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata, mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dengan bermacam-macam masalah dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut.
Penelitian ini akan menganalisis perjuangan tokoh wanita bernama Isabella dalam novel Isabella. Perjuangan tokoh wanita dapat dianalisis dengan teori feminis. Jika mengangkat tema feminis, akan muncul dua golongan, yaitu golongan pro dan kontra dengan konsep feminis. Tetapi feminis menurut pandangan Islam berada pada posisinya yang proporsional. Artinya feminis dapat diterima kehadirannya dengan syarat tidak melanggar aturan agama Islam.
Novel Isabella mengisahkan perjuangan seorang gadis dalam pandangan dua agama besar yaitu Islam dan Kristen. Isabella dilahirkan dengan agama Kristen tetapi ketika dewasa, dia tertarik mempelajari agama Islam. Isabella yang merupakan seorang biarawati mendapat perlakuan kasar dari para rahib yang notabene adalah pria hanya karena niatnya untuk mempelajari agama lain yakni Islam.
Novel Isabella menarik dianalisis dengan teori feminis karena novel tersebut sangat kental menyajikan perjuangan seorang wanita. Selain itu, diharapkan kita akan mengetahui bahwa feminis tetap mendapat pembatasan oleh kaum nonmuslim sekalipun, yang padahal selama ini mengatakan bahwa mereka sangat setuju dengan kesetaraan hak berfikir, berkeyakinan, dan bertindak antara pria dengan wanita.        

Rumusan Masalah
1.      Apakah jenis-jenis penindasan yang dialami tokoh Isabella?
2.      Bagaimanakah perjuangan yang dilakukan tokoh Isabella?

Tujuan
1.      Mengklasifikasikan jenis-jenis penindasan yang dialami tokoh Isabella.
2.      Mendeskripsikan perjuangan yang dilakukan tokoh Isabella.
 
B.     KAJIAN TEORI

Gender
Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Dilihat dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian  kata sex dan gender. Sementara itu, belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender darn mengapa konsep tersebut penting guna memahami sistem ketidakadilan sosial. Dengan kata lain timbulnya ketidakjelasan itu disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan masalah ketidakadilan lainnya.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis  kelamin). Fakih di dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Fakih,2010:7-12) menjelaskan bahwa, pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memroduksi sperma. Sedangkan manusia jenis perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan/ memroduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki  selamanya. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan, merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan  atau kodrat.
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara iaki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkaan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan  laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.
Dalam menjernihkan  perbedaan antara seks, dan gender ini, yang menjadi masalah adalah, terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa. yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan.

Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender disebut sebagai kekerasan gender (gender-related violence). Jenis dan bentuk kekerasan gender, di antaranya (Fakih,2010:17-20):
Pertama, pemerkosaan terhadap  perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh pelbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural/ tidak ada pilihan lain.
Kedua, serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
Ketiga, penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak Negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.
Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekerasan lain  terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik/ yakni pelecehan  terhadap kaum perempuan di mana tubuh  perempuan dijadikan objek demi keuntungan  seseorang.
Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (en-forced sterilization). Keluarga Berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari kaum laki-laki juga. Namun, lantaran bias gender, perempuan dipaksa sterelisasi yang sering kali membahayakan baik fisik ataupun jiwa mereka.
Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun  di tempat umum, seperti dalam bis.
Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Ada banyak bentuk pelecehan, dan yang umum terjadi adalah unwanted attention from men. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha untuk bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan.

Feminisme
FEMINISME sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kelas proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotipe, kekerasan dan penjinakkan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik (Fakih,2010)

Aliran-aliran Feminisme
Secara sederhana, aliran feminisme dibagi menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran konflik. Penjelasan kedua aliran tersebut, sebagai berikut: (Fakih,2010:79).
a.      Aliran Fungsional
Aliran fungsionalisme adalah mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung masalah kaum perempuan. Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, dapat menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan.
Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional, bernilai tinggi dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti dihindarkan.
Pengaruh fungsionalisme ditemui dalam pemikiran Feminisme Liberal.  Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori  politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Mereka, dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan, tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada 'kesempatan yang sama dan hak yang sama' bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Asumsinya, karena perempuan adalah makhluk rasional juga. Oleh karena itu ketika menyoal mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan "mereka sendiri". Dengan kata lain, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka, jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri.
Itulah sebabnya usulan mereka untuk memecahkan masalah kaum perempuan adalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Sebagian dari usaha ini dapat dilihat, misalnya, dalam program-program Perempuan dalam Pembangunan (Women in Developmen) yakni dengan menyediakan "program intervensi guna meningkatkan taraf hidup keluarga seperti pendidikan, ketrampilan"serta" kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan". Pendekatan yang berasumsi bahwa masalah keterbelakangan kaum perempuan itu terletak pada diri kaum perempuan sendiri, dan oleh karenanya diperlukan usaha menggarap kaum perempuan itu, kini menjadi paradigma arus utama dalam memecahkan masalah perempuan.
Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki, sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur 'kelas', politik, ekonomi serta gender sebagaimana dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis. Meskipun gagasan feminisme liberal ini telah muncul sejak akhir abad-19 dan awal abad-20, namun baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol, dan akhirnya mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya Dunia Ketiga saat ini. Salah satu pengaruh feminisme liberal ini terekspresi dalam teori modernisasi dan program global yang dikenal sebagai Women in Development. Sejak awal, bagi mereka, persoalan perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi perekonomian modern atau partisipasi politik maupun pembangunan. Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan, selain akibat dari sikap irrasional yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu melibatkan kaum perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status perempuan. Karena keduanya dianggap akan berakibat positif bagi perempuan yakni akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara pria dan perempuan.
Pada intinya, feminisme liberal mendasarkan diri pada pemikiran bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan itu diciptakan seimbang dan serasi sehingga semestinya tidak terjadi lagi penindasan antara satu dengan yang lain. Kendati demikian, kelompok ini tetap menolak persamaan secara keseluruhan antara laki-laki dan perempuan tersebut, terutama yang berhubungan dengan gungsi reproduksi. Feminisme liberal ini banyak dianut oleh kalangan feminisme di Indonesia, baik yang dari tradisi Islam dan tradisi Kristen ataupun tradisi lainnya (Hidayatullah,2010).

b.      Aliran Konfllik
Sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran sosiologi fungsionalisme. Mereka percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Bagi mereka, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan asumsi seperti ini. Maka perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan merubah posisi dan hubungan. Demikian juga, perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya akan dilihat dari konflik antar dua kepentingan. Yang dapat dikategorikan dalam teori konflik ini di antaranya adalah:
Kelompok pertama penganut teori konflik adalah Feminisme Radikal yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller dalam Fakih,2010).
Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian 'kaum laki-laki' secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Dari situ aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan (Jaggar dalam Fakih,2010). Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual di mana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein dalam Fakih,2010).
Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. (Stanley and Wise dalam Fakih,2010) Dengan kata lain, bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal: urusan subjektif individu perempuan. Anggapan ini justru sangat bertentangan dengan kerangka feminisme Marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif. Sungguh pun demikian, sumbangan feminisme radikal ini sangatlah besar pada gerakan perempuan secara umum terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is political memberi peluang politik bagi kaum perempuan. Namun, lagi-lagi golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan ideologi Maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan karena menguntungkan. Pertama melalui apa yang disebut eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang bekerja di pabrik dan dieksploitasi oleh kapitalis, selanjutnya pulang ke rumah dan terlibat dalam suatu hubungan kerja dengan istrinya masing-masing. Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis, buruh dan istrinya adalah sistem yang akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah. Di negara kapitalis maju, dalam struktur dan sistem masyarakat yang kapitalistik itu, pihak kapitalis menggantungkan segi terjaminnya persediaan buruh pada keluarga buruh itu sendiri. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka sebagai menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan. Pertama, upah buruh perempuan seringkali lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki. Upah buruh yang lebih rendah ini membantu pihak kapitalis melakukan akumulasi kapital secara lebih cepat. Kedua dengan masuknya perempuan dalam sektor perburuhan juga dianggap menguntungkan sistem kapitalisme karena proses itu dianggap sebagai proses penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas. Dalam analisis mereka, besamya cadangan buruh ini akan lebih memperkuat posisi tawar menawar kaum kapitalis di hadapan buruh dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhimya mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis.
Bagi penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Oleh karena itu, mereka tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Dengan bagitu penyelesaiannya pun harus bersifat struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme intemasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut sebagai proses revolusi. Setelah revolusi, jaminan persamaan bagi laki-laki dan perempuan belumlah cukup, karena perempuan masih dirugikan oleh tanggungjawab domestik mereka. Dari perspektif ini, diyakini bahwa emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Sebagai demikian, proses itu hanya terjadi melalui industrialisasi. Bagi teori Marxis klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan  menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga).
Penganut aliran konflik yang ketiga adalah Feminisme Sosialis. Aliran ini, menurut Jaggar (dalam Fakih,2010), melakukan sintesis antara metode historis materialis Marx dan Engels dengan gagasan personal is political dari kaum feminis radikal. Bagi banyak kalangan aliran ini di anggap lebih memiliki harapan di masa depan karena analisis yang mereka tawarkan lebih dapat di terapkan oleh umumnya gerakan perempuan. Bagi feminisme sosialis penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Atas dasar itu mereka menolak visi Marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, sub-ordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan.
Namun banyak orang menganggap bahwa feminisme sosialis ini merupakan pengembangan dari Marxisme. Feminis sosialis mulai  dikenal tahun 1970-an. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di  satu pihak dan kebutuhan menjaga integritas  materialisme Marxisme di pihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production. Mereka mengritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak selalu akan menaikkan status perempuan. Rendahnya tingkat partisipasi berkorelasi dengan rendahnya status perempuan. Tetapi keterlibatan perempuan justru dianggap menjerumuskan perempuan, karena mereka akan dijadikan budak (virtual slaves).

C.    ANALISIS PEMBAHASAN
Jenis-Jenis Penindasan yang Dialami Tokoh Isabella
1.      Penindasan Batin
Isabella mendapat penghinaan dari para rahib, terlihat dari beberapa kutipan di bawah ini:
Anak durhaka! Berani sekali engkau mencoba mengajariku, hah?!” (hlm.158)
“Asal engkau tahu, Isabella, engkau itu hanyalah seorang anak kemarin sore. Setelah berguru padaku selama bertahun-tahun, jangan harap dirimu bisa menjadi lebih pintar dariku…” (hlm.158)
“…Engkau benar-benar seorang anak sok pintar yang menganggap sepi kami. Menganggap kami begitu buta pada sebuah kenyataan, padahal sebaliknya engkaulah yang menutup matamu. Hei, anak durhaka…” (hlm 159)
“Dengan kedangkalan pengalaman dan pemikiranmu, tentu saja engkau tidak mampu memahami misteri dan makna tersirat dari Injil. Dasar gadis bodoh!” (hlm.181)

Terlihat dari kutipan di atas bahwa Isabella dikatakan bodoh dan durhaka, padahal sesungguhnya dia hanya berusaha menanyakan kepada gurunya hal yang belum dipahami, terlihat dari kutipan:
“Sebelumnya maafkan aku, Bapa Michael. Aku hanya tak mengerti bagaimana mungkin engkau dapat menyatakan bahwa hanya Yesus yang tidak bersalah.” (hlm.160)

Selain dikatakan bodoh dan durhaka, Isabella juga dikatakan dungu dan pongah, terlihat dari kutipan di bawah ini,
“Oh, lihat bagaimana gadis ini sangat mahir mengarang cerita! Sungguh gadis yang dungu.” (hlm.164)
“Kurasa, engkau adalah satu-satunya orang yang paling pongah di atas bumi saat ini, Isabella.” (hlm.175)

Isabella dikatakan pongah dan dungu hanya karena dia menunjukkan bukti keganjilan yang ditemuinya dalam ajaran Kristen kepada sang guru. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
“Dari kedua kisah tersebut sangat jelas terlihat bahwa Malik Sidiq Salem, Zakaria, dan istrinya pastilah orang-orang yang sangat beriman dan tak pernah berbuat salah. Karenanya, bukankah dapat pula dikatakan bahwa ketidakbersalahan Kristus bukan sesuatu yang unik?...” (hlm.160)
“…tentang penebusan dosa, kurasa hal tersebut juga tidak bisa dibuktikan dalam Injil. Mengapa? Sebab tak ada seorang pun yang bisa menanggung beban dosa orang lain…” (hlm.161) 

 Isabella mendapat umpatan hanya karena dia berbeda pemikiran dengan para rahib, terlihat dari kutipan:
“Hei, manusia terkutuk! Mengapa engkau berjalan begitu lamban? Apakah engkau takut pada api amarah Kristus yang siap membakarmu?...” (hlm.207)
Gadis penghuni neraka! Sungguh engkau adalah manusia terkutuk. Engkau tak mungkin lagi diperbaiki.” (hlm.211)

2.      Penindasan Fisik
Akibat perbedaan pemikirannya, Isabella dipenjara, terlihat dari kutipan di bawah ini:
“Isabella yang malang. Ia menerima hinaan dan pukulan sang rahib dengan menahan gigil pada punggungnya.” (hlm.207)
“Barulah beberapa waktu kemudian Isabella menyadari bahwa dirinya tengah menjalani hukuman, dengan dikunci diruang bawah tanah bersama tulang-tulang orang mati, hanya karena ia memeluk agama Islam.” (hlm 208)
“Sambil bersungut-sungut marah, si rahib kemudian mengantar kembali Isabella ke penjaranya di ruang bawah tanah.” (hlm.211)
“Kunci gadis ini di ruang bawah tanah. Jangan beri makan dan minum sampai ada perintah dari ayahnya sendiri, Yang Mulia Bapa Kepala Rahib.” (hlm.216)
“Kami akan berbicara dengan Isabella di penjara bawah tanah, sebentar saja.” (hlm.232)

Perjuangan yang Dilakukan Tokoh Isabella
1.      Isabella belajar mencari kebenaran dari Al-Quran dan Injil
Isabella belajar di komunitas muslim, terlihat dari kutipan di bawah ini,
“…ia melemparkan tubuhnya di kursi malas dan mulai membaca Injil.” (hlm.12)
“…Ia tengah membaca Injil dan secara khusus mempelajari surat Santo Paulus dengan sangat teliti.” (hlm.12)
“Wahai saudara-saudaraku, hanya karena kemurahan hati Allah, yang membimbingku ke jalan yang benar, hingga aku bisa keluar dari kegelapan doktrin Trinitas dan penyembah kayu salib. Pada mulanya Umar Lahmi-lah yang menjadi guru spiritualku, yang telah berdebat dengan para rahib Cordova di rumah mereka, dan melalui dirinya, seruan kebenaran bergema di telinga dan hatiku.” (hlm.111)

Isabella mempelajari Al-Quran dan Injil sekaligus dengan bimbingan ustadnya,
Injil itu diserahkan kepada Isabella untuk dilihatnya. Isabella menerima dan membuka halaman-halaman yang telah ditandai Umar Lahmi.” (hlm.132)
“Itulah kelebihan al Quran. Al Quran dengan tegas menyangkal semua tuduhan yang dibuat oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Al Quran menyatakan bahwa nabi-nabi tidak pernah berpikir untuk melakukan dosa apalagi untuk benar-benar melakukannya… lihat al Quran Surat Hud ayat 88…”

2.      Berusaha kabur dari penjara
Isabella dibantu ketiga temannya berusaha kabur dari penjara, terlihat dari kutipan:
“…Isabella dan ketiga temannya bersiap melakukan rencana mereka. Tanpa diduga, keempatnya serentak menyerang Kepala Rahib yang tengah bersimpuh dan menangis…” (hlm.258)
“…mengucapkan selamat atas keberhasilan Isabella melarikan diri dan memuji keberanian Mirano serta kedua temannya yang begitu berani menempuh bahaya demi menyelamatkan temannya dari sengkeraman orang Kristen.” (hlm.260)
“Tiga hari setelah pembicaraan di rumah Kepala Rahib, berita tentang lolosnya Isabella telah sampai di telinga semua rahib…” (hlm.271)

3.      Isabella mengikuti kata hatinya yaitu masuk agama Islam, terlihat dari kutipan:
“Wahai, Bapa. Ketahuilah, aku, Isabella, telah masuk Islam. Agama yang menurutku merupakan satu-satunya agama yang sempurna, tanpa cacat ataupun berlebih-lebihan, yang memberi keselamatan dan bimbingan ke jalan yang benar.” (hlm.279)
Aku meninggalkan agama Kristen atas kesadaranku sendiri, tanpa paksaan dari siapa pun. Alasannya adalah agaman itu tidak sempurna dan berlebihan, di mataku.” (hlm.279)

D.    KESIMPULAN
1.      Jenis-jenis penindasan yang dialami tokoh Isabella
a.       Penindasan batin, yaitu Isabella dikatakan sebagai gadis bodoh, anak durhaka, dungu, pongah, dan manusia terkutuk;
b.      Penindasan fisik, yaitu Isabella dipenjara dan dipukul.

2.      Perjuangan yang dilakukan Isabella
a.       Isabella belajar mencari kebenaran dari Al-Quran dan Injil.
b.      Berusaha kabur dari penjara.
c.       Isabella mengikuti kata hatinya yaitu masuk agama Islam.

























Tidak ada komentar: