Senin, 14 Mei 2012

cerpen: Dilema

             Suasana siang itu seperti biasanya, rame sesak dengan teman-teman yang akan melaksanakan shalat. Aku duduk di dekat lemari penyimpanan mukena milik masjid kampus. Kalau lagi ramai begini, shalat rasanya tidak khusyuk, karena harus giliran tempat dan mukena untuk shalat. Jadi kuputuskan untuk menunggu sejenak. Biasanya jam setengah 1, ruang khusus wanita di masjid ini pasti sudah sepi, karena rata-rata sudah kembali ke ruang kuliah. Berhubung kelasku nanti baru mulai jam 2, jadi aku tiak perlu buru-buru dikejar waktu seperti kebanyakan mereka.
            Hhhhmmmm……sambil menghilangkan kebosanan, kulanjutkan membaca novel. Oh my God, novel ini indah sekali, mengapa? Karena imajinasinya liar. Oh… yeah…. Penulisnya seolah-olah menyisipkan tokoh utama idamannya ke dalam sebuah tema novel yang sudah lebih dulu booming daripada novel yang aku genggam sekarang. Jadi aku rasa penggemar novel yang lebih dulu booming tersebut akan protes kalau novel idaman mereka dibajak. Yeah…aku lagi bicara tentang twilight yang “dibajak” oleh almost twilight. Apakah benar dibajak? Aku yakin tidak, karena almost twilight adalah bayi yang lahir dari rahim kreativitas, bukan rahim plagiat.
            Di tengah asyik berimajinasi dengan novel di tanganku ini, tiba-tiba pundakku disentuh seseorang dan otomatis aku mendongak mencari empunya tangan jail di pundakku ini.
            “Oh…Mbak Sali.”
            Aku tersenyum senang. Senyum ini mewakili pernyataanku menarik kembali ucapanku bahwa yang menyentuh pundakku adalah tangan jail. Yeah…aku merasa bersalah karena ternyata yang menyuntuhku adalah seniorku di kampus sekaligus favoritku. Bagaimana tidak? Mbak Dila yang biasa kupanggil “Mbak Sali” itu benar-benar sesuai dengan sebutannya, “Sangat Lincah”. Aku kenal beliau sebagai mahasiswi yang sangat aktif di organisasi-organisasi kampus.
            Terakhir kali aku bertanya, beliau terlibat di 8 organisasi sekaligus, baik di intern kampus maupun ekstern. Hebat bukan? Tidak hanya aktif di organisasi, aku juga tahu banget kalau IPK beliau super baik, nyaris sempurna malah. Bahkan untuk mata kuliah yang nilai akhirnya dapat B saja, beliau pasti mengulang di tahun berikutnya agar dapat nilai A. Oh yeah…. Berbeda denganku yang sudah lega bila dapat B, walaupun aku tetap punya ambisi untuk dapat nilai maksimal, nilai A.
            “Hai dek, assalamu’alaikum.”
            Aku tersenyum dan menjawab salamnya. “Sini mbak, duduk dulu.”
            “Ngapain di sini? Udah shalat?”
            Aku menggeleng. “Shalat dulu yuk dek.” Ajak Mbak Sali, aku sontak melihat keadaan sekeliling. Hhhmmmm….. udah lumayan tidak seramai tadi. “Ya ok” aku mengikuti Mbak Sali ke tempat wudhu.
            Selesai bersuci, seperti biasa, aku meminta Mbak Sali menjadi imam shalat dan setelah selesai shalat aku berniat kembali melanjutkan kegiatanku dengan novel imajinasi itu.
            “Dek…. Masih ada kuliah?” tanya Mbak Sali berbisik setelah selesai berdoa. “Nanti jam 2 Mbak” Mbak Sali langsung melirik ke jam tangan berwarna gold yang tersemat di pergelangan tangan kirinya.
            “Masih ada 1 jam lagi, temenin mbak ngobrol yuk.”
            Aku tersenyum dan mengangguk.
            Setelah mengembalikan mukena ke lemari, Mbak Sali mengajakku duduk di sudut ruang masjid berdekatan dengan jendela yang menghadap ke jalan. Aku sempat memandang ke luar, langit cerah berawan dan lalu lintas jalan lumayan ramai oleh pengguna motor.
            “Tadi kamu baca buku apaan tuh dek?”
            Aku tahu kalau Mbak Sali sedang basa-basi membuka pembicaraan dan tidak ada salahnya kalau aku menjawabnya bukan?
            “Hhmmm…hanya sebuah novel imajinasi saja Mbak.”
            Bagiku, novel imajinasi sangat luar biasa membuat aku ketagihan membaca. Kata “saja” yang barusan aku ucapkan sesungguhnya sangat menyiksa ketentraman hatiku, seolah-olah kata itu sangat meremehkan kecintaanku, tapi terpaksa kuucapkan untuk menghargai keberadaan Mbak Sali yang mungkin tidak seketagihanku membaca novel imajinasi.
            Mbak Sali mengangguk. “Wah….tahun depan Mbak udah skripsi ya? Udah ada bahan untuk skripsi besok Mbak?” tanyaku kemudian dengan semangat menggebu. Aku sudah tak sabar untuk segera menulis skripsi dan lulus S1.
            Mbak Sali mengangguk, “Udah ada bayangan objeknya dan subjeknya apa dek.”
            “Kenapa kamu baca novel itu? Aku kira kamu lebih suka baca novel-novel dengan tema keibuan atau keistrian.” Mbak Sali tertawa dan menampakkan jejeran gigi putih berkawatnya.
            “Oh ayolah, walaupun statusku sudah jadi istri, tapi aku tidak seserius itu memilih tema untuk novel-novel yang aku baca. Aku butuh penyegaran” batinku. Yang tampak lahirku hanya sebentuk senyuman untuk merespon ucapan Mbak Sali.
            “Oh ya…Mbak mau tanya, kenapa kamu berani ngambil keputusan nikah mudah dek?” tak langsung kujawab pertanyaan itu, kupandangi mata Mbak Sali, dalam. Yang dipandang malah tertawa, “Hahahaaahahaa….. pertanyaan mbak aneh ya?”
            “Ah…enggak juga Mbak, hanya bingung mau menjawab aja mbak, takut salah, maklum kan aku bicara di depan senior hebat” ucapku berusaha merendah.
            “Ah…..jangan begitu, anggap saja aku ini temanmu, aku serius mau belajar mengambil keputusan menikah yang tepat seperti kamu.”
            “Mbak sudah ingin menikah ya?” tanyaku kemudian. “Hhhhmmm….gimana ya?” Mbak Sali kebingungan. Aku menatap bola matanya sembari menggerakkan alis mataku sebagai pertanda menanti jawaban.
            “Oh ya…sebaiknya aku ceritakan semuanya biar kamu nggak bingung” Mbak Sali memberi keputusan dan aku tersennyum lega. Ekspresi wajahku seperti mewakili ucapan batinku, “Nah…begitu lebih OK”
            “Begini dek…”
            Mbak Sali tampak membenarkan posisi duduknya sebelum melanjutkan cerita.
            “Aku adalah seorang manager dari salah satu kelompok nasyeed acapella dari kota ini….” Mbak Sali bercerita dan ketika mendengar ceritanya yang satu ini, aku terkagum-kagum. Aku baru tahu, di tengah kesibukan organisasi, Mbak Sali juga seorang manager. Aku tidak bisa membayangkan betapa sibuknya beliau.
            “Nasyeed yang aku manageri itu beranggotakan laki-laki 5 orang.” Mbak Sali menarik nafas.
            “Ya....singkat cerita, aku dekat dengan salah seorang dari mereka.”
            “Maksud Mbak pacaran?” aku mencoba memastikan dugaanku.
            Mbak Sali diam dan yeah…aku berkesimpulan kalau mereka memang pacaran.
            “Ah…entahlah, aku takut membayangkan kalau aku pacaran dengan dia.”
            Mbak Sali masih bercerita dan pikiranku masih terfokus pada dugaan bahwa Mbak Sali pacaram dan kalau itu benar, Mbak Sali membuat aku kecewa.
            Aku tahu bagaimana Mbak Sali aktif di organisasi Keislaman dan selalu berpesan kepada adik-adik remaja yang dibimbingnya bahwa pacaran jelas dapat merusak hati kita. Hati yang seharusnya diberikan hanya untuk muhrim kita, malah diberikan kepada pasangan yang belum jelas. Dan parahnya pacaran membuat pelakunya rela menyerahkan tubuh kepada pasangan yang belum sah.
            “Dek…. Kenapa kamu melamun?” Mbak Sali menggoyangkan lenganku.
            “Ah…hehehehhee…enggak Mbak, nggak kenapa-kenapa. Mbak tadi bilang apa?”
            “Aku takut membayangkan kalau aku pacaran dengan dia.” mendengarnya, keningku langsung berkerut.
            “Maksudnya, Mbak benci dengan laki-laki itu?”
            Mbak Sali menggeleng seketika. “Bukan..bukan gitu. Mbak takut membayangkan bukan karena benci dengan dia, tapi lebih karena benci dengan diriku yang munafik ini.”
            Aku mengangguk. Dalam hati aku setuju dengan pernyataan Mbak Sali yang itu.
            “Aku mengatakan apa yang tidak aku lakukan, aku ngerasa berdosa banget.” Mbak Sali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
            “Eh…dek, maaf ya kalau Mbak jadi melo begini.”
            Yeah…walaupun tak kuduga Mbak Sali akan mengalami hal-hal menyedihkan seperti ini, tapi aku sadar kalau sekuat-kuatnya Mbak Sali, sehebat-hebatnya dia, Mbak Sali tetaplah manusia biasa.
            “Kenapa Mbak tidak menikah saja? Kan yang cowok sudah bekerja” saranku.
            “Oh…ya Allah dek, andaikan Mbak bisa ngambil keputusan seperti itu. Mbak ngerasa sulit banget.”
            Aku jadi ngerasa bersalah dengan ucapanku tadi. Melihat ekspresi Mbak Sali ini, sudah seperti orang putus asa dan kebingungan mau berbuat apa. Aku berharap Mbak Sali tidak benar-benar sedang putus asa.
            “Hhhmmm…kenapa mbak kelihatan bingung begitu? Apakah hanya ada 2 pilihan yang bisa diambil? Menikah atau tidak.” aku mengelus lengan Mbak Sali, menguatkan.
            “Begini dek, aku belum siap menikah.”
            “Apa mbak belum yakin dengan cowok itu?”
            “Aku sudah kenal dia lama, aku tak ada ketidakyakinan dengan dia.”
            “Terus masalah yang membuat mbak belum siap menikah apa?”
            “Aku masih ingin lulus kuliah dulu, jadi dosen, melanjutkan S2 dan baru menikah.”
            “Nah…itu mbak sudah punya pandangan ke depan. Jalani saja.”
            “Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku tidak bisa menjauhi dia.”
            Mendengar cerita Mbak Sali, aku jadi bingung. Yeah…gejolak perasaan tidak sesederhana melaksanakan sebuah pernikahan. Aku yang telah lebih dulu menikah, aku justru tidak merasakan apa-apa ketika ijab qabul. Rasanya biasa saja. Seolah semua ini memang sudah pasti terjadi dan aku tidak perlu menolak.
            Oh yeah….menolak. Masalah Mbak Sali terasa sangat mencekik karena di dalam diri Mbak Sali ada 2 hal yang bertentangan, yakni penerimaan dan penolakan.
            “Mbak sebenarnya menerima kehadiran dia, Mbak nyaman dan ngerasa bahagia. Tapi Mbak juga menolak keberadaan dia, karena belum jadi suami.”
            “Yaa dek, kamu benar banget.” Wajah Mbak Sali ceria seolah mendapat pencerahan.
            “Dan Mbak belum bisa menjadikannya suami karena Mbak masih punya obsesi yang belum tercapai.” Aku menyimpulkan obrolan kami siang ini.
            “Bukan hanya itu dek.”
            “Terus apa lagi Mbak?” ekspresi wajahku jelas seperti orang yang menanti jawaban.
            “Karena dia belum mapan. Yaa walaupun dia sekarang bekerja dengan kelompok nasyeednya itu, tapi mbak rasa itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Karena kelompok nasyeednya kan masih bertaraf local. Dan orang tua kami melarang adanya pernikahan untuk saat ini karena si cowok belum lulus S1.”
            “Orang tua Mbak dan dia tahu tentang hubungan kalian?”
            “Mbak Sali mengangguk.
            Oh ya Allah…apa ini namanya kalau bukan pacaran, ucap batinku dan kupandang wajah Mbak Sali dengan tatapan kecewa.
            “Orang tua kami setuju kalau kami berteman. Dan itu membuat aku sulit menjauhi dia, karena aku udah akrab dengan keluarganya.”
            “Sebenarnya tidak ada yang sulit kalau Mbak mau menjauhi si cowok itu. Karena kalau memang begitu, Mbak bisa menetralisir perasaan Mbak ke dia, kenapa nggak Mbak lakukan saja. Tapi masalahnya, Mbak menerima hadirnya perasaan khusus itu ke dia, makanya semua jalan jadi sulit Mbak.”
            Mbak Sali tampak berpikir.
            “Aku rasa Mbak, orang tua Mbak hanya perlu pembuktian dan Mbak perlu memilih.”
            “Maksudmu dek?”
            “Yeah…Mbak, kita memang harus punya obsesi tapi kita harus ingat kodrat kita.”
            “Ya dek, aku wanita dan aku harus jadi istri karena menjadi istri dan ibu banyak pahalanya. Tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku masih ingin bermanfaat untuk orang lain dek, dengan begitu aku juga kan bisa dapat pahala.”
            “Iya Mbak, tapi kalau Mbak masih bermain-main dengan perasaan Mbak ini, apa Mbak bisa terbebas dari dosa? Kan Mbak yang bilang sendiri, kalau memberikan hati kepada…..”
            “Iya dek, tapi….” Mbak Sali berusaha memotong ucapanku.
            “Maafkan aku mbak kalau lancang, tapi coba deh Mbak pikir, kita sebagai wanita bisa dapat pahala selayaknya suami yang berjihad ke luar rumah hanya dengan kita melaksanakan kewajiban sebagai istri di dalam rumah. Kita juga bisa masuk surge bila suami kita ridho. Indah kan kalau jadi istri. Belum lagi kalau punya anak-anak soleh dan kita didoakan oleh mereka.”
            “Kenapa Mbak takut untuk menikah sekarang? Bukannya kalau sudah menikah, Mbak juga masih bisa melakukan apa yang mbak mau, asalkan dapat ijin dari suami.”
            “Tapi kenapa ya dek, aku masih ragu untuk menikah, aku ingin sukses dulu.”
            “Sukses yang mbak maksud sukses yang bagaimana dulu mbak. Ya sudahlah, Mbak tidak perlu terburu-buru, mintalah petunjuk kepada Allah, kapan menurut Allah waktu yang tepat.”
            Mbak Sali mengangguk.
            “Untuk orang tua mbk, sepertinya mereka terlalu berada ‘di dalam zona nyaman mereka’. Yaa…mereka punya anak yang prestasi akademiknya sangat luar biasa, jadi ada keraguan di hati orang tua mbak untuk setuju ketika anaknya izin untuk menikah. Mereka takut prestasi mbak berantakan. Jadi yang mereka perlukan adalah pembuktian yang serius dari Mbak, kalau ketakutan mereka belum tentu benar terjadi.”
           

Tidak ada komentar: