Kamis, 03 Mei 2012

cerpen: Keikhlasan Istri

       Tiwi masih duduk di atas sajadahnya, memandang ke ranjang. Tampak suaminya sedang tertidur pulas. Dalam malam yang sunyi, Tiwi bermunajat pada Allah. Apa pun diceritakannya kepada Sang Kuasa, termasuk kegalauannya saat ini. Pernikahannya belum genap setahun. Selama pernikahan itu, terasa banyak warna yang dirasakan Tiwi. Dari yang sakit hingga menyakitkan. Air matanya kembali menetes ketika mengingat ucapan ibu mertuanya, “Kamu nggak secantik Santi…tapi ibu tahu, kamu gadis yang baik.” Walaupun akhirnya memuji, tetapi awalnya menekan perasaan Tiwi. Kalau mau memuji, kenapa harus membandingkan dengan gadis lain, yang notabene gadis itu adalah mantan pacar suaminya. Sakit hati Tiwi bertambah-tambah karena mengingat suaminya yang tempo hari meminta mantar pacarnya itu menginap di rumah mereka. 

 *** 



   “Hallo…Assalamu’alaikum…” Tiwi menjawab panggilan telponnya. 
   “Walaikum salam, Bunda lagi dimana?” suaminya menelpon. Tetapi tidak seperti biasa, karena suaminya menghubungi Tiwi ketika masih dalam jam kerja, mungkin ada urusan penting yang harus disampaikan. “Di rumah, kenapa Yah?” “Tolong jemput Santi di terminal ya? Dia lagi butuh bantuan, dan ayah nggak mungkin menjemputnya.” Ucap suaminya. Mendengar nama “Santi”, hati Tiwi serasa teriris. Dia adalah wanita yang pernah ada di masa lalu suaminya, dia mantan pacar suaminya ketika kuliah dulu. 


 *** 


     Tio menikahi Tiwi ketika umurnya 25 tahun dan Tiwi berumur 19 tahun. Tio menikahi Tiwi ketika dirinya telah menyelesaikan kuliah SI di salah satu universitas di kota asalnya, Semarang. Tio dan Tiwi berkenalan melalui perantara sepupu Tiwi, Siska yang merupakan adik tingkat Tio. Melalui Siska, Tiwi tahu kalau dulu Tio berpacaran lama dengan Sinta. “Mereka dulu hampir menikah loh mbk.” Ucap Siska ketika Tiwi memutuskan untuk menerima pinangan Tio. Kegagalan rencana pernikahan Tio dan Sinta karena orang tua Sinta nggak mau menikahkan anaknya dengan laki-laki yang belum memiliki perkerjaan mapan. Kemudian Tio mundur dan akhirnya berkenalan dengan Tiwi. Tio dan Tiwi kemudian memutuskan untuk tinggal di Jogja setelah mereka menikah. Sampai akhirnya Sinta muncul kembali di kehidupan rumah tangga mereka. 


 *** 


    “Mas…apa kabar?” ternyata suara cewek di seberang telpon sana adalah suara Sinta. Wanita yang pernah hadir di hati Tio. “Alhamdulillah baik, kamu sekarang lagi dimana?” “Aku lagi di Jogja Mas, lagi di terminal Jombor.” “Mampir ke rumahku Sin, dekat kok dari Jombor.” Ucap Tio mempersilahkan Sinta mampir. “Kalau boleh, saya mau minta tolong dengan mas.” Ucap Sinta kemudian. Sinta pun menceritakan bahwa udah seminggu dirinya di Jogja. Tujuannya mengunjungi pacarnya yang tinggal di sekitar kampus UNY. Rencananya hari ini dia mau pulang ke Semarang, tapi sayang, tiket bisnya habis semua. Sementara pacarnya yang tadi mengantar udah pulang, itu pun tanpa izin dengan Sinta. Wanita itu kesel banget dengan pacarnya itu, ditelpon-telpon tapi nggak diangkat, disms tapi balasnya “aku lagi sibuk, aku nggak mau tau, hari ini kamu harus pulang ke Semarang.” “Tapi aku nggak mungkin menjemputmu dan membawamu pulang ke rumahku. Aku nggak enak dengan istriku Sin, kamu kan tau aku udah menikah.” “Iya mas, tapi gimana ya, uangku udah habis.” Sinta semakin memelas. Akhirnya Tio menelpon istrinya meminta menjemput Sinta di terminal. 

*** 
    Sinta memakai gamis dan jilbabnya kemudian berangkat ke terminal dengan hati teriris. Sampai di terminal, dia mengingat-ingat wajah Sinta yang baru beberapa kali ditemuinya ketika berkunjung ke rumah mertua di Semarang. Dari kejauhan, tampak seorang wanita yang melambai-lambaikan tangannya dan meneriaki namanya. “Itu Sinta.” Batin Tiwi. “Udah lama nunggu di sini Sin?” tanya Tiwi berbasa-basi. “Maaf ya, aku merepotkan kamu dan mas Tio, tapi aku nggak tau harus ke mana minta pertolongan.” Kemudian Tiwi membawa Sinta ke rumahnya. Memasuki rumah, Tiwi melirik ke jam dinding yang tertempel di dinding bercat kuning itu. “Udah sore Sin, kamu bakal kemalaman kalau nunggu di terminal.” Ucap Tiwi sekedar basa-basi supaya Sinta merasa nyaman dengannya. Walaupun Tiwi nggak tau apa sebenarnya yang “direncanakan” suaminya dan Sinta.  
     Sekitar jam 5 sore, suaminya sampai di rumah. Sambil menunggu Tio, Tiwi mempersilahkan Sinta untuk makan masakannya terlebih dahulu. “Kamu pintar masak juga ya Ti, pantas mas Tio suka dengan kamu. Dia itu suka dengan wanita yang pintar masak, kan ibunya mas Tio juga pintar masak.” Sinta berbicara panjang. Mendengar ucapannya itu, entah mengapa ada rasa yang nggak enak di hati Tiwi. Seolah-olah, Sinta sangat mengenal Tio dan keluarganya luar dalam. “Kamu udah hamil Ti?” tanya Sinta kemudian. Tiwi menggeleng. Tak lama kemudian, Tio pulang. Setelah mengucapkan salam, Tio langsung menyapa Sinta. “Gimana ceritanya kamu sampai ditinggal Leo di terminal?” 
    “Tadi dia nganter aku ke terminal mas, rencananya aku mau pulang jam 10 tadi pagi, tapi karena Leo maunya aku pulang ketika dia pulang kerja, aku jadi nunggu dia dulu mas. Dia pulang sekitar jam 3, trus dia nganter aku ke terminal. Waktu aku beli tiket, Leo masih nunggu di motornya, tapi ketika aku tahu kalau semua tiket bis jurusan ke Semarang habis, dan aku menghampiri Leo, ternyata dia udah pergi. Aku cari diparkiran atau di toilet tapi dia nggak ada. Aku telpon nggak diangkat, aku sms tapi balasannya ketus. Aku bête banget.” Sinta mengeluhkan kesusahannya dengan Tio dan Tiwi. “Ini Yah, diminum dulu tehnya.” Tiwi menyajikan tah hangat ke suaminya. “Selama di Jogja, kamu menginap di mana?” 
    “Di kost-nya temenku mas. Dia kerja di Jogja.” “Malam ini rencananya kamu mau pulang ke kost temenmu itu?” Sinta diam. “Aku nggak tau mas, uangku habis, hanya ada untuk ongkos bis pulang ke Semarang. Aku nggak ada ongkos untuk ke kost temenku.” 
   “Besok kamu pulang mau naik apa?” tanya Tio terus-menerus. “Rencananya mau naik bis aja.” “Kamu nginep di sini aja, jadi pagi-pagi banget kamu kan bisa ke terminal, jadi nggak kehabisan tiket. Rumahku kan dekat dengan terminal.” Ucap Tio sembari melirik ke istrinya. Dalam hati Tiwi jelas menyimpan sakit. Tapi dia coba untuk tutupi itu. “Menginap di sini mas? Aku nggak enak dengan Tiwi mas.” Ucap Sinta sembari melihat ke arah Tiwi. 
   “Hheeemm..kok nggak enak dengan aku. Yaa…” “Yaa…kamu menginap di sini aja.” Tiwi mengucapkan itu demi menjaga perasaan suaminya dan Sinta. Tiwi meyakinkan dirinya sendiri kalau suaminya nggak akan “ada apa-apa” dengan Sinta. Hubungan mereka hanya kisah masa lalu. Tiwi nggak ingin menyusahkan hatinya sendiri dengan prasangka-prasangka. Akhirnya Sinta menginap di rumah Tio dan Tiwi. Malam harinya Tio mengajak istrinya dan Sinta makan di luar. Walaupun Tio tahu kalau istrinya udah memasakkan makanan untuk makan malam, tetapi Tio tetap mengajak Sinta makan di luar.     
    “Tapi kan aku udah masak mas.” Tiwi mencoba mencegah suaminya untuk mengajak makan di luar. “Sinta kan nggak tiap saat menginap di rumah kita, apa salahnya kalau memberikan yang terbaik, dia kan tamu kita.” Ucapan Tio nggak bisa dibantah oleh Tiwi.


 *** 
   Ketika embun masih terasa di pagi itu, Tiwi mengantar Sinta ke terminal. Sampai di terminal, ada sebuah bis yang akan ke Semarang, Sinta pun langsung memesan tiket dan naik ke bis itu. “Makasih banget ya Tiw, kamu udah mau mengizinkan aku menginap di rumah kalian.” “Iya, nggak apa-apa, hati-hati ya.” Tiwi kemudian langsung pulang ke rumahnya. Mas Tio berangkat kerja jam 8, Tiwi harus menyiapkan sarapan buat suaminya. 
    Sampai di rumah, Tiwi mendapati suaminya sedang menonton kartun animasi di tv. Suaminnya itu walaupun sudah segitu umurnya, tapi tetep aja suka dengan kartun. Tiwi hanya melihat selintas ke suaminya dan kemudian langsung ke dapur membuatkan nasi goreng untuk sarapan mereka. Tak lama kemudian nasi goreng pun jadi. “Yah, sarapan dulu.” Tio tersenyum. “Ayah udah dhuha?” Tio mengangguk. “Bunda kenapa?, kok ayah lihat wajahnya lain dari biasa?” Tio membaca sesuatu yang tidak enak yang sedang dirasakan istrinya. “Jangan sok tahu deh Yah, Bunda nggak kenapa-kenapa kok.” “Bunda ini, ayah udah hapal kalau bunda ada apa-apa, pasti langsung lain wajahnya, bunda nggak bisa bohong dengan ayah.” 
    “Ayah tuh, bunda sebel banget.” Tiwi langsung cemberut. Rasanya ingin sekali dia menumpahkan kekesalan dengan suaminya itu. “Kenapa sayang?” Tio melunak di hadapan istrinya. “Coba deh, kalau mantan pacar bunda nginep di rumah kita, apa ayah mau?” “Kok kamu tanya begitu?” 
    “Ayah masak nggak paham sih, bunda lagi sebel karena Sinta nginep di sini.” Tiwi sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Kamu kok gitu, nggak ikhlas kalau Sinta nginap di rumah kita? Kan kamu tau kalau Sinta itu lagi kesusahan, kalau dia tetep di terminal dan terjadi apa-apa gimana?” “Kenapa ayah suruh dia nginep di rumah, kan bisa aja dia nginep di kost temennya.” Tio menarik nafas dalam. Menekan perasaannya supaya nggak emosi. “Ayah nyuruh dia nginep di rumah hanya karena faktor efisien, kalau nginep di kost temennya, bisa aja dia kesiangan ke terminalnya. Itu aja, nggak ada niat aneh-aneh kok.” 
   “Ayah ini, nggak ngerti perasaan bunda.” Tiwi masuk ke kamar dan mengunci pintu. “Astagfirullah….ayah capek dengan bunda yang begini ini, hal sepele dibesar-besarkan. Bunda itu manja banget, hilangin dong sifat kekanak-kanakannya.” Tio tampak kesel dengan sikap istrinya. “Kalau ayah capek dengan bunda, ya udah kita pisah aja. Ngapain juga bunda hidup dengan laki-laki yang nggak ngerti perasaan bunda.” Teriak Tiwi dari dalam kamar. 
   Tok…tok…tok.. “Bunda, buka pintunya.” Pinta Tio. “Kenapa tho, bunda ngomongnya gitu terus?” tanya Tio dengan suara yang melunak. “Ya Allah, ayah, gimana sih menjelaskan dengan ayah. Ayah sih terlalu cuek, makanya jangan keseringan nonton kartun, pikirannya nggak dewasa-dewasa.” Sindir Tiwi yang merasa keberatan dengan kebiasaan suaminya itu. “Kok malah kartun yang disalahkan, itu kan bagus bunda, mengasah daya imajinasi.” “Ya udah, ayah hidup di dunia imajinasi ayah aja. Ngapain hidup dengan bunda.” Tio dan Tiwi terus bertengkar mulut. Tiwi tetap nggak mau ke luar dari kamar sementara Tio terus membujuknya. “Bunda, ayah mau kerja, buka pintu kamarnya dong.” Tio membujuk Tiwi agar mau membuka pintu kamar dengan berjuta alasan. 


*** 


     Waktu telah berjalan sebulan setelah kejadian Sinta menginap di rumah Tio dan Tiwi. Hari ini orangtua Sinta datang ke rumah mereka dan berbicara serius dengan Tio. “Saya mau kamu mempertanggungjawabkan perbuatan kamu.” Ayah Sinta terlihat emosi. Sementara Sinta terus menangis di pelukan ibunya. Tiwi yang melihat obrolan itu dari balik pintu kamar tidurnya hanya bisa menangis pilu. “Kalau saja, mas sedikit menghargai perasaanku dan tak semudah itu mempersilahkan dia menginap, kejadian nggak akan sampai begini.” Batin Tiwi terus saja menyesali keputusan suaminya yang tergesa-gesa itu. “Tapi bukan saya yang melakukannya pak. Saya udah punya istri, jadi saya nggak mungkin menghamili anak bapak.” Tio membela dirinya. “Shhiiiittt…. Kamu itu berbicara seolah-olah kamu bebas dari nafsu. Saya tau bagaimana dulu kamu sangat mencintai anak saya, beberapa kali kamu mencoba ngajak anak saya kawin lari, sekarang kalau Sinta menginap di rumahmu, apa saya percaya kalau kamu katakan kamu nggak ngapa-ngapain dengan Sinta? Hah?”
    “Bapak, jangan bicara begitu. Hargai perasaan istri saya. Ini rumah saya, bapak dan ibu nggak berhak membuat keributan di rumah ini.” “Menghargai perasaan istrimu?” pertanyaan ayahnya Sinta seolah-olah ditujukan untuk mencibir dan menghina Tio. “Kamu meminta saya menghargai istri kamu, tapi kamu sendiri nggak menghargai perasaannya, istri mana yang ikhlas membiarkan mantan pacar suaminya menginap di rumah kalian?” Tio menunduk mendengar ucapan ayahnya Sinta. “Saya harus berkata apa lagi, bukan saya yang melakukan itu. Bapak bisa tanya dengan anak bapak sendiri, saya nggak mungkin menghamilinya.” 
    “Mas…kenapa kamu tega begitu mas….” Sinta juga seolah-olah sedang merencanakan sesuatu. Dia jelas tahu bahwa bukan Tio yang menghamili dirinya. Tapi dia nggak berkata yang sejujurnya. “Aku tau, kamu melakukan itu sebagai pelampiasan kekecewaan kamu karena istrimu sampai saat ini belum hamil.” Mendengar ucapan Sinta, Tiwi yang menguping dari dalam kamar, langsung terduduk lemas. Menarik kedua lututnya menempel ke dada, dan menangis terisak. “Astagfirullah, ya Allah, teganya dia berbohong seperti itu.” Rasanya Tiwi ingin sekali mecabik-cabik mulut wanita itu, tetapi dirinya nggak mungkin kluar kamar. Tio melarang keras dia keluar kamar, orang tua Sinta bisa saja menyakiti Tiwi agar Tio mau menikahi Sinta. “Sinta, kamu itu keterlaluan, kata-katamu pernuh dusta.” 
   “Tio, berhenti menghina anak saya. Dulu kamu sangat menginginkan dia, sekarang ketika kamu mendapatkan keperawanannya, kamu malah mau membuang dia begitu saja. Saya hanya mau pertanggungjawaban kamu. Kamu mau menikahi anak saya, atau kamu mau saya penjarakan?” Tiwi tak bisa berbuat banyak. “Ya allah, apakah ini arti dari mimpi saya ya allah.” Tiwi kembali teringat mimpinya di malam-malam belakangan ini. Dia bermimpi Sinta tinggal bersama mereka dan juga tidur satu ranjang dengan mereka. “Maafkan aku mas, aku harus berkata begini. Aku tahu bukan kamu yang salah, Leo-lah laki-laki pengecut itu.” 


 SELESAI

Tidak ada komentar: