Kamis, 29 Maret 2012

KONSEP “PENCARIAN” DALAM SAJAK “JALAN MENUJU RUMAHMU” DAN KONSEP “TASAWUF” DALAM SAJAK “KASIDAH SUNYI” KARYA ACEP ZAMZAM NOOR:
INTERPRETASI HERMENEUTIKA PAUL RICOUER


A. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dan sajak “Kasidah Sunyi” merupakan sajak-sajak di dalam buku kumpulan sajak berjudul “Jalan Menuju Rumahmu”. Buku kumpulan sajak tersebut diterbitkan oleh PT. Grasindo, terdiri dari seratus buah sajak yang sebagian besarnya pernah dipublikasikan dalam bentuk buku puisi, antologi puisi, Koran, majalah, dan jurnal.
Menurut Acep Zamzam Noor, sajak-sajak di dalam kumpulan sajak “Jalan Menuju Rumahmu” secara kebahasaan tidak terlalu banyak masalah, secara tema masih ada kaitan satu sama lain (alam, lingkungan, cinta, keimanan, dan pencarian diri), dan secara suasana ada benang merahnya. Membaca latar belakang penyusunan sajak-sajak dalam kumpulan sajak “Jalan Menuju Rumahmu”, penulis tertarik untuk memahami sajak berjudul “Jalan Menuju Rumahmu” dan sajak “Kasidah Sunyi”. Penulis menganggap kedua sajak tersebut memiliki kaitan yaitu sama-sama membahas mengenai keimanan dan ketuhanan.

IDENTIFIKASI MASALAH
Acep Zamzam Noor dilahirkan di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshop seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).
Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, JurnalPuisi, serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako(Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dan sajak “Kasidah Sunyi” merupakan dua sajak di dalam kumpulan sajak berjudul “Jalan Menuju Rumahmu” yang diterbitkan Grasindo pada tahun 2004. Penulis tertarik memahami lebih dalam makna yang terkandung di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu” lebih dikarenakan penulis memiliki anggapan awal bahwa sajak tersebut berbicara mengenai “pencarian”, dan penulis menemukan konsep “tasawuf” di dalam sajak “Kasidah Sunyi” yang penulis anggap dapat menjawab “pencarian” yang dimaksud pada sajak “Jalan Menuju Rumahmu”.
Penulis akan menggunakan teori dan metode analisis hermeneutika Paul Ricoeur. Ricoeur melihat wacana sebagai sesuatu yang lahir dari tuturan individu. Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur. Terdapat empat unsur pembentuk wacana, yakni : (1) terdapatnya subjek yang menyatakan, (2) isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, (3) alamat yang dituju, (4) dan terdapatnya konteks (ruang dan waktu).
Tugas hermeneutika bukan mencari kesamaan antara maksud penyampai pesan dan penafsir, melainkan menafsirkan makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang tertulis atau terlukis, tetapi selalu berkaitan dengan konteks.


RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konsep “Pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”?
2. Bagaimanakah konsep “Tasawuf” dalam sajak “Kasidah Sunyi”?
3. Sejauh apakah konsep “Tasawuf” dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat menjawab konsep “Pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”?

TUJUAN
1. Mengetahui bagaimanakah konsep “Pencarian” yang terdapat di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”
2. Mengetahui bagaimanakah konsep “Tasawuf” yang dikandung oleh sajak “Kasidah Sunyi”
3. Mengetahui sejauh apa konsep “Tasawuf” dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat menjawab konsep “Pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”?


B. TEORI DAN METODE
TASAWUF
Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf. Ilmu Tauhid bertugas membahas i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai ketuhanan, kerasulan, hari akhirat dan sebagainya. Ilmu Fiqih membahas seputar ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, naik haji dan sebagainya. Sementara ilmu Tasawuf membahas hal-hal yang berhubungan dengan akhlak dan budi pekerti, berhubungan dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan sebagainya. Setiap orang Islam dianjurkan beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), beribadah sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang sufi. Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat mengenai asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat. Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal. Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu (kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya). Huruf ya’ adalah huruf nisbat. Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah SWT. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya: “...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21).
Firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Sad:46-47).

TEORI HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
Bagi Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas makna, disaat itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab di sini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan. Menurutnya interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan (Sumaryono,1999:105). Kata-kata adalah simbol yang menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung, tidak begitu penting serta figurative (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut” (Sumaryono,1999:105).
Kedudukan penafsir menurut Ricoeur harus mengambil jarak dengan obyek yang kita teliti supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Ricoeur sadar bahwa setiap manusia dalam benaknya pasti sudah membawa anggapan-anggapan atau gagasan-gagasan, oleh karenanya kita sama sekali tidak dapat menghindari diri dari prasangka. Dibalik itu pula Ricoeur sadar bahwa anggapan-anggapan dan gagasan-gagasan yang terdapat pada para penafsir itu turut mempengaruhi dalam mereka dalam memberi kritik (Sumaryono,1999:106-107) dan tugas dari seorang penafsir adalah menguraikan keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa atau teks (Sumaryono,1999:108)
Analisi hermeneutika Ricoeur bergerak pada wilayah teks yang otonom (otoritas teks) sehingga pemahaman terhadap teks terhindar dari hubungan intersubjektif (intense pengarang) (Via Heru Kurniawan,2009:112). Oleh karena itu, menurut Ricoeur (via Heru Kurniawan,2009:112), tugas hermeneutika tidak lagi ditafsirkan sebagai mencari kesamaan antara pemahaman penafsir dengan maksud pengarang.

TEORI SIMBOL
Kata simbol yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti menghubungkan atau menggabungkan. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya. Ricouer merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (via Heru Kurniawan, 2009:27).
Ricouer mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutika (via Heru Kurniawan, 2009:27).

TEORI METAFORA
Metafora, kata Manroe, adalah ”puisi dalam miniature”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figurative dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna ekspliesit dan makna implisit (via Heru Kurniawan, 2009: 23).
Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi (Via Heru Kurniawan, 2009: 23).
Aristoteles menjelaskan bahwa metafora adalah ”penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke spesies, dari spesies jenis, dari spesies atau secara proporsional”. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (via Heru kurniawan, 2009:23).
Makna metafora akan diperoleh melalui, sedikitnya proposisi (kalimat) sebagai unsur terkecil wacana, dan bahasa mempunyai makna bila dipergunakan dalam kalimat. Dengan demikian, metafora bukanlah penyimpangan makna harfiah dari kata-kata itu, seperti teori metafora klasik, tetapi berfungsinya operasi prediksi dalam tingkat kalimat. (via Heru Kurniawan, 2009:25).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sumber yang berdasarkan Al-Quran untuk mengarah pada penjelasan deskriptif dan interpretasi sebagai ciri khas penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa , pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (via Heru Kurniawan, 2009:31). Metode teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah teori metafora dan simbol dalam hermeneuika (Paul Ricoeur).

Tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Pembacaan terhadap objek penelitian,
2. Pemilihan sampel sebagai data penelitian, yaitu sajak yang mengandung metafora dan simbol sebagai subjek penelitian,
3. Pengumpulan data tambahan yang mendukung penelitian. oleh karena penelitian kualitatif, maka data utamanya adalah kata-kata atau bahasa (via Heru kurniawan, 2009:31), data pendukungnya yaitu buku yang mendukung penelitian ini,
4. Melakukan analisis secara cermat terhadap metafora dan simbol yang terdapatdalam sajak-sajak yang dijadikan sampel penelitian dengan menggunakan teori hermeneutika (via Heru Kurniawan, 2009:31). Langkah kerja analisisnya mencakup: Pertama, langkah objektif (penjelasan), yaitu menganalisis dan mendiskripsikan aspek semantik pada metafora dan simbol berdasarkan pada tataran linguistiknya. Kedua, langkah-langkah refleksi (pemahaman) yaitu menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (reference), yang pada aspek simbolnya bersifat non linguistik. langkah ini mendekati tingkat antologis. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan metafora dan simbol sebagai titik tolaknya. Langkah ini disebut juga dengan langkah eksistensial atau antologi, keberadaan makna itu sendiri,
5. Merumuskan kesimpulan.


C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
KONSEP “PENCARIAN” DALAM SAJAK “JALAN MENUJU RUMAHMU” KARYA ACEP ZAMZAM NOOR: INTERPRETASI HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR


Jalan Menuju Rumahmu

Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar

Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis. Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan

Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semuanya beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali

Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi

1986

Kata “Jalan” menjadi simbol yang digunakan untuk memaknai keseluruhan isi sajak “Jalan Menuju Rumahmu”. Penulis memaknai sajak “Jalan Menuju Rumahmu” sebagai suatu sajak yang berbicara mengenai konsep “pencarian”. Terlihat dari pemilihan kata “Jalan”, dimana kata jalan dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mendapatkan sesuatu. Makna jalan sebagai “cara” juga dipaparkan di dalam kamus besar bahasa Indonesia, yakni “cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu” (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Sehingga “Jalan menuju rumahmu” dapat dimaknai sebagai cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) yang digunakan untuk “menuju rumahmu”. Tetapi kemudian muncul pertanyaan di benak penulis, apakah makna di balik kata “rumahmu”?
Sajak “Kasidah Kekosongan (1)” dan sajak “Jalan Setapak” karya Acep Zamzam Noor yang juga merupakan sajak-sajak dalam kumpulan sajak “Jalan Menuju Rumahmu” kiranya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Di dalam sajak “Kasidah Kekosongan (1)”, kata “jalan” disandingkan dengan kesabaran yang dianggap sebagai jalan terbaik menuju hakikat. “Menunggu adalah tabiat batu-batu, sedang kesabaran/jalan terbaik menuju hakikat. Aku ingin tenggelam.” (sajak “Kasidah Kekosongan (1), Jalan Menuju Rumahmu, 2004: 40).
AlQuran telah berbicara mengenai hakikat kesabaran, sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:153)

Ayat di atas menceritakan bahwa meminta pertolongan kepada Allah SWT harus dilakukan dengan sabar dan shalat. Dengan adanya salah satu surat di dalam kitab suci umat Islam yang berbicara mengenai kesabaran, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa “hakikat” yang dimaksud di dalam sajak “Kasidah kekosongan (1)” adalah Allah SWT.
Di dalam sajak “Jalan Setapak” juga terdapat simbol jalan. “Jalan setapak membentang ke cakrawala” (sajak “Jalan Setapak”, Jalan Menuju Rumahmu, 2004:34). Simbol “jalan” di dalam sajak “Jalan Setapak” disandingkan dengan kata “cakrawala”.
Cakrawala merupakan sesuatu yang berkaitan dengan langit. “Lengkung langit; langit (tempat bintang-bintang);peredaran bintang di langit (kerap pula berarti sbg bintang di langit);kaki langit; tepi langit; batas pemandangan” (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php), sehingga lagi-lagi simbol “jalan” dikaitkan dengan sesuatu yang hakiki dan berada “di atas”, yakni Allah SWT. Dapat disimpulkan bahwa judul “Jalan Menuju Rumahmu” memiliki makna cara yang dapat ditempuh untuk dapat “bertemu” dengan Allah SWT.

(1) Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar

Bait pertama menggambarkan “aku-lirik” menggelepar di tengah salak anjing dan ringkik kuda. Di dalam sajak Acep yang berjudul “Kasidah Hujan” terdapat kata “salak anjing” yang dianggap sebagai penyebab “langit terbelah”. “Merenungi bumi. Langit terbelah oleh salak anjing” (sajak Kasidah Hujan, Jalan Menuju Rumahmu, 2004:28).
Pada baris selanjutnya, menerangkan “aku-lirik” bertanya “engkau-lirik” berada di mana. Pertanyaannya kemudian, siapa atau apa yang dimaksud oleh “aku-lirik” dengan ungkapan “engkau di mana?”. Penulis dapat menyimpulkan, “engkau-lirik” yang dimaksud oleh “aku-lirik”, tak lain adalah Allah SWT.
Di dalam sajak “Di Masjid Salman” karya Acep lainnya, kata “rumah” disandingkan dengan kata “Tuhan” dan “suci”, sehingga “rumah” dianggap sebagai tempat suci keberadaan “Tuhan”.
Pada baris berikutnya menerangkan “aku-lirik” merasakan kesepian. “Angin mengupas lembar-lembar/kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang/rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar”
Sajak “Di sini” karya Acep, dapat memperkuat rasa sepi yang menyelimuti hati (yang disimbolkan dengan “tulang-tulang rusuk”, dimana hati merupakan organ dalam tubuh manusia yang dilindungi oleh tulang rusuk) “aku-lirik”.

Di Sini
Sesaat, sepi yang luruh mengurapi
Rambutmu. Malam tanpa bingkai
Telanjang berbeban sunyi dan rindu
Padamu kutambatkan kereta waktu

Hanya angin yang lintas, seiring
Senyum yang bermain di ujung firmanmu
Di sini, telah kuukirkan iman
Memahamimu selembar demi selembar

1982

Sajak “Di sini” menggambarkan perasaan “aku-lirik” yang merasa kesepian, berada dalam kesunyian dan kerinduan. Kemudian “aku-lirik” menambatkan kereta waktu “padamu”. Penulis dapat mengetahui maksud “mu-lirik” melalui pemaparan bait kedua sajak di atas tersebut.
Pada baris kedua dan baris ketiga bait kedua yang berbunyi “senyum yang bermain di ujung firmanmu” dan “di sini, telah kukirimkan iman” menjelaskan makna “mu-lirik” yang dimaksud penyair melalui sajaknya “Di sini”. “Mu-lirik” merupakan Allah SWT. Simbol “firman” dan “iman” erat kaitannya dengan konsep ketuhanan. Firman diartikan sebagai perintah Tuhan (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php) sedangkan iman diartikan sebagai keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dsb (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Sehingga dapat dikatakan bahwa bait pertama sajak “Jalan Menuju Rumahmu” memaparkan mengenai perasaan sepi akibat kerinduan yang dirasakan “aku-lirik” kepada Allah SWT.

(2) Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis. Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan

Bait kedua sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dibuka dengan ungkapan yang menjelaskan bahwa “aku-lirik” menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara pada batu karang. Pertanyaannya kemudian, apa kaitan antara “aku-lirik” yang menyusuri pantai, menghitung lokan (kerang besar yg dapat dimakan, hidup di lumpur di tepi laut), dan bicara pada batu karang dengan makna “jalan menuju rumahmu”.
Alquran surat Al-Kahfi ayat 109 dapat menjelaskannya,

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu." (QS. Al-Kahfi: 109).


Ternyata pada bait kedua menjelaskan bahwa “aku-lirik” menyadari bahwa kekuasaan Allah SWT tidak akan cukup digambarkan dengan lautan sebagai tintanya, sehingga tak heran bila “aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara pada batu karang”, semuanya tersebut merupakan hal-hal yang berkaitan dengan lautan dan “aku-lirik” menganggap bila “aku-lirik” bertanya pada “pantai, lokan dan batu karang” dapat menemukan hakikat keberadaan Allah SWT, karena Alquran juga menggunakan simbol “lautan” untuk menjelaskan luasnya kekuasaan Allah SWT.
Tetapi kesadaran tersebut tetap membawa “aku-lirik” ke dalam “keputusasaan”, hal tersebut terlihat pada ungkapan berikutnya di baris kedua bait kedua “Jalan menuju rumahmu kian lengang.
Di tengah ketidakpuasan “aku-lirik” mendapatkan “keberadaan” Allah SWT, “aku-lirik” memutuskan untuk “mengalun bersama gelombang/meliuk mengikuti topan dan jumpalitan bagai ikan”, yang itu artinya “aku-lirik” memutuskan menjalani hidup apa adanya. Mengikuti arus kebersamaan (“mengalun bersama gelombang”), menghadapi tantangan dan cobaan hidup (“meliuk mengikuti topan”) dan menikmati hidup (“jumpalitan bagai ikan”), walaupun pada akhirnya “aku-lirik” merasakan “Tapi matamu kian tak tergambarkan”. Simbol “Matamu” dapat dimaknai sebagai “pengamatan Allah SWT” kepada hamba-hambaNya.
Bait kedua sajak “Jalan Menuju Rumahmu” diperkuat pula oleh bait ketiga sajak tersebut.

(3) Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semuanya beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali

“Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas” dapat melambangkan perputaran waktu. Pada ungkapan “menuliskan igauanku”, sajak tersebut menggambarkan bahwa “igauanku” tak dapat ditulis sejak menggunakan “kulit-kulit kayu, hingga menggunakan kertas-kertas”. Sejarah membuktikan bahwa dahulu menuliskan sesuatu menggunakan kulit-kulit kayu dan daun-daun lontar, seiring perkembangan zaman, fungsi kulit-kulit kayu dan daun-daun lontar sebagai media tulis digantikan oleh kertas.
Bait ketiga menjelaskan bahwa “aku-lirik” tetap dalam “ketidakpuasan” dan “keputusasaan”, hal tersebut terlihat pada ungkapan “kembali aku bergulingan/bagai cacing”. Tetapi di akhir bait ketiga, “aku-lirik” telah memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, tergambar melalui ungkapan “bersujud lama sekali”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan An-Nasai telah pula menerangkan keistimewaan sujud sebagai berikut,

Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW bersabda: “Kondisi yang paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa, hal itu patut untuk dikabulkan bagimu”.

“Ketidakpuasan” dan “keputusasaan” “aku-lirik” di dalam mendapatkan cara agar dapat berdekatan dengan Allah SWT, diperkuat pula dengan keberadaan bait keempat.

(4) Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi

“Aku-lirik” memberikan penekanan “Engkau siapa?”, pertanyaan tersebut melambangkan keputusasaan, sebab selanjutnya “aku-lirik” mengatakan “sebab telah kutatah nisan yang indah”. “Aku-lirik” seolah-olah telah menyiapkan detik-detik kematiannya, “aku-lirik” mengganggap bahwa kematian yang disimbolkan dengan kata “nisan” merupakan cara terakhir yang dapat digunakan untuk dapat berdekatan dengan Allah SWT. Kata “tatah” di dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “pahat”( http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Telah penulis paparkan bahwa sajak “Jalan Menuju Rumahmu” merupakan sajak yang bercerita mengenai proses “pencarian” Allah SWT yang dianggap oleh “aku-lirik” dapat menghilangkan kesepian dan kesunyian hati. Proses “pencarian” tersebut berakhir kepada “keputusasaan” dan “kenihilan” pertemuan dengan Dzat Yang Maha Agung.
Perasaan “sepi” dan “sunyi” akibat jauh dengan Allah SWT juga tergambar lengkap di dalam sajak “Kasidah Sunyi” karya Acep Zamzam Noor yang ditulis pada tahun 1982.


Kasidah Sunyi
1
Kepada sunyi
Jagalah napasku
Agar tidak berbunyi

Peliharalah tubuhku
Agar tidak ikut pergi

Lemparkan aku
Ke lembah
Biarkan sendiri

Tenggelam
Dalam rindu
Biarkan mati

2
Aku ingin tidur
Lelap dalam pelukan kasihmu

Tapi baying-bayang kehidupan
Impian-impian masa depan
Selalu mengusik kantukku

Tapi suara-suara yang memanggilku
Suara-suara di luar jendela
Tak bisa kuelakkan

Bagai senyum istriku
Bagai senyum anak-anakku
Bagai kabut yang turun di depanku

Kekasih, aku tak bisa melihat wajahmu



3
Dalam sujud batu-batu
Dalam runduk suara-suara
Dalam derasnya aorta

Sungai-sungai datang
Menerjangku

Dalam shalat sepi syahdu
Dalam lezat bertamu
Dalam dzikir dan rindu

Daun-daun luruh
Menguburku

4
Kutanggalkan baju, celana, dan sepatu
Kutinggalkan kamar, buku-buku dan mimpi-mimpi
Kulupakan kamu, harapan dan nafsu-nafsu
Kubersihkan debu dari sekujur tubuhku

Dengan begini aku merasa telanjang
Dan berjalan menuju kasihmu

Apakah aku sudah telanjang, kekasih
Dan sedang berjalan ke arahmu?

Aku lupa ruang
Aku lupa waktu
Aku lupa diriku

Betapa banyak jalan bersimpangan di hadapanku
Betapa banyak rambu-rambu petunjuk ke arahmu

Aku lenyap, kekasih
Dan berjalan entah ke mana

5
Perjalanan ini
Alangkah gelapnya
Dan sunyi

Berat langkahku
Oleh beban kalbu

Kelu mulutku
Untuk mengucapkan namamu

Aku terkunci
Oleh keinginan dan nafsu
Yang tak terungkapkan


Kepada sunyi
Simpanlah birahiku
Sebelum pertemuan nanti

6
Tidak. Ini bukan rumahmu
Ini bukan tempat yang ingin kutuju
Sebab terlalu banyak lampu, cahaya-cahaya
Yang gemerlapan menyilaukan mataku

Terlalu banyak bunga, warna-warna
Dan suara-suara merdu yang melenakanku

Gedung ini terlalu megah
Taman ini terlalu indah

Ini bukan rumahmu
Bukan tempat yang ingin kutuju
Keindahan dan kemegahan selalu fana
Sedangkan bagiku engkau sederhana

7
Apa yang kauinjak
Berguncang

Apa yang kaupandang
Bergoyang

Apa yang kupegang
Hanya bayang-bayang

Kepada sunyi
Tariklah aku kembali
Kembalikan ke kamarku

Baringkan aku tidur
Di ranjang bumi

Aku lelah sekali

8
Di antara bilik
Dan atap yang tiris
Tempias angin yang dingin
Membaringkanku di sini

Di antara bisik
Dunia yang tak pernah tidur
Peluk dan cium perempuan berpupur
O, nasibku terbujur

Ini kasur yang tak pernah kuganti
Setia menanggung hidupku sepanjang hari
Kamar yang tak pernah merasa terganggu
Jika aku memekik memanggil-manggil namamu

Kekasih, impian-impianku kian memanjangkan talinya
Mengikat dan melilit hidupku satu dengan ranjang ini
Sedang bayang-bayangmu kian genit menggodaku
Untuk berontak, lepas dan lari memburumu

9
Terimalah aku
Kuakkanlah pintu
Peluklah aku, o, peluklah
Kelana dungu

Terimalah aku
Bukakanlah hatimu
Kawinilah aku, o, kawinilah
Dengan kasihmu
Sebelum rindu menghamili sepiku
Dan kesepian
Melindas hidupku

Kuakkanlah pintu
Bukakanlah hatimu
Setubuhilah aku, o, setubuhilah
Kekosongan jiwaku

10
Dalam tafakur
Gairahku meluncur
Adakah tanganmu padaku terulur
O, bayang-bayang kubur

Dalam syukur
Apa yang mesti kuulur
Tangisku deras mengucur
O, kepadamu aku melebur

1982

Di dalam sajak “Kasidah Sunyi” dipaparkan dengan lengkap hakikat kesunyian dan kerinduan kepada Allah SWT yang pada nomor satu (1), hakikat Dzat Allah SWT terlihat ketika “aku-lirik” memohon penjagaan kepadaNya melalui ungkapan “jagalah napasku”.
Pada nomor dua (2) sajak “Kasidah Sunyi”, menceritakan bahwa “aku-lirik” ingin segera berjumpa dengan Allah SWT. Berjumpa di sini dapat dimaknai sesungguhnya yaitu bertemu dengan Allah SWT yang dilakukan melalui proses kematian. Terlihat pada ungkapan “aku ingin tidur/lelap dalam pelukan kasihmu”, selain itu, pada bait-bait berikutnya menguatkan pula keyakinan bahwa kematian merupakan sesuatu yang diinginkan “aku-lirik”. Tetapi “aku-lirik” merasa berat ketika kematian itu benar-benar datang dikarenakan “aku-lirik” merasa masih memiliki tanggung jawab kepada keluarga. Hal tersebut terlihat pada ungkapan “tapi bayang-bayang kehidupan/impian-impian masa depan/selalu mengusik kantukku//tapi suara-suara yang memanggilku/suara-suara di luar jendela/tak bisa kuelakkan/bagai senyum istriku/bagai senyum anak-anakku/bagai kabut yang turun di depanku”.
Keadaan bingung dikarenakan merasa tak mendapat petunjuk Allah SWT juga dirasakan “aku-lirik” dalam proses pencariannya, hal tersebut dapat dilihat pada nomor 4 bait keempat, kelima, dan keenam, berikut “aku lupa ruang/aku lupa waktu/aku lupa diriku//betapa banyak jalan bersimpangan di hadapanku/betapa banyak rambu-rambu petunjuk ke arahmu//aku lenyap, kekasih/dan berjalan entah ke mana”.
Akhirnya perjalanan dalam proses pencarian Allah SWT berakhir pada kenihilan, ketika “aku-lirik” dengan terang-terangan mengatakan penyebab kenihilan perjumpaan dengan Allah SWT karena “aku terkunci/oleh keinginan dan nafsu/yang tak terungkapkan”.
Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa “Kasidah Sunyi” merupakan sajak yang bercerita tentang kesunyian dan kerinduan “aku-lirik” kepada Allah SWT. Karena kerinduan itu pula, “aku-lirik” ingin berjumpa dengan Allah SWT melalui proses kematian, tetapi keinginan tersebut tidak dapat teralisasikan karena “aku-lirik” merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarganya, dan akhirnya dengan jujur “aku-lirik” mengungkapkan bahwa nafsu dirinya yang membuat “aku-lirik” jauh dari Allah SWT.

KONSEP “TASAWUF” DALAM SAJAK “KASIDAH SUNYI” KARYA ACEP ZAMZAM NOOR
Berbicara mengenai ketuhanan dalam perspektif agama Islam, tak akan terlepas dari suatu ilmu yang dinamakan ilmu tasawuf. Di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”, Allah SWT disimbolkan dengan “mu-lirik” dan dalam hal ini, “rumah” “mu-lirik” merupakan tujuan “aku-lirik”. Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” sarat akan kesepian yang dirasakan “aku-lirik” akibat ketidakbersamaan Allah SWT di dalam hidupnya. Begitu pula di dalam sajak “Kasidah Sunyi” yang sarat akan kerinduan “aku-lirik” bertemu dengan Allah SWT.
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” kuat mengandung keinginan “aku-lirik” agar dapat berdampingan dengan Allah SWT. Melalui simbol “rumahmu”, “aku-lirik” menggambarkan bahwa kedekatan dengan Allah SWT akan tercapai bila “aku-lirik” mendatangi kediaman (“rumahmu”) Allah SWT. Pemaknaan seperti ini tidak terlepas dari konsep tasawuf di dalam agama Islam, sebab terdapat pendapat seorang sufi mengenai hal tersebut, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”(Abu Bakr asy-Syibly).
Selain konsep tasawuf di dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”, sajak “Kasidah Sunyi” yang mengandung nilai-nilai kerinduan terhadap Allah SWT, dapat juga secara otomatis mengandung konsep tasawuf. Pada bagian keempat, sajak “Kasidah Sunyi” yang berbunyi “Kutanggalkan baju, celana, dan sepatu/Kutinggalkan kamar, buku-buku dan mimpi-mimpi/Kulupakan kamu, harapan dan nafsu-nafsu/Kubersihkan debu dari sekujur tubuhku//Dengan begini aku merasa telanjang/Dan berjalan menuju kasihmu//Apakah aku sudah telanjang, kekasih/Dan sedang berjalan ke arahmu?” mengandung nilai-nilai dari ilmu tasawuf. “aku-lirik” berupaya untuk melepaskan diri dari kebutuhan dunia, “kutanggalkan baju, celana, dan sepatu/kutinggalkan kamar, buku-buku dan mimpi”.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pendapat para sufi sebagai beriku:

“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.” (Abu Hamzah Al-Baghdady)

“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan member dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.” (Ruwaim bin Ahmad)


“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.” (Ahmad ibnul Jalla’)


Pemaknaan terhadap simbol “rumahmu” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu” dijelaskan pula di dalam sajak “Kasidah Sunyi” pada bagian keenam,

6
Tidak. Ini bukan rumahmu
Ini bukan tempat yang ingin kutuju
Sebab terlalu banyak lampu, cahaya-cahaya
Yang gemerlapan menyilaukan mataku

Terlalu banyak bunga, warna-warna
Dan suara-suara merdu yang melenakanku

Gedung ini terlalu megah
Taman ini terlalu indah

Ini bukan rumahmu
Bukan tempat yang ingin kutuju
Keindahan dan kemegahan selalu fana
Sedangkan bagiku engkau sederhana

Pada bagian keenam dalam sajak “Kasidah Sunyi” digambarkan bahwa Allah SWT berada dalam nilai kesederhanaan. Hal tersebut juga terkandung di dalam konsep tasawuf, seperti yang diungkapkan oleh seorang sufi bernama Samnun, “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
Pada bagian kesembilan sajak “Kasidah Sunyi” juga mengandung konsep tasawuf.

9
Terimalah aku
Kuakkanlah pintu
Peluklah aku, o, peluklah
Kelana dungu

Terimalah aku
Bukakanlah hatimu
Kawinilah aku, o, kawinilah
Dengan kasihmu
Sebelum rindu menghamili sepiku
Dan kesepian
Melindas hidupku

Kuakkanlah pintu
Bukakanlah hatimu
Setubuhilah aku, o, setubuhilah
Kekosongan jiwaku

Pada bagian kesembilan, digambarkan bahwa “aku-lirik” memohon agar “mu-lirik” bersedia membukakan “pintu” untuknya. Simbol “pintu” juga terkandung di dalam konsep tasawuf seperti yang dijelaskan oleh salah seorang sufi sebagai berikut, “Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.” (Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary).
Pada bagian penutup sajak “Kasidah Sunyi” yang berbunyi “O, kepadamu aku melebur” juga mengandung nilai-nilai tasawuf. Terdapat pula seorang sufi yang mengatakan pendapatnya mengenai hal tersebut,

“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, ‘siapakah, yang menurutmu Sufi itu?’ Lalu ia menjawab, ‘Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit’. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.” (Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy)


D. KESIMPULAN
Sajak “Jalan Menuju Rumahmu” mengandung konsep “Pencarian”, terlihat dari simbol “Jalan” yang dapat dimaknai sebagai suatu “cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu” (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php). Sehingga “Jalan menuju rumahmu” dapat dimaknai sebagai cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) yang digunakan untuk “menuju rumahmu”. Sedangkan “rumahmu” dikaitkan dengan Allah SWT, sebab di dalam sajak sajak “Kasidah Kekosongan (1)”, kata “jalan” disandingkan dengan kesabaran yang dianggap sebagai jalan terbaik menuju hakikat. “Menunggu adalah tabiat batu-batu, sedang kesabaran/jalan terbaik menuju hakikat. Aku ingin tenggelam.” (sajak “Kasidah Kekosongan (1), Jalan Menuju Rumahmu, 2004: 40). Di dalam al-quran surat Al-Baqarah ayat 153 juga telah menjelaskan mengenai hakikat kesabaran yang dikaitkan dengan Allah SWT.
Sajak “Kasidah Sunyi” mengandung nilai-nilai tasawuf. Konsep tasawuf yang mencintai kesederhanaan terlihat dari bait-bait di dalam sajak “Kasidah Sunyi” (bagian keempat sajak), begitu pula, sajak tersebut juga berbicara mengenai peleburan seorang hamba kepada Allah SWT (bagian kesepuluh).
Konsep “Tasawuf” di dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat menjawab “pencarian” “aku-lirik” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”. Kedua sajak tersebut berbicara mengenai ketuhanan dan kerinduan akan perjumpaan dengan Allah SWT. Sajak “Kasidah Sunyi” kental dengan konsep “tasawuf”, dalam memahami konsep “pencarian” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu” salah satu caranya dengan memaknai sajak “Kasidah Sunyi” secara menyeluruh. Akhirnya nilai-nilai ketuhanan dalam sajak “Kasidah Sunyi” dapat dikatakan mampu menjawab makna “rumahmu” dalam sajak “Jalan Menuju Rumahmu”.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul karim
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Kurniawan, Heru. 2009. Mistisisme Cahaya. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press
Sumaryono, E.1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat ed.1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Wachid B.S, Abdul. 2008. Gandrung Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
www.qalbu.net
Zamzam Noor, Acep. 2004. Jalan Menuju Rumahmu. Jakarta: Grasindo



Tidak ada komentar: