Sabtu, 16 Juli 2011

Cerpen: Bahasa Cinta

Warnet sedang ramai. Seorang cewek berjalan menuju warnet. Dengan jilbab coklatnya, dia tampak manis. Terutama tampak manis bagi…. “Mas…” cewek itu masuk. Melihat dengan tersipu malu kepada cowok yang berada di meja operator warnet. Namanya Dimas. Dan cewek itu Mifta. Mereka memiliki hubungan khusus. Pacaran. Tapi kali ini si cewek tak memandang ke cowok. Dengan wajah tertunduk, dia menunggu si cowok menunjukkan bilik yang kosong.
“Nih, pakai ID-ku aja.” Cowok itu seorang supervisor di warnet tersebut. Tak heran jika dia mendapat fasilitas nge-net gratis dengan bermodalkan ID yang udah diatur sedemikian rupa oleh pihak perusahaan yang mengepalai warnet tersebut.
Si cewek masuk ke bilik yang ditunjuk si cowok. Tak lama si cewek berselancar di dunia maya, tiba-tiba jantungnya berdegub. Rasa ada sesuatu yang aneh di hatinya, ketika ruangan warnet terasa hening karena lagu syahdu berjudul “sampai ke ujung dunia.”
Suara gitar menggiring suasana hati setiap orang yang mendengarnya. Dan lirik “cinta ini menggelisahkan aku…membuat aku gilaaaa…” membuat jantung si cewek semakin berdegub kencang.
Tiba-tiba terdengar suara cowok yang berbicara di depan sana, “Kenapa Dim? Lagi bertengkar?” yang bertanya itu adalah teman kerja Dimas. Seperti sudah menjadi kebiasaan, kalau Dimas memutar lagu ini di ruangan warnet, pasti si cewek lagi di dalam salah satu bilik, dan tak jarang lagu ini diputar ketika Dimas dan ceweknya sedang berantem.
“Romantis banget, ngomong dong dengan dia. Minta maaf.” Ucap si teman sembari berbisik ke telinga si cowok. “Lagu romantis sudah bisa mewakilkan isi hatiku.”
Tak lama kemudian si cewek ke luar dari biliknya dan menuju ke meja operator. Si cowok menatap setiap langkah kaki si cewek dengan perasaan berharap. Harapan untuk diberi maaf oleh cewek yang sangat disayanginya itu. Si cewek kemudian ke luar dari warnet dengan wajah dingin.
Di luar, sebelum melewati pagar warnet, si cewek menoleh ke belakang.
“Aku udah memaafkan kamu Mas.”
***
Malam harinya si cowok tampak sibuk berbicara dengan seseorang di seberang telpon sana. “Dek, aku sayang banget dengan dia” ucap si cowok.

“Kakak, ingat dong, pacaran itu nggak boleh. Cuma buat zina hati aja.” Si adek di seberang telpon mengingatkan. Si adek tersebut adalah teman chatting si cowok. Perkenalan mereka terjadi ketika si cowok tertarik dengan bahasa pemrograman yang dipakai si adek untuk hiasan friendster-nya. Niat awal ingin minta diajari, tetapi kemudian si cowok merasa nyaman curhat dengan si adek.
“Pasti ada sesuatu yang baru jika mengobrol dengan kamu” ucapnya ketika si adek mengingatkan si cowok untuk jangan terus menghubungi si adek. Dengan alasan, si adek takut kalau hatinya terkotori dengan perasaan yang belum boleh dirasakannya.
“Aku berharap banget suatu saat bisa menikahinya.” Ucap si cowok kepada si adek. “Itu lebih baik kak, kalau bisa secepatnya aja.”
“Doakan ya dek.”
“Insya allah, aku juga nggak mau niat kakak untuk lebih memahami agama kita, Islam, terkotori dengan perasaan yang nggak seharusnya dicurahkan kakak kepada cewek yang bukan istri kakak.”
“Kalau nggak begini, gimana aku bisa mengenalnya dek. Kalau udah berhubungan akrab dengan dia seperti sekarang, ntar setelah menikah nggak perlu kaget lagi.” Ucap si cowok dengan nada meyakinkan. Tak kalah meyakinkan, si adek selalu menasehati, “Hubungan akrab yang kakak maksud itu sama aja dengan pacaran kak, lagipula kalau kakak menganggap bahwa menikah itu harus didahului dengan pacaran, kakak salah besar.”
“Emangnya kamu nggak mau pacaran dek?” tanya si cowok kepada adek yang dikenalnya melalui internet dan dihubunginya selalu melalui telpon.
“Aku nggak mau kak, prinsipku jangan sampai aku menikah dengan laki-laki yang udah aku cintai sebelum terjadinya pernikahan.”
“Prinsipmu aneh dek.”
“Aneh bagi kakak, tapi logis bagiku.”
Diam sejenak. Si adek tampak menarik nafas tetapi kemudian melanjutkan ucapannya, “Nilai tawar perempuan itu lemah kak.”
“Maksudmu?”
“Kalau perempuan udah mencintai laki-laki yang belum tentu menjadi suaminya, dia pasti rela melakukan apa pun demi bersatu dengan laki-laki itu. Perempuan itu selalu lemah jika berhadapan dengan perasaannya sendiri. Aku nggak mau mencintai laki-laki yang belum tentu menjadi suamiku, karena aku memiliki kriteria lelaki idaman yang aku inginkan, kalau aku udah mencintai seorang lelaki, walaupun dia nggak masuk kriteriaku, maka aku akan menerimanya, aku nggak mau gitu kak.”
“Prinsipmu unik dek.”
“Hidup itu pilihan, dan aku mau memilih sesuatu yang terbaik bagiku, bagi duniaku, dan bagi akhiratku.”
***
Beberapa hari kemudian si cowok bertemu dengan keluarga si cewek. Dengan tersipu malu si cowok mengutarakan maksudnya. Diceritakannya lebih dahulu bahwa udah setahun belakangan ini si cowok berhubungan dengan si cewek. Dan saatnya kini si cowok berharap agar dapat diterima oleh orang tua si cewek untuk menjadi menantu mereka. Tetapi ternyata di luar dugaan, pihak keluarga si cewek mengajukan beberapa persyaratan. Di antaranya mereka harus berpikir ulang karena si cowok belum mapan secara finansial.
Dengan tertunduk si cowok melamun. Ucapan orang tua si cewek terngiang-ngiang di telinganya. Si cowok tampak menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya berat. Dengan diawali bismillah, si cowok memutuskan untuk mundur. Kemudian si cowok melihat ke arah si cewek yang duduk di samping ibunya.
Wajah si cewek tampak tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Dalam hati si cewek ternyata berkecamuk perasaan. Sedih tetapi juga lega. Sebenarnya si cewek belum siap untuk menikah saat ini.
***
Setelah kejadian itu si cowok seperti mengucilkan dirinya dari pergaulan. Komunikasi dengan si adek pun terputus. Si adek bertanya-tanya mengapa udah beberapa minggu “kakaknya” nggak menelpon. Si adek nggak berani untuk menelpon duluan, takut kalau menganggu pekerjaan si kakak.
“Ya udah lah, husnudzon aja, nggak mau berpikir yang aneh-aneh.”
Lamunan si adek terputus karena tiba-tiba salah seorang temannya datang ke kosnya. “Ngapain sore-sore gini melamun di teras, sendirian pula.” Ucap temannya menggoda.
“Aku lagi capek aja. Beberapa hari ini tugas kampus menumpuk, belum lagi ada beberapa masalah yang mengganggu konsentrasiku.” Ucap si adek kepada temannya.
“Masalah apa? Cerita dong.” Temannya menggoyang-goyang tubuh si adek, berharap agar dia mau menceritakan sesuatu yang menjadi bahan pikirannya itu.
“Ada deh…”
“Kok kamu gitu sih.”
Si adek tersenyum mengejek. “Oh ya, gimana agenda kita?”
“Agenda yang di masjid UGM itu?”
“Ya iyalah.”
“Kan diundur, kok kamu belum tau sih.”
“Hah? Masak iya?”
Temannya mengangguk pasti. “Kenapa?”
“Soalnya dihari yang sama ada tabliq akbar, ustadnya dari Semarang, katanya sih bagus banget. Dateng yuk”
Si adek mengangguk.
***
Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Si adek ke masjid kampus berbarengan dengan temannya. Sesampai di parkiran, terdengar hapenya berdering tetapi karena mereka sudah terlambat, jadi tak sempat si adek membuka tasnya untuk mengambil hape.
Si adek dengan temannya duduk di barisan kursi khusus akhwat yang berada di sisi kiri panggung. Pengunjung yang datang lumayan ramai, tetapi tak terlalu ramai. Mungkin karena ustad dari luar kota dan kurang pengumumannya, maka dari itu yang datang tidak sampai membludak.
Di barisan kursi ikhwan tampak seseorang yang sibuk melemparkan pandangannya ke barisan akhwat. Tanpa sepengetahuan si adek, ternyata di antara ikhwan yang datang itu, salah satunya ada si kakak yang beberapa minggu belakangan ini seolah-olah menghilang dari dunia.
Ketika mendapati sosok wajah yang mirip dengan wajah yang ada di foto facebook si adek, si cowok langsung senyum-senyum. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
Si adek merasa kalau dirinya sedang diperhatikan seseorang. Refleks si cewek menolehkan kepalanya ke beberapa arah. Tetapi tak didapatinya orang yang memperhatikannya itu.
“Kenapa sih kamu, kok nggak bisa fokus?”
“Aku ngerasa kayak diperhatiakan seseorang.”
“Hanya halusinasi aja.” Ucap temannya.
Setelah selesai tabliq akbar, si cewek berjalan beriringan dengan temannya. Di tengah perjalanan menuju parkiran, tiba-tiba seorang ikhwan menghampirinya.
“Assalamu’alaikum.”
Si adek menjawab salam dengan terbata. Dipandanginya wajah yang serasa pernah dilihatnya itu. “Kamu…??” ucapan itu hanya tembus ke batinnya.
“Kakak….” Ucap si adek.
Si cowok langsung salah tingkah karena ternyata dugaannya benar. Cewek yang sekarang berada di hadapannya itu adalah “si adek”nya.
Si adek langsung menarik tangan temannya untuk kemudian berlari mendahului si cowok. Dengan berdiri terpaku si cowok memandangi si adek yang mendahuluinya.
Si cowok terpaku memandangnnya.
***
Si adek mengajak temannya untuk mampir makan bakso sebelum mereka pulang. Di warung bakso, si adek menceritakan siapa laki-laki yang tadi menyapanya. Pembicaraan mereka terpotong karena tiba-tiba hapenya berdering.
Si adek masih shock bertemu dengan “kakak-nya”, langsung dia menyuruh temannya membuka sms yang masuk ke hapenya. “Ada 2 sms.”
“Yang pertama….”
Temannya tampak membaca isi sms itu. “Oh ternyata ‘kakakmu’ itu tadi sms dan kasih tau kalau dia ke Jogja, datang ke acara tabliq akbar tadi.”
“Haduh, kenapa nggak sejak awal kita baca sms itu, kalau aku tau ada dia di situ, aku nggak akan mau masuk.”
“Sms yang kedua….”
“Dari ‘kakakmu’ juga.”
“Isinya apa?”
“Dia bilang kalau dia kagum dengan kamu, dengan penampilanmu, dan dia mau sesuatu yang lebih dari ‘kakak-adik’, itu inti smsnya.”
“Dia gila.” Wajah si adek tampak sangat shock.
***
Si cowok tetap berusaha mendekati si adek. Dengan tak berdaya si adek menceritakan permasalahannya dengan orang tua yang berada di Sumatra. Bapaknya mengatakan kalau beberapa minggu ke depan mendapat cuti dari perusahaan, dan karena ada permasalahan ini, si bapak memutuskan untuk mengunjungi anaknya di Jogja.
“Suruh dia datang menemui bapak” ucap bapaknya ketika udah tiba di Jogja. Si adek pun menghubungi si cowok. Beberapa hari kemudian si cowok menghadap bapak si adek. Ketika bertemu, si cowok langsung mengutarakan maksudnya.
Si bapak sudah bisa langsung menngatakan kemana tujuan pembicaraan ini, karena sebelumnya udah ada diskusi dengan putrinya.
“Kamu benar-benar serius?”
“Insya allah Pak.”
“Kalau kamu serius, saya akan menikahkan kamu dengan anak saya, hari Minggu tanggal 24 besok.”
Jantung si cowok serasa langsung berhenti. Kaget bukan kepalang. “Hanya dua minggu kesempatan untuk mempersiapkan semuanya.” Batin si cowok.
“Kamu bawa orang tuamu ke sini, saya akan menikahkan kamu dengan putri saya sebelum saya kembali ke Sumatra tanggal 26.”
***
Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana. Urusan di KUA dapat berlangsung dengan lancar dan mudah karena si adek sudah memiliki KTP Jogja. Beberapa hari sebelum pernikahan, ibu si adek datang ke Jogja.
Cinta memiliki bahasanya sendiri untuk menunjukkan seseorang ke jalan kebahagiaan, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa rahasia. Tak seorang pun, dan tak ada cara apa pun yang dapat digunakan untuk menghayati makna cinta antara sepasang anak manusia kecuali melalui pernikahan.

Tidak ada komentar: