Jumat, 15 Juli 2011

Cerpen: Calon Suami Sahabatku

        Subuh-subuh dia terbangun, adzan yang membangunkannya. Dengan langkah sempoyongan, dia berjalan ke kamar mandi. Buang air lalu berwudhu. Ketika melewati ruang tengah, dilihatnya ruangan tersebut terang benderang karena cahaya. Bukan lampu, melainkan cahaya dari layar televisi. Adik laki-lakinya meringkuk depan TV berselimut tebal. Maklum, di depan TV ada dipan plus kasur empuk yang pas banget memanjakan rasa kemalasan. “Pagi buta begini nonton film apaan sih?” sembari cemberut dan bête, si cewek bertanya ke adiknya. “Enggak ada cerita” tutur si adik tanpa memalingkan wajah dari layar kaca, seperti terhipnotis. “Pasti nonton ceramah ustad siapa itu? Yang jamaah…jamaah.” Si cewek rada ketus. Adiknya tetap diam. Ditekan-tekannya tombol remote mengganti-ganti saluran TV. “Nggak mutu. Itu ustad komersil, dakwah kok untuk entertaint.” Cibir si cewek sembari melengos ke kamar mandi.
Beberapa menit berlalu dengan kekusyukan shalat subuh dan dzikir. Si cewek bangkit kemudian mengambil mushaf. “A’udzubillahiminasyaitannirojim…” diresapinya rangkaian huruf yang merupakan kalam Illahi itu. Di sela-sela kekhusyukan tilawah, mata si cewek menatap kertas besar yang tertempel di cerminnya. “TUGAS SINTAKSIS” tulisan dengan huruf kapital dan spidol merah itu membuyarkan kekhusyukannya. Finish di lembar kelima, si cewek menutup mushafnya.
             Dengan semangat yang baru coba dibangkitkan, si cewek membuka laptonya. Mengetik “connect” dan kini si cewek berselancar di dunia maya. Konsentrasinya buyar, awalnya ingin mengerjakan tugas kuliah tapi kemudian beralih ke www.facebook.com.
“Uuuhh…loadingnya lama banget.” Gerutu si cewek. Dia tampak khawatir nggak bisa update status, lebih khawatir daripada nggak bisa menyelesaikan tugas kuliah yang kata si cewek “Tugasnya penting banget, Ma.….”
“Harus dikerjakan sekarang” ketika mamanya meminta tolong si cewek membantu menyiapkan sarapan pagi. Mama yang berteriak dari luar kamar pun berlalu ke dapur.
Si cewek nggak kehabisan akal. Masalah loading lama dapat diatasi dengan “ping www.facebook.com –t –l 5”
“Fiuuhh….heheheee” si cewek kegirangan. Matanya terbelalak sekaligus senang ketika mendapati notification-nya tertulis angka “28”. Padahal semalam, si cewek online sampai jam 11 malam, tapi sepagi ini, notif-nya udah 28.
Setelah membalas komen. Si cewek kembali ke home. Dibacanya status semua temannya yang hampir setengah tidak dikenal. Salah satu komen membuat si cewek tertarik. Komen itu bertuliskan begini, “Ntar siang ada agenda mengisi seminar kepenulisan di kampus, sebenarnya peserta seminarnya kemungkinan besar udah tau teorinya, tapi memulai menulis itu yang rada sulit”
Si cewek langsung komentar, “Bener, memulai menulis itu yang agak sulit. Dulu sebenarnya saya suka nulis fiksi, tapi setelah dikirim ke media, nggak ada yang terbit, saya jadi pesimis” batinny menggerutu dengan menulis balasan di status teman fb-nya itu.
Tak menunggu berapa lama, komentar si cewek pun dibalas “Menulis itu selain butuh keterampilan, juga membutuhkan kekuatan mental. Kita harus siap dengan kritik. Jadi jangan langsung menyerah kalau tulisan belum diterbitkan.”
Si cewek kegirangan. Sebenarnya dia belum mengenal siapakah dia itu. Walaupun sudah menjadi teman facebook, tapi mereka belum saling mengenal. Si cewek kemudian membuka wall-nya
Membaca profilnya, dan si cewek baru menyadari, ternyata dia nggak berbeda jauh umurnya, Cuma berjarak 3 tahun. Dan dia ternyataa….. seorang penulis. “Heemmm…kesempatan mendapatkan ilmu nih.” Si cewek semakin bersemangat. Dia kemudian menguras perhatiannya untuk membaca note-note milik orang ber-ID kokom.
             “Nama yang aneh.” Si cewek bergumam. Dilihat-lihatnya foto si Kokom, tetapi sayang, semua hanya kartun animasi. Tetapi si cewek nggak bersedih. Yang terpenting baginya adalah tulisan-tulisannya, terutama tulisan fiksi. “Hhheemmm…sederhana temanya, tetapi cara menuangkan ide ke tulisan yang membuat fiksi-fiksi “Kokom” ini menarik dibaca.
“Nona….udah jam delapan, katanya ada kuliah jam sembilan.” Suara mama terdengar menembus dinding-dinding kamar si cewek. Dengan panik, mata si cewek melirik ke sudut kanan bawah monitor laptopnya. Di sudut itu tertulis anggak 07.58. Si cewek gelagapan. “Waduh, gawat kalau telat, dosennya killer banget, ontime pula.”
Dengan tergesa si cewek keluar kamar. Memang sudah berpakaian “dinas”, siap kuliah. Tetapi mama yang berpapasan di depan pintu kamar, melihat ke anaknya dengan tatapan terheran-heran. “Kamu nggak mandi Non ?” Tanya mama. Yang ditanya hanya tersenyum. “Hari ini kuliah hanya sampai jam 11 siang, Ma. Lagipula kemarin aku kan pulang ampe malam, dan langsung mandi, jadi sekarang nggak usah mandi, kan nggak apa.” Celoteh si cewek, sembari mengambil roti yang tergeletak di atas meja makan. Mama hanya geleng-geleng kepala.


***
             Di kampus, si cewek berpapasan dengan teman sekelasnya. Namanya Yuyun. Parasnya cantik, kulitnya putih, semangatnya tinggi, bawel, dan sama seperti Nona, sama-sama suka menulis fiksi. “Tumben telat, Non?” Tanya Yuyun dengan tatapan aneh. “Iya nih, keasikan sih.” Jawab Nona sekenanya. “Keasikan ngapain?” Yuyun memandang dengan tatapan menyelidik. “Heheheeee…online.” Nona mesem-mesem.
“Gimana cerpenmu yang kemarin? Terbit?” Tanya Yuyun sembari mereka berdua menuju kelas. Alhamdulillah ternyata dosennya belum muncul.”Fiuuhh..belum nih, aku jadi nggak semangat nulis.”
“Loh kok gitu, jangan dong Non. Tetap semangat, nulis itu yang penting jadi tulisan, masalah diterbitkan atau tidak, itu urusan belakangan. Lagipula tulisanmu yang tidak diterbitkan itu bukan berarti jelek kok.” Nasehat Yuyun. Maklum, sudah beberapa tulisannya berhasil tembus ke media massa. Terutama tulisannya dalam bentuk opini. Di dalam hati, sesungguhnya Nona menyimpan rasa iri. Kenapa Yuyun bisa tetapi dirinya tidak. Rasa iri itu, walaupun baik karena dapat menjadi motivasi, tetapi juga dapat menjadi beban mental.
“Tapi aku udah nggak sabar diterbitkan Yun, honornya kan lumayan..heheheee” celoteh Nona. “Belum apa-apa orientasimu udah materi sih, makanya gampang kecewa. Menulis itu yang penting menulis Non, jangan mikir yang lain dulu. Apalagi pemula, sebaiknya honor dipikirkan urutan kesekian. Takutnya karena mikir honor, kamu jadi kaku dan terbebani ketika menulis.”
“Eh iya Yun, ngomong-ngomong gimana rencanamu itu?” Tanya Nona mengalihkan topik pembicaraan. “Alhamdulillah mudah-mudahan semuanya lancar.” Beberapa waktu belakangan ini wajah Yuyun tampak sumringah. Maklum, beberapa hari lagi insya allah dia akan menyelenggarakan pernikahan. “Yuyun hebat” Nona pernah membatin. Tak mau pacaran, tetapi langsung berani menikah. Dengan laki-laki yang belum dikenal dekat pula.
Sementara dirinya, memang sudah ada keinginan menikah, tapi masalahnya, siapa yang mau dengannya. Karena sampai sekarang Nona masih jomblo. Bukan karena nggak mau pacaran, tapi memang dilarang pacaran oleh kedua orang tuanya. Pernah terpikir di benak Nona, sekarang dia semester IV, kira-kira bagaimana respon orang tuanya, ketika tiba-tiba Nona minta dinikahkan. “Hahaaaa..pasti orang tuaku panik bukan main.” Nona tertawa dalam hati.

***
Pulang kuliah, langsung Nona masuk ke kamarnya. Mama berteriak “Non, makan dulu.” Tapi Nona diam aja, bukan karena dia sedang program diet, tapi karena tadi udah ditraktir Yuyun makan bakso di kantin. Yuyun baru habis dapet honor dari cerpennya yang dimuat di majalah remaja.
“Non, mandi dulu gih, ntar kalau udah sore, males mau mandi.” Mama mengingatkan. Mama berteriak-teriak, karena mama lagi sibuk buat kue di dapur. Mendengar ucapan mama barusan, Nona refleks, mencium badannya sendiri. “hahahaaa…bau banget.” Nona jadi ilfil. Dia mengurungkan niat membuka laptop dan memilih untuk mandi dulu.
“Mama lagi ngapain?” Tanya Nona melihat mama yang mengaduk adonan dengan mixer. “Buat kue.” Jawab mama singkat. “Tumben, kue apa? Untuk apa? Papa minta dibuatkan kue ya?” tebak Nona sembari mencolek adonan dengan jari, kemudian adonan yang belum masak itu dimakannya. “Kamu ini, kebiasaan banget.” Nona cengar-cengir. “Kue ini untuk Papa ya Ma?”
“Kenapa sih kamu penasaran banget.” Ucap Mama. “Habisnya mama tumben banget buat kue segala, biasanya beli aja.” Nona menggoda mamanya yang malas membuat kue. “Ini untuk tetangga depan itu loh.”
“Tetangga depan? Emangnya rumah depan udah ada penghuninya, Ma?”
“Udah, baru tadi pagi pindahan, yang tinggal di situ teman kerja Papa, makanya Papa mau Mama buat kue untuk mereka.”
“Ohh gitu.” Ucap Nona sembari menuju ke kamar mandi.

***
Setelah mandi, Nona langsung membuka laptopnya. Padahal tulisan “TUGAS SINTAKSIS” belum lepas dari cerminnya, yang artinya tugas itu belum selesai dikerjakan. Tapi Nona seperti tak peduli, dia berpikir, mengumpulkan tugas itu masih empat hari lagi.
Nona kegirangan ketika mendapati orang ber-ID Kokom sedang online. Dia pun memilih untuk chat dengan dia. Nona penasaran, jarang banget dia dapat teman penulis, yang tentunya Nona terobsesi banget pingin bisa ngobrol.
“Maaf mengganggu. Boleh bertanya sedikit?” Nona membuka obrolan. Lumayan lama nggak dibales, Nona jadi bete. Dia pun membuka blog-blog kepenulisan, blog-blog yang berisi tulisan-tulisan fiksi. Tapi ketika asik membaca-baca, tiba-tiba Nona mendapati pesan chat-nya dibalas.
“Iya ada apa?”
Karena mendapat respon baik, Nona pun nggak segan-segan mengajukan beberapa pertanyaan.
“Sebelumnya mau tanya dulu, kamu ini cewek atau cowok? Soalnya di profil nggak ada tertera jenis kelaminmu.”
“Ya…saya rasa hal itu nggak penting.”
Mendapat jawaban seperti itu, Nona sempat down. “Kok jutek banget sih.” Batin Nona. “Ya nggak apa lah, yang penting ilmunya.” Batin Nona kemudian.
Nona mengajukan beberapa pertanyaan, mulai dari “gimana caranya memulai menulis” sampai dengan “gimana caranya supaya tulisan-tulisan itu bisa dimuat dimedia atau diterbitkan dalam bentuk buku.”
Nona puas, walaupun orang ber-ID Kokom itu terkesan jutek dan misterius, tetapi semua pertanyaan Nona dijawab dengan lugas. Akhir dari obrolan mereka, Nona tutup dengan ucapan “Terima kasih ya”
***
Besoknya di kampus, Nona menceritakan pengalamannya yang udah bisa ngobrol langsung dengan salah seorang novelis ke Yuyun. Temannya itu mendengarkan dengan semangat. “Terus kamu Tanya apa aja Non?”
“Banyaklah Yun, salah satunya aku tanya gimana caranya supaya bisa konsisten nulis novel dari awal sampai akhir. Dan masih banyak lagi lah yang aku tanya.”
“Terus jawabannya apa?” Yuyun penasaran. “Panjang sih, tapi intinya kita harus disiplin dengan jadwal yang kita buat sendiri. Kalau kita udah membuat target setiap pekan harus menulis, ya kita harus patuhi itu.”
“Oh gitu ya, bener tuh Non. Tapi aku masih suka melanggar aturan-aturan yang aku buat sih..hehehehe”
“Ngomong-ngomong kamu kok masih berangkat kuliah sih? Nggak dipingit?”
“Halah..ngapain pakai pingit segala, berdoa aja, udah cukup, biar Allah yang menjaga kita.”
Nona manggut-manggut. “Aku penasaran pingin liat wajah calon suamimu Yun.”
Yuyun malah senyum-senyum. “Aku aja baru bertemu beliau cuma 3 kali.” Jawab Yuyun. “Hah? Serius?” Yuyun manggut-manggut. “Hebat kamu Yun, kamu udah beneran yakin?”
“Insya allah Non.”
***
Pesta pernikahan Yuyun berlangsung dengan sederhana tetapi tetap khusyuk. Tak banyak teman kampus yang datang. Cuma beberapa orang saja. Karena memang acara pernikahan ini hanya mengundang tetangga dan kerabat saja. Berkali-kali Nona curi-curi pandang melihat laki-laki yang sekarang sudah menjadi suami sahabatnya itu. Dalam hati Nona iri lagi dengan Yuyun. Karir Yuyun di dunia kepenulisan sangat baik, dan sekarang dia memiliki suami yang soleh sekaligus cakep. Yang membuat Nona tambah takjub adalah Yuyun pernah cerita kalau calon suami yang sekarang udah jadi suaminya itu tidak bekerja. “Iya Non, di KTP-ny aja tertulis pengangguran.”
Ketika itu Nona langsung bertanya, kok Yuyun mau. Dan Yuyun mengatakan, “Belum bekerja itu bukan halangan untuk menikah. Insya allah pasti ada rejeki. Yang penting itu adalah menikah dengan laki-laki yang mau bekerja, bukan yang memiliki pekerjaan tetapi tidak mau membiayai istrinya. Jaman sekarang kan banyak, suami-suami yang rada pelit kalau untuk kebutuhan istrinya.”
          Ketika itu Nona manggut-manggut aja. Dia nggak mungkin mempengaruhi Yuyun untuk menolak atau membatalkan rencana pernikahan dengan laki-laki itu. Setelah akad nikah, pengantin duduk di depan para undangan yang sedang menyantap hidangan. Setelah selesai, para undangan menyalami pengantin. Nona memilih giliran yang terakhir, supaya dia bisa ngobrol sedikit dan foto dengan temannya itu.
“Selamat ya Yun.” Ucap Nona dan dia langsung pamit pulang. Sesampainya di rumah, Mama langsung bertanya ke putri sulungnya itu. “Gimana acaranya tadi Non?”
“Alhamdulillah lancar, Ma. Mama sih, kenapa nggak datang.”
“Ah tidak enak, kan Mama nggak diundang langsung, lagipula kata kamu acaranya hanya untuk tetangga dan kerabat dekat.”
“Tapi tadi Yuyun tanyain Mama kok.”
“Oh gitu. Ya maaf deh.”
“Ya udah, Ma. Nona ke kamar dulu ah, capek.”
                Sampai di kamarnya, Nona langsung menjatuhkan diri ke ranjangnya. Baru beberapa menit istirahat, dirinya tergelitik membuka laptop. Dia pun online dan membuka facebook. Betapa kagetnya dia ketika mendapati sesuatu di wall orang ber-ID Kokom. Sesuatu itu adalah undangan pernikahan.
Dibaca Nona dengan teliti, didapatinya nama lengkap Yuyun, sahabatnya tertera di situ. “Ini kan undangan pernikahan Yuyun, ada hubungan apa Yuyun dengan orang ber-ID Kokom ini?”
Nona pun membaca komen di bawah postingan undangan itu. Banyak yang mengucapkan selamat untuk Yuyun dan Kurnia. “Astagfirullah…jadi orang ber-ID Kokom ini adalah Kurnia, suaminya Yuyun?”
Nona kaget bukan main.

SELESAI

Tidak ada komentar: