Senin, 18 Juli 2011

cerpen: Surat Cinta Untuk Mama

Pipit senyum-senyum ketika mendapati kabar baik bahwa cerpen-cerpennya berhasil diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen oleh salah satu penerbit yang sudah cukup punya nama. Selama ini cerpen-cerpennya hanya berhasil tembus media massa dan banyak yang menyukai tulisan-tulisannya. Jika tulisan-tulisannya mendapat sambutan hangat oleh pembaca, yang terbayang dibenaknya hanyalah senyum mama-nya. Wanita (walau bagaimanapun keadaanya) yang membuka pintu bagi Pipit untuk menemukan jati dirinya.


***


Surat cinta itu ditujukan untuk mama-nya. Sengaja dibuat Pipit setiap malam, sebelum dirinya terlelap tidur. Tetapi surat itu mengandung keunikan karena tak pernah diberikan ke mama, melainkan selalu disimpan di dalam kotak, yang diberi nama “kotak kenangan” oleh Pipit dan disimpan di salah satu lemari buku dalam kamar kost-nya.
“Pit, lagi ngapain?” tanya salah seorang teman kostnya. Pipit memandang sekilas kemudian melanjutkan menulis kalimat demi kalimat di selembar kertas. “Curhat dengan ‘mama-mu’?” sindir temannya. ‘mama-mu’ yang dimaksud temannya itu adalah kertas yang dianggap sebagai “pengganti” sosok mamanya yang selalu digunakan oleh Pipit untuk menuliskan curhatannya.
Pandangan Pipit tetap tak beralih dari secarik kertas itu. “Apa salahnya ketemu mamamu, minta maaf terus curhat sepuasnya deh.” Ungkap temannya dan kemudian berlalu pergi.
“Semua ada waktunya.” Batin Pipit.


21:08
17’7’11

Rumah sepi. Kala itu sore mulai menjelang. Mama belum pulang dari kegiatannya di luar. Sebagai seorang wanita pekerja, “setiap harinya mama selalu sibuk” itu yang selalu aku lihat dari mama. Dan nggak pernah ada waktu untuk anak semata wayangnya ini kecuali hari minggu. Setiap harinya, Mama berangkat bersama-sama denganku ketika aku berangkat sekolah. Dan pulang ketika aku udah keletihan dan ingin segera tidur. Kalau begitu, jelas aku nggak punya waktu untuk bersenda gurau dengan mama. Apalagi setelah papa meninggal dunia akibat kecelakaan. Rasanya hatiku semakin kesepian. Pelampiasanku ya hanya curhat dengan selembar kertas ini.
Ketika itu aku sangat bosan di rumah. Aku sedang liburan semester. Aku duduk di kelas X SMK. Malam hari sengaja kutunggu mama hingga sampai di rumah. Dengan wajah keletihan, aku mengatakan beban kebosananku pada mama.
“Ma, Pipit bosan di rumah”
Sebenarnya yang aku tunggu adalah ungkapan mama yang mengatakan bahwa kami akan liburan berdua untuk beberapa hari. Pasti rasa bosanku hilang.
“Maaf ya Pit, kalau mau pergi liburan, mama kan harus libur juga, tapi sekarang mama kan belum libur.” Ucapan mama udah kutebak, walaupun aku berharap tebakanku salah, tetapi ternyata malah benar.
Aku kemudian masuk ke kamarku dengan bibir manyun. Aku dengar mama memanggil-manggil namaku tapi aku tak peduli, toh mama juga nggak peduli dengan beban rasa kebosanan yang aku tanggung.
Karena mama nggak memberi solusi yang sedikit membuatku bahagia, maka aku melampiaskan kesepianku dengan bermain-main hape. Seringnya sih sms-smsan dengan teman-temanku, bahkan aku mencari-cari teman sms dengan seolah-olah salah nomor.
Hari-hari kulalui dengan aneh. Aku ngobrol dengan teman-teman di dunia maya. Aku berinternet dan aku chatting. Aku bersenang-senang dengan orang yang belum tentu ada. Mama tak peduli dengan perasaanku, ketika aku protes, mama hanya mengatakan bahwa semua yang mama lakukan demi membahagiakan aku. Ya, aku tak bisa berbuat banyak. Dipikiranku, mama tau segalanya, buktinya kami tetap bisa hidup walaupun papa udah nggak ada.
Beberapa hari lamanya aku mendiamkan mama. Dalam rangka protes, aku melakukan mogok bicara. Tetapi mama merasakan perubahan diriku, aku menjadi anak yang sengaja dibuat pendiam oleh diriku sendiri.


Beberapa hari kemudian mama membawakan sesuatu yang dapat mengusir rasa kebosananku menikmati liburan sekolah.
“Nih, mama bawain buku TTS.”
Kulihat, kubolak-balik sampul buku itu. Bentuknya memanjang, dan isinya banyak kotak-kotak kosong. Gambar di sampul depan adalah wanita-wanita yang sedikit berpakaian terbuka.
“Ini apa ma?” tanyaku ketika itu.
“Itu buku TTS, teka-teki silang.” Jawab mama sembari tersenyum. Aku tetap melihat aneh ke buku itu. Bentuk dan isinya aneh. Aku nggak pernah membeli buku ini sebelumnya.
“Kalau kamu bosan, isi aja TTS, kan mengasah otak.” Ucap mama. Batinku berucap ‘oalah, ini yang namanya buku TTS, selama ini aku cuma pernah mendengar namanya tetapi belum pernah liat isinya, aku pernah liat buku ini tergantung di warung-warung yang menjual buku dan majalah, tapi aku kira itu buku porno, ternyata buku TTS.’ Batinku berucap.
Beberapa hari berikutnya, aku sibuk mengisi kotak-kotak kosong di dalam buku TTS itu. Awalnya sangat menyenangkan, aku harus mengisi kata-kata tertentu yang sesuai dengan petunjuk yang ada di samping kotak-kotak kosong tersebut. Tetapi lama kelamaan, aku pusing dan…..kembali bosan.
“Ma, Pipit masih bosan.” Ucapku dengan mama ketika mama sedang beristirahat menonton televisi di hari Minggu itu. “Kenapa? Buku TTS-nya udah keisi semua?” tanya mama kemudian. Aku menggeleng.
“Lah, terus kenapa?”
“Soalnya Pipit nggak bisa mengisi kotak-kotak kosong itu. Pasti nggak pernah total ngisi kotak-kotaknya, banyak petunjuk yang Pipit nggak tau maksudnya.”
“Haduh, trus mama harus gimana?”
“Kok mama malah tanya Pipit, Pipit nggak tau lah ma”
“Ya udah, nonton tv aja.”
“Bosan ma, acaranya itu-itu aja.”
Mama terdiam. “Ya udah, kamu main ke rumah temanmu.”
“Pipit nggak mau main ke luar, Pipit mau di rumah aja. Pipit nggak suka main dengan teman-teman di luar.”
Beberapa hari berikutnya mama belum juga menemukan solusi. Dan aku makin lama makin bosan. Akhirnya sampai suatu hari mama memberi aku sebuah buku.
“Mama pikir, alasan kamu nggak bisa mengisi, pasti karena kamu kurang wawasan, makanya ini mama belikan kamu buku bacaan.” Mama menyodorkan sebuah buku bersampul hijau kepadaku.
Aku meraihnya. “Oalah, aku kira selama ini, yang namanya buku pasti selalu buku paket sekolah aja, nggak ada buku-buku lain.” batinku. Ketika aku membaca judul bukunya, aku mesem-mesem. “PACARAN DALAM KACAMATA ISLAM”
“Huh, mama, kok beliin buku seperti ini, judulnya aja udah aneh.”
“Kamu baca dulu gih, baru komentar. Kebanyakan komentar kamu.” Ucap mama sembari masuk ke kamar tidurnya.
Beberapa hari berikutnya aku terus membaca buku yang mama belikan. Kapan pun dan di mana pun, bagai orang yang nggak kenal waktu. Makan aja, kalau nggak pengasuhku mengingatkan, aku nggak akan ingat makan.


Akhirnya waktu masuk ke sekolah di mulai. Aku tetap menyelesaikan bacaanku. Kemana pun buku itu selalu kubawa. Bahkan ketika di tengah-tengah proses belajar mengajar. Saking asyiknya, aku sampai lupa segalanya. Hingga suatu ketika aku ditegur guru agamaku.
“Kamu sedang membaca buku apa itu Pipit? Kamu tidak memperhatikan ibu menjelaskan, kalau kamu tidak paham dan tidak bisa saat ujian gimana?”
Guru agamaku marah ketika mengetahui aku lalai memperhatikan penjelasannya di depan kelas. Beliau mendekati bangkuku dan mengambil buku bersampul hijau yang berusaha aku sembunyikan di dalam laci.
“Sini bukunya, kasih ke ibu. Biar ibu ambil.” Ucapnya. Mendengar itu, aku makin nggak mau memberikan buku itu ke guru agamaku, aku nggak mau. Buku ini sangat asyik, isinya seru, aku mau menyelesaikan membacanya dan mau aku jadikan koleksiku.
“Jangan bu.” Ucapku memelas. Tetapi guru agamaku memaksa, sampai akhirnya aku menyerah. Buku itu diambil beliau, dan ketika beliau membaca judulnya, terlihat raut wajah beliau berubah. Dengan tersenyum, beliau memintaku menceritakan keseluruhan isi buku itu di depan kelas.
Salah seorang temanku ada yang berteriak bertanya, “Itu buku apa bu?”
“Judulnya ‘pacaran dalam kacamata Islam’, cocok untuk kalian yang lagi puber.”
“Huuuuuuuuuuuuuuuu….” Kelas menjadi riuh. Beberapa temanku malah ada yang meminta ijin meminjam buku itu. Aku hanya tersenyum. Teman-teman juga banyak yang meminta aku menceritakan semua isi buku itu di depan kelas.
Saat itulah pertama kali aku maju ke depan kelas untuk menceritakan semua yang aku tahu tentang buku itu. Pertama kali aku merasakan menjadi narasumber yang tahu segalanya. Menjadi orang yang berwawasan luas karena diminta untuk berbicara di depan orang banyak. Ketika SD atau SMP, aku memang udah pernah maju ke depan kelas, hanya untuk bernyanyi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan guru saat tes lisan, tetapi kali ini berbeda. Aku maju karena aku dianggap berwawasan. Sejak saat itu aku menjadi percaya diri, dan aku yakin, aku bisa karena membaca

Thanks mama.


***
“Tumben nonton tv, biasanya sibuk nulis di dalam kamar Pit?” ucapan itu serasa sebagai suatu sindiran untuk Pipit. “Emang kenapa? Aku boleh dong nonton tv.” Ucap Pipit. Temannya mengangguk. “Kamu suka banget nulis Pit?”
“Dari dulu Ning, aku nggak punya teman, aku kesepian, dan dengan menulis, aku seolah menemukan sosok teman sejati, teman yang mau mendengarkan ucapanku, apa pun itu, sedih atau seneng.”
“Emang apa sih yang kamu rasakan ketika kamu menulis?”
“Tenang.”
“Cuma itu?”
“Aku mencari ketenangan dengan menulis Ning.”
“Trus kenapa kamu curhat dengan ibumu tetapi malah dilampiaskan ke kertas, kenapa nggak langsung menelpon ibumu.”
“Dia pasti sibuk Ning, aku nggak mau mengganggu waktunya.”
Ning menawarkan Pipit cemilan yang baru dibelinya. “Kamu menerima keadaan ibumu yang super sibuk itu?” Pipit menatap mata Ning dalam.
“Nggak ada anak yang mau kehilangan ibunya sendiri. Memiliki ibu seorang wanita pekerja yang super sibuk, sama artinya harus siap-siap untuk keadaan terburuk yang akan kita hadapi, yaitu kesepian.”
“Maaf ya Pit kalau pertanyaanku membuat kamu sedih.”
“Nggak apa Ning, kamu nggak salah.”
“Kalau aku udah nikah dan punya anak, aku nggak mau ah, jadi wanita karir. Kasihan anak-anakku.” Ucap Ning sembari tiduran di lantai. “Jangan gitu, setiap orang tua punya caranya sendiri-sendiri dalam mendidik anak, walau bagaimanapun, aku tetap bangga dengan ibuku, dia lah yang berhasil menuntunku menemukan sesuatu yang cocok untukku. Karena dia, sekarang aku jadi senang membaca buku, dengan begitu aku banyak mendapat pengetahuan.”
Ning diam.
“Trus kapan kamu mau kasih kertas-kertas yang berisi curhatan kamu itu ke ibumu?”


Pipit tampak mengangkat bahunya, tanda tak tahu.
“Kamu nggak mau pulang ke Sumatra?”
“Enggak ah, aku mau di sini aja. Di Jogja, aku merasa hobiku dapat tersalurkan.”
“Kamu nggak mau ketemu ibumu?”
“Aku udah terbiasa ditinggal ibuku, jadi sekarang udah nggak kaget lagi”
Perbincangan terhenti dan yang terdengar hanyalah celotehan-celotehan tokoh yang ber-acting di layar kaca.
“Eh Ning, bener kan umur manusia itu nggak ada yang tau?”
Ning mengangguk. “Emang kenapa? Kamu mau minta maaf ke ibumu sebelum terlambat?”
Pipit menggeleng. “Aku boleh minta tolong ke kamu nggak?”
“Apa itu?”
“Kalau umurku nggak panjang, tolong kasih kertas-kertas itu ke ibuku ya? Kamu kirim aja ke alamat rumah ibuku.”
“Kamu kok ngomong gitu?”
“Hanya menitipkan amanat ke kamu aja kok.”

Tidak ada komentar: