Senin, 18 Juli 2011

Hasil Liputan: MENJADI TUKANG PARKIR DEMI HARGA DIRI

           Dengan langkah kaki sedikit terburu-buru, aku ke luar dari kantor pos. Aku terperangah ketika mendapati tukang parkir kantor pos ini adalah seorang wanita. Dari wajahnya, mungkin beliau berumur sekitar 40 tahunan. Rambutnya hitam (sepertinya karena dicat) lurus dan badannya proporsional. Sambil mendekat ke motorku diparkiran, aku menyapa beliau, “Baru kali ini saya bertemu tukang parkir cewek, seorang ibu-ibu pula, hebat banget” ucapku ketika itu sembari mengeluarkan uang seribu dari dompet.
Beliau menyambut sapaanku dengan ramah. Senyumnya manis, wajahnya pun berseri. Dalam hati aku menyayangkan, beliau lebih pantas jadi wanita kantoran. Dari gumamanku itu, kemudian aku bertanya lebih lanjut ke wanita itu. “Ibu punya putra?”
           Beliau menceritakan, punya 3 putra. Aku pun memuji beliau yang rela bekerja “begini” demi anak-anaknya. Kemudian tanpa disangka wanita itu menyambut pujianku dengan cerita kehidupannya. “Anak saya Mbak, yang pertama kuliah, yang kedua SMK, dan ketiga SMP Mbak.” Mendengar ucapan beliau, aku makin tertarik bertanya. Kami pun bersalaman, saling memperkenalkan nama masing-masing. Namanya adalah Meri.
          Waktu berjalan tanpa terasa karena Bu Meri dengan senang hati menceritakan kehidupannya denganku. “Ya begini lah Mbak, hidup itu harus disyukuri.” Kemudian aku bertanya dimana rumahnya, ternyata beliau tinggal di sekitar Piyungan, Jogjakarta. Cerita beliau sangat panjang, tapi aku nggak bosen mendengarnya karena begitu banyak pelajaran yang aku ambil.          Aku cerita sedikit kalau aku udah menikah, tinggal bersama suami di sekitar Jalan Magelang, dan sekarang masih kuliah di Universitas Ahmad Dahlan. Beliau tersenyum, kemudian bertanya seputar pernikahanku. Aku menjawab dengan senang hati. Kemudian beliau membuka kembali cerita tentang kehidupannya. Tanpa disangka ternyata beliau adalah seorang istri tentara. Aku kaget bukan kepalang. Beliau juga cerita ternyata bapaknya tentara. Dalam hati aku berucap, Bu Meri hebat banget, beliau berlatar belakang keluarga tentara, punya suami pun tentara tapi mau jadi tukang parkir.           Aku terus memuji beliau dan wajahnya tampak semakin ceria. Bukan karena pujianku, tapi yang aku tangkap dari bahasa raut wajahnya, cerianya beliau lebih karena dukunganku. Karena ternyata awalnya beliau malu jadi tukang parkir, ketika aku terus memuji kehebatannya, beliau tentu merasa mendapat dukungan positif.          Aku bertanya kenapa beliau menjadi tukang parkir. Ternyata Bu Meri memilih membalaskan sakit hatinya terhadap suami dengan cara menjadi tukang parkir.Alasan Bu Meri membalaskan sakit hatinya karena suami beliau mempunyai WIL alias Wanita Idaman Lain.
“Mengapa harus dengan menjadi tukang parkir?” batinku. Kemudian beliau terus menceritakan panjang lebar mengenai kehidupannya yang ternyata nggak pernah jauh dari ujian. “Sampai saya sudah hampir bosan dengan ujian-ujian itu Mbak, makanya saya pasrah aja, apa pun yang terjadi, dihadapi aja. Untungnya saya masih punya rasa syukur.” Ucapnya kemudian.         “Kenapa nggak mencari pekerjaan lain bu?” tanyaku kemudian. “Saya pernah menjadi karyawan toko, tapi kok jam kerjanya padat, saya kasihan dengan anak-anak saya di rumah. Kalau menjadi tukang parkir, waktu saya sedikit longgar.”         Batinku sebenarnya dari tutur kata dan gerak-gerik bu Meri menunjukkan bahwa beliau bukanlah wanita yang introvert, beliau kelihatan lugas dalam bergaul. “Kalau tentara itu, biasanya ada perkumpulan istri-istrinya kan bu?”
         “Oh iya Mbak, kebetulan saya bendahara untuk perkumpulan yang Mbak maksud itu, dan saya juga anggota klub voli untuk istri-istri tentara, terkadang saya juga ikut aerobic dengan istri-istri tentara. Yaa…mengisi waktu luang, tetapi itu dulu Mbak. Ketika semua masih baik-baik aja, ketika dulu saya masih tinggal di kompleks tentara di Bogor. Tapi sekarang udah enggak Mbak, walaupun saya tetap masih bergabung di perkumpulan istri-istri tentara.” Ceritanya.          Kemudian bu Meri menceritakan kejadian pilu beberapa waktu lalu. Di waktu yang bersamaan ketika itu, ayah bu Meri sakit-sakitan dan suaminya selingkuh dengan wanita lain. Bu Meri memutuskan pindah dari Bogor ke Jogja demi merawat ayahnya yang sakit-sakitkan. Perpindahan itu “terpaksa” beliau lakukan karena menurut cerita bu Meri, kakak-kakaknya tidak peduli dengan keadaan orang tua mereka. Dari penuturan bu Meri, ketika keadaan sulit yang dihadapinya itu serasa nggak ada solusi, dia memutuskan untuk “melepaskan” atribut keislamannya. Beliau memutuskan hidup jauh dari ibadah kepada Allah. Padahal beliau lulusan salah satu pondok pesantren ternama di Jogja, tapi beliau tidak memperdulikan latar belakang pendidikannya itu. Ketika teman-teman pengajiannya mengingatkan, mengapa bu Meri melepaskan pakaian syar’I, beliau hanya menjawab, saat ini beliau ingin begini, tapi suatu saat beliau pasti kembali lagi.                           Syukurnya teman-teman beliau tidak men-judge berlebihan terhadap kekeliruan beliau. Bisa dibayangkan, gimana rasanya udah jatuh ketimpa tangga, udah suami selingkuh ditambah teman-teman menjauh pula. Sampai saat ini beliau masih tetap “melepaskan” sementara pakaian syar’i-nya, tapi untuk meninggalkan ibadah, udah nggak beliau lakukan lagi. Bu Meri bilang kalau nggak shalat, nggak ngaji, rasanya makin didorong oleh setan. Bawaannya setiap ketemu suami pasti pengen marah. Kemudian beliau pun berkesimpulan, gimana suami mau betah di rumah kalau setiap bertemu selalu marah-marah. Aku pun mengangguk.            Setelah kejadian itu, beliau kembali tekun beribadah. Katanya dengan shalat tahajud dan mengaji, masalah jadi ringan. Beliau selalu mengingat terus hadis yang berbunyi, Allah itu nggak akan mungkin memberi cobaan di luar batas kemampuan umatNya. Berpegang pada hadis itu, beliau menjalani hidup dengan yakin pada kebesaran Allah. Keadaan ekonomi keluarga yang morat-marit, membuat bu Meri harus mengambil langkah untuk membantu suami walaupun suami beliau selingkuh dan tak pulang ke rumah. Akhirnya profesi tukang parkir yang dipilihnya. Bagiku, bu Meri benar-benar wanita tangguh. Beliau memilih menjadi tukang parkir, tanpa mau meninggalkan suaminya yang selingkuh itu. Beliau bercerita, padahal Ibunya bu Meri meminta anaknya untuk bercerai dan meninggalkan laki-laki itu, tapi bu Meri nggak mau. Beliau berkeyakinan kalau perceraian itu adalah sesuatu yang dibenci Allah. Jadi sesulit apa pun permasalahan rumah tangganya, akan terus beliau hadapi.            Sampai akhirnya beliau bertutur, “Tapi saya senang Mbak, soalnya suami saya udah kembali dan meminta maaf dengan saya, dia juga meninggalkan kebiasaan merokoknya.” “Kalau hal terburuk sampai terjadi dengan ibu, saya yakin, suami ibu yang akan sangat kehilangan istri seperti ibu ini.” Kulihat wajah bu Meri tersenyum senang. “Saya merasa juga begitu Mbak, makanya saya nggak mau memilih jalan perceraian. Saya tahu kalau itu hal yang sangat dibenci Allah. Di tengah kepasrahan, saya pun memilih untuk ‘mandiri’, sementara waktu saya menghilangkan kebencian di hati saya kepada suami Mbak, saya mencoba ikhlas, walaupun sangat sulit. Saya memilih mempertahankan harga diri saya dengan bekerja seperti ini Mbak. Walaupun harus sembunyi-sembunyi.” “Sembunyi-sembunyi dari siapa bu?” “Saya takut ketahuan dengan teman-teman suami, kan nggak boleh istri tentara bekerja seperti ini Mbak.” Aku mengangguk. “Saya sempat bertemu dengan teman bapak di sini Mbak, tapi saya langsung berpura-pura ke masuk ke kantor pos, jadi beliau kan tak tau kalau sebenarnya saya seorang tukang parkir. Anak saya yang paling kecil pun nggak tau kalau ibunya menjadi tukang parkir.” “Selama ibu bekerja sebagai tukang parkir ini, ada nggak kejadian aneh yang ibu alami?” “Kejadian aneh apa ya Mbak?” bu Meri tampak mengingat-ingat. “Oh ada Mbak, ketika itu ada seorang bapak yang ‘menggoda’ saya Mbak, dia bertanya siapa nama saya, apa status saya.” “Trus Bu?” “Ya saya hanya membatin, masak wanita setua saya masih ada tampang-tampang perawan. Lagipula seburuk apa pun suami, saya tetap nggak mau selingkuh. Saya tau rasanya diselingkuhi dan saya nggak mau melakukan yang sama. Kasihan anak-anak saya, dan saya mencoba untuk melakukan yang terbaik yang saya mampu untuk membalas rasa sakit hati saya ke suami. Akhirnya semua terbukti Mbak, suami saya kan udah kembali.”               Itulah hasil kesabaran beliau. Perlakuan yang sangat tidak mengenakkan dari suaminya dan selingkuhan suaminya dibalas dengan perlakuan yang sangat baik dari bu Meri. Wanita tabah itu tetap menerima suaminya apa pun keadaannya dan ketika anak dari selingkuhannya dirawat di rumah sakit, beliau tetap datang menjenguk, walaupun anak-anak kandung bu Meri melarang keras. Sekarang suami bu Meri pun semakin giat beribadah. Bu Meri menasehati, manusia hidup itu memang benar-benar harus sabar dan percaya dengan Allah. Percuma mau “berontak” tapi kalau belum diijinkan Allah, masalah yang dihadapi belum juga akan menemukan solusi.


Depan kantor pos Bulak Sumur, Jogja6 Juni 2011Salam cinta untuk Bu Meri.


Tidak ada komentar: