Kamis, 19 Januari 2012

cerpen:Kucinta Kau dan Kubercinta dengannya




Risa memang bisa memejamkan matanya, tetapi otaknya tetap beraktivitas. Banyak masalah yang menggelayuti benaknya. Risa hanya berguling-guling gelisah di atas ranjang, ketika itu masih jam 10 pagi, rasa kantuk yang teramat sangat karena semalaman begadang tiba-tiba menghilang. Risa keluar dari kamar, dengan pakaian tidurnya dia duduk di teras. Tak lama kemudian, asap rokok mengepul dari mulut. Tak dihiraukan bahaya rokok bagi janinnya. Pikirannya kembali melayang ke masa silam. Ketika awal perkenalan dengan Rudi.


***
Hari itu hujan turun dengan deras, petir menyambar-nyambar seolah bangga telah menggusarkan hati manusia. Di beberapa daerah, hujan menyebabkan banjir yang tak terkendali. Bumi semakin tua dan kacau. Kacaunya cuaca belakangan ini seolah mewakili kacaunya hati Risa. Dia kesal bukan main setelah dimarahi habis-habisan oleh ibu mertuanya.
“Kamu ini, dasar menantu nggak tau malu. Aku heran mengapa anakku mencintaimu, kamu hanya membawa petaka bagi keluarga ini!” ocehan ibu mertuanya itu tentu membuat hati Risa berapi-api, memendam amarah. “Kalau bukan karena kau ibu suamiku, akan kubunuh kau.” Batin Risa yang seolah tak memperdulikan ibu mertuanya, dia tetap saja berselancar di jejaring sosial dunia maya.
Ketika itu ibu Nur marah besar. Putra kesayangannya, Doni baru setahun menikah dengan Risa, tetapi rumah tangga anaknya itu bagai terkena kutukan. Awal pernikahan, ibu Nur melihat Risa sebagai gadis yang baik, layaknya gadis kebanyakan. Doni dan Risa dahulu satu angkatan, mereka menikah ketika lulus kuliah. Setelah menikah, Risa dibawa dari kota kelahirannya, Semarang untuk tinggal di rumah orangtua Doni di Jogja. Doni bekerja sebagai seorang teknisi di salah satu rumah sakit di Jogja dan Risa tetap di rumah sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai teman ibu mertuanya. Bapak Doni pergi meninggalkan ibunya sekitar 5 tahun lalu, dan kabar yang beredar mengatakan bahwa dia pergi untuk menikah dengan perempuan lain. Itulah salah satu alasan, Doni mengajak Risa untuk tinggal di rumah ibunya.
Tetapi semua di luar dugaan, tabiat asli Risa baru diketahui setelah Doni dan Risa menikah. Sebelum menikah, mereka berpacaran selama setengah tahun, Doni tak tahu kalau Risa memiliki kebiasaan yang dianggap ibunya sangat tidak baik, merokok.
“Kamu ini seperti wanita nakal saja!” ucap ibu Nur ketika mendapati Risa merokok di teras. “Jangan buat malu keluargaku, kalau mau merokok, di WC saja sana.” Bentak ibu Nur sekali lagi dan kemudian bergegas ke pasar.
Setiap hari, selalu ada ocehan dan omelan yang keluar dari mulut Ibu Nur. Doni tak bisa berbuat banyak, dia tak membela istrinya tetapi juga tak mendukung sikap amarah ibunya. Padahal Doni mengetahui bahwa ibunya bukanlah wanita pemarah, tetapi semenjak ditinggal kabur bapak, dan mendapat menantu “luar biasa” seperti Risa, ibunya jadi lebih sering marah.
“Kamu ini lemah banget, mbok kamu kasihtau ibumu jangan marah-marah tiap hari, sudah tua kok kerjanya marah terus.” Risa meminta Doni untuk bersikap tegas dengan ibunya. Risa tak menyukai sikap Doni yang tak berpendirian itu.
“Kamu harusnya paham dengan ibuku, dia kurang nyaman dengan sikapmu dan kebiasaan burukmu itu.” Doni menasehati istrinya. “Aku kan sudah bilang dulu sebelum kita menikah, aku punya kebiasaan buruk, tapi kamu nya yang nggak mau tahu, kamu bilang kamu pasti akan menerima apa pun aku, mau gimana pun aku, pokoknya apa adanya aku, tapi nyatanya sekarang. Kamu malah menyalahkan aku.” Risa balas membentak suaminya.
Hari itu dia bisa marah besar dengan suaminya karena ibu mertuanya sedang ke luar kota, mengunjungi adiknya. “Aku nggak nyangka kalau kebiasaan burukmu itu lebih dari gadis kebanyakan, selama ini aku lihat kamu baik, sikapmu sopan, dan kamu selalu menyebut-nyebut nama tuhan, aku kira kamu itu religius, walaupun belum berjilbab.”
“Hah, itu salahmu sendiri, lagian aku merokok karena memang terbiasa sejak SMA, gara-gara tak sengaja mencoba, makanya jadi kecanduan, lagian apa salahnya perempuan merokok, ini jaman modern.”
Doni memilih diam, bukan berarti dia menerima alasan Risa. Walau bagaimanapun keadaan istrinya, dia mencoba untuk menerima dengan ikhlas. Sampai akhirnya, keputusan berat itu harus diambil, Risa tak betah lagi tinggal dengan ibu mertuanya, dan Risa mau mengontrak rumah. Doni pun menyetujui usul Risa yang sebelumnya telah dipikirkan matang-matang. Doni beralasan kepada ibunya bahwa tempat kerja Doni jauh dari rumah ibunya, dia harus mencari kontrakan yang lebih dekat. Dia juga berjanji untuk setiap dua minggu sekali menjenguk ibunya.


***
Rumah kontrakan yang didapat Doni hanya memiliki sebuah kamar, sebuah dapur kecil, dan sebuah ruang tamu. Risa tak masalah, pada dasarnya dia tak menolak diajak untuk hidup menderita, toh ini baru langkah awal dalam perjalanan rumah tangganya, jadi wajar kalau semua masih serba susah.
“Terima kasih sayang, akhirnya aku bisa tenang juga.” Ucap Risa sembari mencium pipi suaminya, mesra. Doni menyambut kecupan itu dengan sikap mesra pula. Barang milik Doni dan Risa tidaklah terlalu banyak, mereka tak butuh waktu dan tenaga ekstra untuk merapikan barang-barang.
“Sayang, kamu mau makan apa?” tanya Risa. Dia berniat ingin memasak makanan spesial untuk suaminya. “Ayam balado saja sayang!” ucap Doni sembari merapikan baju ke dalam lemari. “Sayang, udah dzuhur, kita shalat dulu, baru kamu masak ya.” Ajak Doni kepada istrinya. Setelah berwudhu, mereka kemudian melaksanakan shalat berjamaah.
Doni menatap istrinya yang sedang berdoa setelah shalat. Wajahnya tampak manis dengan balutan mukena putih. Sebenarnya sudah sejak pertama menikah, Doni ingin membimbing dan mengajak istrinya untuk segera menutup aurat, tetapi keinginan itu belum juga terkabul. “Sayang, kamu cantik deh.” Ucap Doni tersenyum kepada istrinya. Mendengar ucapan suaminya, Risa yang sejak tadi berdoa sembari menutup mata, kemudian menatap wajah suaminya. “Wah, tumben kamu memuji begitu, biasanya kamu bilang aku ini jelek.” Sindir Risa dengan nada bercanda. “Kamu nggak berniat memakai kerudung sayang?” tanya Doni kemudian.
“Hah? Kerudung?” Risa kaget. Doni mengangguk pasti. “Aku belum siap Don.” Ucap Risa sembari melepaskan mukenanya dan keluar kamar menuju dapur. Doni bergegas menyusul istrinya. “Kesiapan itu kan dari hati sayang, hati siap karena kita telah berniat. Makanya kamu niat dulu untuk berjilbab, kemudian langsung laksanakan, nggak perlu menunggu. Nanti setan semakin kuat menggoda.” Doni meyakinkan istrinya.
Risa tak menanggapi ucapan Doni. Dia membayangkan kalau dia sedang merokok sementara kepalanya ditutupi kerudung. Entah bagaimana reaksi orang yang melihatnya.
“Ris, kamu kok melamun?”
“Ah, enggak, aku hanya lagi serius masak aja.”


***


Setelah dua minggu tinggal di rumah kontrakan, siang itu datang beberapa mahasiswa yang ternyata baru mengontrak rumah di samping rumah kontrakan Risa. Ada 5 orang mahasiswa. Mereka satu kampus tetapi berbeda fakultas. Beberapa kali Risa melihat kegiatan mereka di rumah kontrakan, ketika Risa sedang menjemur pakaian. Maklum saja, jemuran baju miliknya juga merupakan milik rumah kontrakan di sebelahnya. Kalau dulu, Risa bisa memakai jemuran itu sepuasnya tetapi sekarang harus berbagi dengan mahasiswa-mahasiswa itu.
Nggak perlu waktu lama untuk Risa bisa mengenal mereka satu per satu. Tak ada kecanggungan antara Risa dan kelima mahasiswa itu. Hal itu mungkin karena pembawaan Risa yang supel dan tidak membeda-bedakan teman perempuan atau teman laki-laki.
Melihat keakraban istrinya dengan para mahasiswa di sebelah rumah, Doni tak menaruh curiga. Walaupun sempat terbersit dugaan negatif, tetapi segera dihapus Doni dugaan-dugaan buruk itu. Dia percaya dengan istrinya dan tak mungkin Risa bermain gila dengan anak-anak itu.
Di antara kelima mahasiswa, Risa paling akrab dengan Rudi. Dia mahasiswa semester 8. Risa dan Rudi bisa akrab karena kesamaan pola pikir. Risa sering bercerita tentang kesehariannya kepada Rudi, begitu juga sebaliknya. Ternyata Risa baru mengetahui bahwa Rudi merupakan ketua himpunan mahasiswa di fakultasnya.
“Rudi itu ternyata aktivis loh Mas, dan kami berniat mengadakan kegiatan untuk remaja-remaja di kampung ini.” Ucap Risa ketika itu kepada suaminya. Mendengar cerita Risa, Doni ikut mendukung dan hilang sudah pikiran negatif dari benak Doni.
Pergulan Risa dan Rudi semakin akrab. Mereka tak canggung pergi berdua, walaupun tak seizin Doni. Risa merasa bahwa Rudi itu adiknya, bukan orang lain, jadi kenapa harus izin suaminya kalau hanya mau pergi ke suatu tempat, toh mereka tidak menginap bersama.
“Kak, kenapa kakak dan bang Doni belum punya anak?” tanya Rudi ketika itu. Rudi bukan anak Jogja asli, makanya dia canggung memanggil Risa dengan sebutan “mbk” dan Doni dengan sebutan “mas”.
“Ah, kamu ini jangan bertanya begitu, aku nggak tau kenapa belum juga memiliki anak.”
“Mungkin kurang giat kali kak.” Sindir Rudi sembari tertawa. Mereka berdua sedang istirahat duduk di serambi masjid. Baru saja mereka mengadakan kegiatan untuk remaja masjid kampung situ.
“Ah, kalau usaha, udah giat dek, tapi hasilnya belum ada.” Ucap Risa kemudian. “Ya..ya. aku percaya, tiap malam aku mendengarnya.” Tawa Rudi pecah seketika. “Huuss, jaga mulutmu itu dek” Risa mengingatkan. “Ah, tak apa Kak, kita sama-sama dewasa, pahamlah aku dengan yang itu.” Ucap Rudi dengan lagak seperti lelaki dewasa.
“Ah, kadang-kadang, aku masih meragukan ucapanmu itu, tingkahmu masih seperti anak-anak begitu.”
“Kayaknya, kakakku ini perlu bukti.”
“Ah, sudahlah, ayo kita pulang, mulutku udah masam ingin merokok, nggak pantas aku merokok di masjid.”
“Tau malu juga lah kakakku ini, di rumah masak apa kak? Aku lapar.”
“Yuk kita makan di rumah, tadi pagi aku masak ayam goreng dan sayur asam. Eh, tapi kamu nggak kuliah?”
“Hahahhaaa…hanya aku seorang kak yang mendapat keberuntungan itu. Dosenku ke luar negeri, kosonglah kelasku, anak-anak yang lain, kasian mereka musti kuliah.” Rudi kemudian membonceng Risa pulang ke rumah.


***


Assalamu’alaikum sayang, jangan lupa makan dan shalat dzuhur ya


Risa membaca pesan yang masuk ke hape-nya dengan hati bagai teriris pisau. Sakit sekali dan dia merasa sangat berdosa dengan suaminya. “Apa yang telah kau perbuat denganku, hah? Dasar lelaki biadab.” Bentak Risa. “Aduh kak, maafkan aku, aku khilaf. Aku nggak berniat melakukan itu.”
“Bodoh…hiks hiks…” Risa mencaci maki Rudi yang berdiri setengah telanjang di depannya.
“Kak, dengar dulu penjelasanku. Tadi kakak jatuh di kamar mandi, kakak pingsan, muka kakak pucat, mungkin kakak terlalu capek. Makanya aku gendong kakak ke kamar. Tapi….”
Risa masih menangis. Wajahnya merah padam menahan amarah. Dia merasa gemuruh yang luar biasa di hatinya. Dia telah berzina dan mengkhianati kepercayaan suaminya. Dia membawa laki-laki lain ke ranjangnya dan suaminya.
“Kak, apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku ini kak?” Rudi juga ikut panik.
“Aku….” Risa tak sanggup berucap apa pun. Hatinya bergemuruh hebat.
“Kau pergi dari sini, kau tinggalkan kontrakan itu, dan pergilah dari sini. Aku muak denganmu, kalau kau nggak pergi, kuseret kau ke penjara, dasar lelaki biadab.”


12 Nov 2011, Jogja



Tidak ada komentar: