Kamis, 19 Januari 2012

Cerpen: Cintaku Tak Berimbang


Yuli duduk di samping putrinya yang tertidur karena kelelahan, di samping putrinya tertidur pula suaminya, Beni. Yuli menatap di kedalaman wajah kedua manusia yang dicintainya itu. Yuli pun berucap, “Oh sayang, wajahmu mirip sekali dengan ayah. Kamu memang putri ayah, Din.” Sembari menatap bergantian wajah Dinda, putrinya dengan wajah Beni, suaminya. “Bunda sayang kamu Din.” Ucap Yuli sembari mencium kening putrinya, dalam dan tenang. “Bunda juga sayang ayah.” Kemudian Yuli mencium pipi suaminya. Yuli berhati-hati sekali menggerakkan tubuhnya agar mencapai wajah suaminya, Yuli khawatir membangunkan putrinya.
Dia kemudian bangkit dan hendak ke luar kamar. Sebelum keluar, tak lupa Yuli membereskan buku-buku Dinda yang berserak di lantai. Dibukanya buku-buku pelajaran sekolah Dinda. “Oh sayangku, kamu sudah 14 tahun.” bisik Yuli dalam hati. Terbayang betapa waktu telah berjalan dengan sangat cepat. Baru beberapa waktu lalu, Yuli menikah dengan Beni, tetapi sekarang putri mereka sudah berumur 14 tahun. Yuli menyadari bahwa putrinya sedang menginjak masa remaja. Bagi seorang anak perempuan, melewati masa remaja itu tidaklah mudah. Wajar bila Yuli merasa khawatir dalam mendidik putrinya. Tantangan sebagai orangtua pastilah tidak mudah, terlebih lagi saat ini, dimana pergaulan remaja semakin tak terkendali.
Yuli bangkit dan bergegas menuju meja kerjanya. Leptop tetap menyala dan tugas-tugasnya telah menunggu. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang merangkap guru sekaligus novelis, tentulah tantangan Yuli lebih dari ibu rumah tangga biasa. Fokusnya terbagi untuk suami, anak, dan untuk masyarakat.
Sebelum menuliskan lanjutan novelnya kali ini, Yuli menuliskan sesuatu yang digunakannya sebagai kenangan hidupnya.


Teruntuk putriku sayang, Dinda Kurniawan


Sayang, kamu malam ini tidur dengan wajah berbalut letih
Hatimu kutahu pastilah sangat bersih
Kuingin mengisinya, mengisi dengan kasih
Kamu lebih dari seorang manusia yang lahir dari rahimku
Sampai kapanpun, kusayang kamu, peri kecilku
Kuharap kamu tahu itu
***
Yuli menyiapkan sarapan. Sengaja Yuli membuatkan nasi goreng seafood kesukaan Dinda. Walaupun dia tahu kalau suaminya alergi seafood. Jelas saja, Beni berkomentar heboh melihat surprise istrinya pagi ini. “Sayang.” Beni mencium pipi istrinya. “Ya Allah, sayang, ada apa ini?” Beni melihat dengan kaget tiga buah piring berisi nasi goreng di atas meja. Yuli hanya tertawa kecil.
“Wah, bunda udah masak sarapan nih, tumben buat nasi goreng.” Dinda keluar dari kamarnya dengan seragam lengkap. Wajahnya manis berbalut jilbab putih. “Kamu kok bilang gitu sih sayang?” Yuli pura-pura merajuk. “Biasanya kan roti Bun, maaf deh.” Dinda mencium pipi bundanya. “Ini jatah kamu Din, nggak mungkin ayah makan nasi goreng ini.” Ucap Beni sembari menyeruput kopi hangatnya. “Loh kenapa Yah?”
“Nih lihat!”
“Wah, ada seafood, asiiik!!” Dinda melonjak kegirangan. Ceria sekali wajahnya, manis sekali tawanya, mentari pagi menambah aurah keindahannya. “Tenang Yah, bunda udah menyiapkan khusus untuk ayah.”
Dinda dan Beni tampak penasaran, menanti kejutan dari Yuli. “Nih, telurnya udah matang. Nah untuk ayah, nasi goreng telur mata sapi dengan ati ayam. Hhhmmm…nyammmii…”
“Wah, bunda hebat. Istriku hebat.” Ekspresi Beni.
Suasana pagi yang hangat di meja makan, membuat spirit tambahan untuk Beni menjalani harinya yang penuh dengan tuntutan pekerjaan.
“Bun,…” nyam-nyam-nyam “hari ini aku ada tugas presentasi di depan kelas loh” nyam-nyam “wah, aku ingin seperti bunda, bisa bicara di depan orang banyak.” Ucap Dinda terputus-putus karena mengunyah makanan di mulutnya. “Kalau ngomong, habiskan dulu makanan di mulutmu sayang.” Beni mengingatkan putrinya. Yuli tersenyum melihat tingkah lucu putrinya.
“Kamu pasti bisa, asalkan kamu serius belajar.”
“Iya bun, Dinda selalu serius belajar kok, mudah-mudahan Dinda bisa jadi pembicara seperti Bunda.”
“Amiin…” ucap Yuli dan Beni berbarengan.
***
Beni tampak mengutak-atik CPU rusak milik pelanggan toko tempat Beni bekerja. Telah dua tahun Beni bekerja di toko komputer itu sebagai teknisi. “Ben, masih sibuk?” tiba-tiba muncul Mas Rahmat. Dia senior Beni di toko. “Ah, enggak kok Mas.”
“Nih, ada makan siang.”
“Wah, tumben nih, ada apa?”
“Tadi si Dian bawa beberapa bungkus nasi. Katanya sih syukuran, tapi nggak tau syukuran apa.”
Nasi bungkus yang diterimanya, diletakkan di atas meja dulu, dan Beni kembali mengutak-atik CPU. “Wah Ben, ini CPU udah lama di sini, hubungi aja user-nya, dia mau ambil barangnya ini atau tidak, daripada bikin sampah di toko.” Saran Mas Rahmat. “Iya Mas, udah aku hubungi, katanya sih lusa baru mau ambil. Padahal ini CPU udah OK.”
“Eh Ben, anakmu sudah kelas berapa sekarang?”
“Kelas 2 SMP Mas, wah lagi puber-pubernya.” Jawab Beni. “Istrimu sekarang kerja dimana?”
“Dia ngajar di SMA Mas, tapi itu sih hanya kerja sampingan, hanya sebagai guru honor, soalnya fokus dia itu menulis novel Mas.”
“Istrimu hebat ya, penulis terkenal. Sering mengisi seminar kesana-sini.” Puji Mas Rahmat sembari mengelus-elus jenggotnya yang tipis. “Alhamdulillah Mas, tapi kan penulis baru, jadi belum hebat bangetlah Mas.”
“Kamu ini memang selalu merendah.” Ucap Mas Rahmat dengan tersenyum dan kemudian keluar ruangan teknisi.
***
“Anak-anak, apa yang kalian alami pagi ini?” tanya Yuli kepada murid-muridnya di kelas. “Biasa aja Bu, nggak ada yang penting” jawab salah seorang murid laki-laki yang duduk di sudut kanan belakang. “Selain itu?”
Suasana hening. “Kamu, Ber” tanya Yuli kepada murid perempuan bernama Berni. Murid yang ditunjuk langsung kaget karena memang dari awal dia tidak memperhatikan penjelasan Yuli di depan kelas. “Hhmmm….” Berni tampak kebingungan. “Lain kali, jangan main henpon terus.” Yuli menegur dengan pandangan menunjukkan ketegasan. “Maaf bu.”
“Nah anak-anak. Hari ini kita akan membahas soal cerpen.”
Anak-anak memperhatikan Yuli yang berbicara di depan kelas dengan antusias. “Siapa yang suka baca cerpen?” beberapa anak tampak mengacungkan jarinya.
Yuli menjelaskan apakah yang dimaksud cerpen, unsur-unsur cerpen, dan bagaimana menulis sebuah cerpen yang bagus. “Tulis dari pengalaman apa yang terdekat dengan kalian, supaya menulis cerpennya jadi mudah.” Anak-anak mengangguk dan ada pula yang masih terbengong.
***
“Sayang, gimana kalau kita menyewa pembantu?” tanya Yuli malam itu sembari tiduran di samping suaminya. “Wah Bun, bagus tuh, kalau ada pembantu kan Bunda nggak perlu capek-capek ngerjain kerjaan di rumah.” Celoteh Dinda sembari mengerjakan tugas sekolahnya di meja belakang di samping tempat tidur. “Nah, Dinda sudah setuju, ayah gimana?” Yuli tersenyum senang mendengar tanggapan anaknya.
“Ayah nggak setuju.”
“Loh, kok ayah gitu sih? Kan bunda kasihan Yah.” Dinda membela Yuli. Kini Dinda beralih duduk di samping Yuli. “Gini ya Dinda sayang, kalau ada pembantu, ntar pahala bunda diambil pembantu dong.”
“Maksud ayah apa?” Dinda bingung.
“Seorang ibu itu kan pengabdiannya di rumah, jadi kalau pakai pembantu, ntar pahala bunda diambil pembantu.”
“Ah, Dinda bingung Yah.”
“Gimana bun?” tanya Beni ke Yuli. Wanita itu diam. Dia tahu kalau suaminya nggak menyetujui usulnya. Dalam hati, Yuli memberontak, kenapa harus nggak boleh, bukannya kalau memang dengan adanya pembantu, dia lebih produktif kan malah lebih bagus.
***
“Sayang, aku mohon, agar kita pakai jasa pembantu. Pliisss sayang.” Yuli memohon. Malam itu Dinda udah tidur di kamarnya. Yuli dan Beni mengobrol di ruang tengah. “Istri itu kan pengabdiannya di rumah Yul, kamu mau kalau pahalamu diambil pembantu?” Beni bertanya dengan menatap mata Yuli, dalam.
“Kalau bicara soal pahala, aku tentu nggak mau kalau pahalaku diambil orang lain, tapi kalau dengan adanya pembantu, kita malah bisa lebih produktif, kenapa enggak.” Yuli berusaha mempertahankan pendapatnya. Beni masih diam, tetapi kini pandangannya beralih dari wajah istrinya ke buku yang sedang dibacanya.
“Ben…” Yuli mengubah panggilan sayangnya ke suami, dari “sayang” ke “Beni”. Beni menatap istrinya. “Sayang, aku nggak mau kamu lalai dengan tugasmu sebagai istri.”
“Tenang sayang, aku insya allah nggak akan lalai, dan kamu tenang saja, pembantu tidak akan menginap di rumah.”
“Kalau siang hari bagaimana? Kalau pas aku di rumah sementara Dinda dan kamu lagi di luar bagaimana?” suara Beni mulai meninggi. “Sejak pertama kamu bekerja di luar rumah, sudah aku wanti-wanti jangan sampai kamu melalaikan tugasmu sebagai seorang istri, dan lihat sekarang, kamu sudah mulai longgar soal peraturan yang kita buat sendiri.” Beni menatap Yuli dengan tatapan penuh ketegasan.
“Aku nggak mungkin melarangmu berkarya di luar rumah, tapi aku juga mohon pengertianmu, kalau aku juga punya keinginan menyangkut rumah tangga kita, dan aku nggak mau kalau kamu melanggar peraturan yang kita buat sendiri. kamu berbicara di depan orang banyak, mengajak mereka untuk berkomitmen dengan peraturan yang dibuat untuk konsisten menulis, tetapi kenyataannya, kamu sendiri melalaikan komitmenmu denganku.” Emosi Beni meledak.
Yuli masih belum bisa menerima pendapat Beni. Baginya, kalau bisa berkarya di luar rumah, bermanfaat bagi orang banyak, dan pekerjaan rumah dapat didelegasikan ke orang lain, kenapa tidak.
“Ben, aku ingin seperti ibuku Ben, yang bisa mandiri soal penghasilan, kalau begitu aku kan nggak perlu merepotkanmu lagi, kamu bisa bekerja dengan tenang, tanpa diburu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin banyak. Aku berusaha membantumu Ben, bukan aku egois, kenapa kamu nggak mau mengerti?” Yuli membalas pendapat suaminya.
“Ohh, jadi sekarang, kamu malah merendahkan pekerjaanku, aku tahu Yul kalau penghasilanku tidak sebesar penghasilanmu tetapi kamu harus ingat kalau aku ini kepala rumah tangga, kamu harus mengikuti apa yang aku sarankan untuk kebaikan rumah tangga kita.”
“Tapi istri juga punya hak untuk berpendapat Ben, kamu jangan kolot begitu.”
“Apa? Kamu katakan aku kolot? Hei Yul, kamu sadar tidak dengan ucapanmu itu?”
Yuli diam tetapi perasaannya penuh dengan amarah yang siap dimuntahkan kepada siapa lagi kalau bukan kepada suaminya. Tetapi coba ditahan oleh Yuli. Walaupun begitu, tatapan mata Yuli ke Beni tak bisa menipu Beni. “Aku tahu kamu nggak setuju dengan pendapatku, tapi aku harus bagaimana lagi menjelaskan ke kamu Yul?”
“Sepertinya kamu terlalu menganggap bahwa sosok istri yang ideal itu yang pengabdian total di rumah, aku nggak bisa seperti itu Ben, aku bisa tertekan. Aku ingin berkarya di luar, dan soal pembantu, apa salahnya kalau hanya membantu mencuci baju dan masak. Aku janji Ben, insya allah, aku nggak akan kebablasan. Aku akan menjadi istri yang kamu inginkan, aku akan mendidik putri kita. Lagipula kamu tahu sendiri, betapa Dinda bangga dengan ibunya yang bisa berarti untuk orang banyak, jaman sekarang, jarang loh Ben, ada anak yang bangga dengan orangtuanya.” Yuli berargumen panjang.
Beni diam.
“Toh, apa bedanya pembantu yang membantu memasak dan mencuci baju dengan jasa laundry dan penjual lauk siap masak? Selama ini terkadang kamu malah menyarankan aku membeli lauk di warung makan supaya aku nggak terlalu capek masak. Jadi kan sama saja Ben, tapi kalau kita pakai jasa pembantu pribadi, malah lebih terjamin, soalnya kita tahu dia masak dengan bahan yang baik dan halal atau tidak, dan sebagainya.”
Beni diam. “Bagaimana Ben?” Yuli menanti jawaban setuju dari suaminya.
“Baiklah Yul, kita pakai jasa pembantu.” Jawab Beni dengan lemah.
“Entah bagaimana caraku berbicara denganmu, aku selalu kalah berargumen.” Batin Beni yang kemudian kembali menekuri buku bacaannya.
Sementara Yuli dan Beni berdebat panjang, di dalam kamar, Dinda mendengarkan percakapan orangtuanya dengan seksama. “Ada apa dengan orangtuaku?” pertanyaan menari-nari di benak Dinda. Selama ini dia selalu melihat orangtuanya mesra, tak pernah berdebat hebat seperti sekarang. Masa awal usia remaja Dinda diwarnai dengan bayangan pertengkaran orangtuanya.


SELESAI
Jogja, 11 Nov 2011
pic from deviantart.com

2 komentar:

Anonim mengatakan...

alur ceritanya bagus, namun pada klimaksnya banyak pertengkaran....

diny_dinol mengatakan...

terima kasih atas masukannya...^^
ditunggu masukan utk tulisanku yang lain ya....