Kamis, 19 Januari 2012

cerpen: NUA




Ketika matahari hampir menduduki singgasana tertingginya, gadis itu baru terbangun. Pertama kali membuka mata, yang dilihatnya adalah manusia kecil yang tertidur pulas di sampingnya dengan pose yang menggemaskan layaknya anak balita. Nama gadis itu Nua, dan balita yang selalu diciuminya ketika bangun tidur adalah Nia, anaknya. Umur Nia sekitar 2 tahun, sementara Nua sekitar 19 tahun. Untuk ukuran seorang ibu, Nua tergolong ibu muda.
Ketika ke luar kamar, Nua melihat ibunya sedang memasak di dapur, pasti itu untuk sarapan mereka, Ibu, Nua, dan tak ketinggalan si kecil Nia. Nua adalah anak tunggal, ayahnya sudah meninggal dunia ketika Nua duduk di kelas 4 sekolah dasar.
“Lagi masak Bu?”
Ibunya tersenyum biasa. “Hhheeemmm…baunya enak banget” Nua memainkan hidungnya. “Jam segini baru bangun Nu?”
Nua duduk di depan tivi, menekan tombol ON di remot kontrolnya. Nua tak menjawab pertanyaan ibu, dia tau itu hanyalah retorika. “Semalam pulang jam berapa?” tanya Ibu yang mulai gelisah dengan anaknya yang belakangan kerap pulang malam, bahkan sampai ibunya tertidur, Nua belum juga pulang.
“Sekitar jam 11 lewat bu. Restoran lagi rame, kan malam minggu.”
Nua bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran yang cukup “punya nama” di kotanya, Jogja. “Kamu pulang malam terus. Kasian anakmu Nu.” Ibu menasehati sembari membuatkan bubur si kecil Nia, bubur tim.
“Nua juga mau pindah aja bu.” Ucap Nua sembari memakan kerupuk dan menonton acara tv pagi itu. “Udah dapat kerjaan baru?” tanya ibu memastikan. “Yaaa…lagi diusahakan bu.”
Nua tak bisa memilih pekerjaan di posisi enak dan di tempat yang bonafit. Dia hanya lulusan SMA. Selama ini Nua bekerja sebagai pelayan restoran atau sesekali menjadi SPG. Menjadi SPG, gaji yang didapatnya lumayan besar, per-hari mendapat 150ribu. Tapi yaaa SPG bukanlah pekerjaan tetap yang setiap hari pasti ada.

***
Nua lulus SMA dengan lancar, nilainya juga baik. Walaupun dari keluarga yang tak kaya, tapi Nua berniat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga, berusaha mengabulkan keinginan anaknya itu. Pendapatan sebagai seorang buruh cuci, tentu tak mungkin mencukupi kebutuhan Nua melanjutkan pendidikannya. Tapi semua diserahkan ke Yang Maha Kuasa. Ibu selalu berpesan pada Nua untuk jangan meninggalkan shalat tahajud dan dhuha-nya.
Sampai suatu ketika, datang seorang wanita setengah baya yang merupakan kerabat dari ayahnya Nua. “Saya Asma, sepupu suamimu.”
Ketika wanita bernama Asma itu mendatangi rumah mereka, ibu dan Nua kaget, karena mereka belum pernah mengenal wanita itu sebelumnya. “Saya baru tahu kalau suamimu sudah meninggal dunia. Karena selama ini saya menjadi TKI di luar negeri, ketika saya kembali ke Indonesia saya baru diberitahu.” Wanita itu menjelaskan dengan wajah yang tampak ramah. Wanita yang kemudian oleh Nua dipanggil “bude” itu memiliki senyum yang manis.
Setelah wanita itu menjelaskan siapa dirinya, kemudian ibu bertanya keperluannya mendatangi mereka. “Sebelum sepupuku menikah dengan kamu, dia berpesan kepadaku untuk terus menjalin silahturahmi kepada istrinya dan anak-anaknya kelak, tetapi sayang, ketika dia menikah, beberapa bulan kemudian aku pergi ke luar negeri dan dalam waktu yang lama. Sampai ketika aku memutuskan kembali ke Indonesia, aku mendengar kabar bahwa sepupuku telah meninggal dunia.”
“Sejak kecil aku akrab dengan sepupuku itu, dia pernah ikut tinggal di rumahku ketika orang tuanya harus pergi ke luar kota karena urusan tertentu.”
Panjang sekali wanita itu berbicara. Dia menjelaskan tentang suaminya, kediamannya di Jakarta, sampai ke anaknya yang ternyata juga anak tunggal.
“Beberapa tahun lalu, anakku meninggal dunia.” Ucapnya mengakhiri cerita panjangnya. Ibu dan Nua ikut bersedih melihat wanita itu sedih. Tetapi kemudian, “Aku pernah memiliki keinginan kuat untuk menyekolahkan anakku di Indonesia dengan uang yang aku kumpulkan bertahun-tahun menjadi TKI di luar negeri. Tetapi kini anakku telah meninggal, jadi aku mohon terimalah uang ini untuk biaya sekolah anakmu.” Wanita itu menyerahkan amplop ke ibu.
Ibu tak langsung menerimanya, malah ibu tampak sangat kaget dan kebingungan. “Kenapa uang ini harus diberikan ke aku?”
“Dulu, suamimu lah yang telah berusaha sekuat tenaga untuk membantu aku hingga dapat bekerja di luar negeri, karena suamimu aku dapat mengumpulkan uang ini, uang yang awalnya kuniatkan untuk membiayai sekolah anakku hingga setinggi-tingginya, tetapi kemudian semua di luar rencanaku, maka tak salah jika aku memberikan uang ini kepadamu, karena kamu bisa menggunakan uang ini untuk biaya pendidikan anakmu.”

***
Karena uang itu, kemudian Nua dapat melanjutkan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Sebagai balas budi, ibu menjadi buruh cuci di rumah bude Asma. Walaupun awalnya bude menolak, tetapi setelah diyakinkan oleh ibu, bude mengizinkannya.
Semenjak ibu menjadi buruh cuci di rumah bude Asma, Nua selalu menghabiskan waktunya di rumah seorang diri. Selain mencuci baju-baju bude dan suaminya, ibu juga memasak untuk bude. Bude Asma hanya tingga berdua dengan suaminya yang saat ini sudah sering sakit-sakitan. Semenjak suaminya sakit keras, Bude kerja di Indonesia pada salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri.
Ketika bosan di rumah, Nua sering bermain dengan teman-temannya di luar. Nua segan kalau terus-terusan berkunjung ke rumah bude Asma. Lagipula kalau dia datang ke sana, ibu melarangnya membantu pekerjaan ibu. “Sudah sana, kamu belajar saja” itu yang selalu ibu katakan kepada anak tunggalnya.
Nua adalah gadis yang atraktif dan ceria. Dia juga supel, jadi tak heran kalau banyak teman yang dekat dengannya. Di kampus, prestasi Nua juga sangat mengagumkan. Ibunya bangga dengan anaknya itu. Anak yang dididik sejak kecil dengan susah payah, tanpa kehadiran seorang ayah.
Walaupun Nua anak yang pintar, sopan, dan baik, tetapi itu saja belum cukup sebagai bekal hidupnya. Ibu masih terus mengeluhkan kebiasaan buruk Nua yang masih suka meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Nua juga belum berjilbab. Ketika dinasehati untuk menutup aurat, Nua selalu mengatakan belum siap, takut kalau nanti malah mempermainkan jilbabnya, kadang dipakai kadang dilepas. Ibu tak bisa memaksakan kehendak dengan anak semata wayangnya itu. Walaupun ibu tau, boleh saja seorang ibu bersikap tegas dengan anak.
Sore itu Nua berkunjung ke rumah bude Asma. Setelah sepekan, baru hari ini Nua main. Ketika sampai di depan pintu rumah yang terbuka, Nua melihat bude Asma sedang mendulang pakde yang duduk di kursi rodanya.
“Assalamu’alaikum…” salam Nua yang kemudian dijawab oleh bude. Walaupun pakde lumpuh karena stroke, tapi Nua bisa menangkap bahwa pakde senang dengan kehadiran Nua di tengah-tengah keluarga mereka.
“Masuk sini.” Ucap bude. “Udah makan Nu?” tanya bude langsung. Nua diam. “Ke belakang dulu gih, makan dulu, kamu baru pulang dari kampus ya?”
“Iya bude, baru pulang, tadi masuk siang, jadi jam segini baru pulang.” Ucap Nua. “Nua ke belakang dulu ya, ketemu ibu dulu.” Lanjut Nua. Bude mengangguk.
Nua berjalan ke dapur yang berada tak jauh dari ruang keluarga. Nua mendapati ibunya sedang mencuci piring.
“Bu, Nua mau ngomong sesuatu.”
“Di rumah saja ya.”
“Ahh gak mau, ini penting.” Nua memaksa. “Ya..ada apa Nu?”
“Nua diajak nikah.”
Ibu diam tapi kemudian tertawa. “Kamu ini, main-main”
“Nua serius. Udah lama sebenarnya laki-laki ini ngajak Nua nikah, tapi Nua nggak mau.”
“Sekarang kenapa kamu mau?”
“Karena udah nggak tahan Bu, dia udah sampai minta tolong dosen Nua supaya Nua mau menerima lamarannya.”
“Kok sampai begitu? Dia itu cowokmu?”
“Bukan Bu, aku kenal dia karena kami masuk di organisasi yang sama. Ini mungkin karena doa ibu.” Nua malah “menuduh” ibunya.
“Maksud kamu apa sayang?” Ibu bertanya sembari terus mencoba menahan tawanya. “Yaa..ibu kan pengen banget Nua pakai jilbab, lah mungkin setelah nikah dengan dia, Nua bisa pakai jilbab, dia itu anaknya soleh banget bu. Kerjaannya aja ngajiiii terus.” Ekspresi Nua membuat ibunya tertawa.
“Kamu ini, kok malah panik gitu.”
“Ya iyalah Bu, kalau yang ngajak nikah itu cowok biasa-biasa aja, Nua mungkin bisa nolak, tapi kalau cowok yang gayanya soleh begitu, Nua sulit tolaknya Bu, kan harus dengan alasan yang dibolehkan agama. Ah Nua nggak paham dengan itu Bu. Makanya sampai sekarang nggak bisa nolak.”
Nua terus saja bercerita, ibunya terlihat sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Sayang, bukannya ibu nggak boleh kamu nikah.” Ucap ibunya kemudian. “Tapi kamu tau sendiri kalau kamu kuliah itu atas bantuan keluarga Bude Asma. Ibu nggak mau kalau kuliahmu menjadi sia-sia karena putus di tengah jalan.”
“Loh Bu, pihak universitas nggak melarang mahasiswanya menikah ketika masih kuliah Bu, jadi nggak perlu takut.”
“Hadduuuuh sayang, apa kamu udah membayangkan kalau kamu kuliah tapi harus disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Sekarang aja kamu masih ngeluh, yang capek organisasi ini-organisasi itu, belum lagi, kamu juga ngeluh soal tugas ini-tugas itu.”
“Tapi Bu…”
“Nanti setelah nikah kamu ngeluh lagi, ‘Bu, nggak bisa masak’. Apa kamu mau terus bergantung dengan ibu hanya karena urusan masak aja?” Ibu menyindir anaknya yang memang sama sekali nggak tau kerjaan dapur.
Nua cengir-cengir. “Yaa…trus Nua harus gimana?”
“Kalau kamu belum yakin, ya udah tolak aja.”
“Dengan alasan?” tanya Nua kemudian. “Kamu belum siap.”
“Ibuuuuu….” Nua tampak gemes dengan ucapan ibunya. “Ibu ini, udah Nua bilang, kalau nolak cowok biasa, mungkin Nua bisa, tapi ini cowok luar biasa Bu, kelihatannya soleh banget. Dia itu banyak banget alasan untuk nggak mundur, ‘nikah itu sunnah’, ‘siapa yang dimudahkan nikah tapi nggak mau, berarti bukan umat rasulullah’, dan bla bla bla….Nua kan jadi takut Bu.”
“Ya udah, kamu bilang aja, belum dapat restu dari orangtua.”

***
Beberapa bulan setelah Nua menolak pinangan teman cowok yang menurutnya soleh itu, kemudian Nua akrab dengan cowok “biasa”, alias nggak sesoleh cowok sebelumnya itu. Cowok itu namanya Nino. Rumahnya nggak jauh dari rumah Nua, dulu mereka satu SMA dan sekarang juga satu kampus.
Pertemanan Nua dan Nino nggak mendapat pertentangan dari ibu. Nua mengatakan kalau Nino itu hanya teman main, walaupun belakangan ini mereka jadi lebih sering bertemu dan pergi bareng, tapi ibu tetap nggak curiga. “Mereka teman lama”, mungkin itu yang ibu pikirkan.
Selain Nino merupakan teman main yang gaul dan asik, Nino juga mensupport kemajuan prestasi Nua di kampus. Nino ketua BEM fakultas. Gerak gerik Nua di organisasi kemahasiswaan menjadi lebih fleksibel dengan keberadaan Nino. Selain itu, Nino juga anak yang pinter, IPK-nya memuaskan, nggak berbeda jauh dengan IPK-nya Nua.
Beberapa bulan berlalu, Nua dan Nino semakin dekat. Akhirnya mereka memutuskan untuk lebih serius memikirkan hubungan mereka. Setelah beberapa bulan pendekatan, mereka merasa satu sama lain saling mendukung prestasi masing-masing. Bagi Nino yang berjiwa “pemimpin”, Nua bukan hanya sebagai pihak yang “dipimpin” tetapi juga dapat menjadi “pesaing”, tentunya persaingan di antara mereka adalah persaingan yang sehat.
Malam itu Nino mengajak Nua makan mie ramen, salah satu jenis makanan khas negeri Jepang. Sembari menunggu pesanan datang, mereka berbicara mengenai hubungan mereka.
“Setelah beberapa bulan pedekate, aku ngerasa nyaman jalan bareng kamu Nu.” Nino membuka pembicaraan. Mendengar ucapan Nino yang jujur dari hati, tiba-tiba Nua diserang rasa gugup. Dia menjadi salah tingkah dan berusaha mengalihkan kegugupannya dengan sibuk memencet tombol hapenya.
“Aku pingin kita lebih serius” lanjut Nino. “Maksud kamu?” tanya Nua walaupun sebenarnya Nua tahu maksud Nino. Tak lain tak bukan pasti Nino mengajaknya untuk pacaran. “Kita pacaran Nu, kamu mau kan?”
Nua diam. Beberapa menit Nino menunggu jawaban Nua. Pelayan pun datang, meletakkan makanan pesanan mereka berdua di atas meja. “Minum dulu Nin.” Nua mengalihkan perhatian Nino. Nino tetap diam, sedikit pun tak menyentuh makanannya yang udah dihidangkan itu. “Atau kamu mau makan dulu? Ya silahkan aja.” Nua terus mengalihkan perhatian Nino. Tapi Nino tetap tak berekspresi.
“Maaf Nin, aku belum bisa langsung menjawab pertanyaan kamu.”
Mendengar pernyataan Nua, Nino mengalihkan pandangan ke mangkuk mie ramennya. “Ya Nua, aku paham, kamu pasti butuh waktu. Aku nggak akan memaksa.” Nino kemudian mempersilahkan Nua menyantap makanannya.

***

Hari ini Nino, Nua, dan beberapa temannya mengadakan liburan ke daerah Bandungan di Semarang. Mereka menyewa sebuah penginapan. Satu penginapan terdiri dari beberapa buah kamar. Tujuan mereka pergi ke Semarang untuk rekreasi. Nua di ajak Nino dan sahabat-sahabatnya untuk liburan semester. Nua tak menolak, karena selain dirinya, masih ada 4 orang temen Nino yang perempuan. Jumlah mereka sekitar 8 orang. Tiga orang laki-laki dan lima orang perempuan. Nua seneng banget bisa jalan-jalan ke luar kota. Selama ini, dia nggak pernah pergi kemana-mana, selalu saja di Jogja.
Malam pertama mereka di Bandungan, mereka langsung bakar-bakar makanan. Anak-anak pada seneng. Nino dan Nua duduk memeperhatikan keceriaan temen mereka dari kejauhan.
“Nua, gimana jawabanmu?”
Nua tampak malu-malu, tetapi kemudian salah seorang teman cewek Nino berteriak, “Sebenarnya dia juga suka dengan kamu Nin, tapi sok jual mahal, ngetes keseriusan kamu kali.” Ucapnya. Mendengar itu, Nua terkekeh. “Jadi gitu?” Nino pura-pura sebel tapi kemudian mereka marah.
“Sebagai hadiahnya, kamu suka film action kan? Yuk, kita nonton, aku punya film seru banget.”
Film yang mereka tonton sebenarnya film romantis, tapi dibalut dengan action. Nua serius nonton film-nya karena memang dia sangat suka film. Sementara Nino menikmati sisi romantis film itu.
Karena terbawa suasana, Nua tak menyadari tangan Nino yang “bergentayangan”. Ketika tangan Nino semakin aktif, darah Nua serasa mendidih. Ada suatu kenikmatan yang tak bisa ditolak oleh Nua. Sesuatu yang nikmat. Sampai akhirnya mereka berdua beranjak dari ruang tengah menuju kamar.


pic from deviantart.com

Tidak ada komentar: