Kamis, 19 Januari 2012

cerpen: PASRAH






Entah apa yang ingin aku tulis, maka tetap saja tangan ini kubiarkan bergerak bebas. Biarkanlah kegundahan hatiku tercurah dalam lembaran kertas. Katanya kertas itu bersih, dan manusia lah yang mengotorinya dengan tinta, entah itu tinta emas atau tinta gelap. Walau bagaimanapun “hebat”nya tinta, tinta tetaplah tinta. Begitu juga dengan aku, sekuat apa pun aku berusaha menahan, hati tetaplah hati. Terkadang mengalami masa kesuraman. Dan aku adalah akhwat, setangguh apa pun, tetaplah akhwat pernah terperosok dalam kesedihan.
Aku bingung. Satu kondisi yang aku mengerti. Bingung kenapa? Tentu saja karena ada sesuatu yang mengganjal di hati. Apa itu? nah...itu lah yang akan aku coba untuk korek. Kumelamun di kamar berjam-jam, hingga gedoran pintu itu kuanggap angin lalu. “Mbak, makan!” suara adikku melengking, seperti ingin bertanding dengan lengkingan hatiku yang bingung.
Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah dunia, lindungi aku dari fitnah harta, lindungi aku dari kesedihan yang mencengkeram hebat ini ya Rabb.
Aku ingat banget, kupanjatkan doa itu dalam keadaan seluruh tubuhku gemetar hebat dan lemas. Gemetar yang muncul karena harus menahan lapar. Setelah sarapan yang cukup mewah (nasi dan tempe kering), aku berangkat kuliah. Sepanjang jalan (dari rumah ke pinggir jalan besar) otakku berpikir hebat. Harus dengan apa aku membayar ongkos bis. Aku benar-benar nggak ada pegangan uang, nggak mungkin aku minta ke orang tua (maksudku adalah ibu sebagai tulang punggung keluarga). Di dalam tasku memang ada amplop berisi uang. Tapi....itu bukanlah uangku, itu uang kas kelas. Apa yang bisa aku lakukan dengan uang yang bukan hakku itu? bolehkah aku sekedar meminjamnya untuk sementara saja?
Kutunggu bis di pinggir jalan. Kutatap orang-orang yang berlalu lalang dengan perasaan iri.
Ah ya Rabbi. Perbedaan itu memang indah, dengan perbedaan itulah Engkau tunjukkan kebesaranMu. Dan di dunia ini, akankah aku yang menjadi salah satu manusia yang harus merasakan “indah”nya kehidupan yang berbeda dari manusia kebanyakan. Manusia-manusia seperti mereka yang berlalu-lalang di jalan raya itu. Mereka yang tampak tenang, mereka yang tampak “memiliki” segalanya di dunia ini. Mereka yang tak perlu memikirkan dengan apa harus membayar ongkos bis, karena mereka nyaman di dalam mobil pribadinya yang selalu tampak mengkilat.
Andai saja....
Wuusssss....tiba-tiba mobil melaju kencang lewat di depanku. Tersadar diriku dari lamunan. “Astagfirullah, ya Allah, lindungi hatiku dari mengeluh. Aku yakin semua ini adalah suratanMu, aku yakin hidupku adalah skenarioMu, dan aku harus jalani. Jalani dengan sabar. Hadapi cobaan dengan sabar dan shalat. Dan aku tinggal menunggu bagaimana ending kisah hidupku ini.”
Huufftt...ya Allah, tapi bagaimana dengan ongkos bis?


***
Siang hari di kampus, perutku rasanya sakit banget. Aku laper, aku tahu itu, tapi coba kupungkiri. Aku harus tahan. Memang tubuh punya hak untuk makan, tapi saat ini kenyataanlah yang berbicara. Aku berjalan menuju masjid. Kudinginkan diriku dengan wudhu. Beberapa saat aku terbenam dalam kekhusyukan. Ya allah.
Setelah salam dan sebentar berdzikir, aku merogoh tasku. Berharap ada sesuatu yang bisa aku makan. Dan alhamdulillah, kutemukan beberapa buah permen. Lumayanlah untuk mengganjal perutku.
Di serambi masjid, aku termenung.
Ya Allah, maafkan hambaMu ini. Belakangan ini kerjaku hanya merenung, melamun, dan diam. Semoga diamku ini bernilai ibadah. Amin.
Aku berfikir, tak mungkin selamanya aku begini. Aku harus apa. Aku ingin bekerja, tapi tak mungkin. Jadwal kuliahku mengikat. Aku masuk jam 7 pagi dan pulang jam 3 sore. Aku memang mendapat beasiswa, tapi itu hanya untuk biaya kuliah. Untuk biaya lainnya, seperti ongkos dan uang fotocopy materi?
Kondisi kesehatanku tak memungkinkan aku untuk bekerja malam, lagipula aku akhwat, aku perempuan. Orang tuaku pasti tak mengijinkan aku berada di luar malam-malam tanpa muhrim yang mendampingi.
Belum selesai aku berfikir, aku sudah harus berhadapan dengan kenyataan. Ini udah waktunya aku pulang. Lagi-lagi masalah ongkos. Huufftt....astagfirullah.
Aku berjalan dari gerbang kampus ke pinggir jalan besar dengan langkah gontai.
Ya allah, lemahnya diriku ini. Lindungi aku dari fitnah dunia, lindungi hatiku dari mengeluh, ya allah, ya allah, ya allah. Astagfirullah.
Aku duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Nekatnya diri ini, berani menunggu bis tanpa tau harus membayar ongkosnya dengan apa.
“Assalamu’alaikum Lis.”
Tiba-tiba seseorang menghampiriku. Dia menghentikan motornya tepat di depan dudukku. “Walaikum salam, eh ternyata kamu.” Ucapku dengan senyum ceria. Walaupun sedih dan bingung, tetapi tampak ceria di hadapan saudara sesama muslim itu kan sunnah. Dia adalah temanku kajian. Nuri namanya.
“Dari kampus ya Nur?”
Aku dan Nuri berbeda kampus, tapi rumah kami searah.
“He.eh....harusnya sih kuliah, tapi dosennya nggak ada, jadi anak-anak pada pulang. Kamu sendiri?”
“Aku lagi nunggu bis nih.”
“Mau bareng Lis?”
Sejenak aku terdiam. Inginnya langsung menerima ajakan itu, tapi...
“Aku nggak bawa helm, gimana dong?”
Nuri tampak berpikir. “Hhheemmm....kayaknya di depan situ udah nggak ada pos polisi deh. Ya...walaupun masih ada persimpangan. Gimana?”
“Ya udah deh, boleh boleh.”
Aku pun naik di motornya Nuri. Sepanjang jalan kami mengobrol, yang pada akhirnya Nuri menawarkan untuk mengajakku mampir sebentar di rumahnya. Maklum, kami sudah lama nggak bertemu. Mungkin sudah sekitar 2 mingguan. Selama 2 minggu itu Nuri izin kajian, dia dan keluarganya musti ke luar kota karena urusan tertentu.
“Ayo Lis, masuk. Aku ke belakang sebentar ya, kebelet ke kamar mandi. Hehehee”
Rumah Nuri sederhana dan asri. Aku lumayan sering berkunjung ke rumahnya. Nuri anak yang baik dan ramah. Aku nyaman dekat dengannya walaupun keluarga Nuri baru beberapa bulan pindah ke daerah sini.
“Lis, diajak makan tuh dengan Ibuku. Kamu pasti laper, kan dari kampus. Yuk makan bareng aku.”
Kulirik jam dinding. Udah jam 4 sore. Ya allah, aku baru makan tadi pagi-pagi sekali sebelum berangkat kuliah, alhamdulillah, akhirnya bisa makan juga.
Aku mengikuti Nuri menuju meja makan. Di samping meja makan adalah ruang keluarga. Tampak Ibunya Nuri duduk di situ sembari membaca buku. Di ruang keluarga banyak terdapat lemari-lemari buku yang besar-besar banget. Kelihatan kalau keluarga Nuri senang membaca buku.
“Assalamualaikum Bu.” Sapaku dengan santun. Kudekati Ibunya Nuri dan mencium punggung tangannya tanda penghormatan. “Walaikum salam. Wah, sudah lama nggak kemari ya Lis?”
“Iya Bu, Ibu dan Bapak sibuk, sampai-sampai harus keluar kota beberapa minggu.” Jawabku. “Ah kamu bisa saja, ya sudah sana, temani Nuri makan.”


***


Setelah makan, Nuri mengajakku masuk ke kamarnya. Kami ngobrol. Nuri merebahkan badannya di atas ranjang. Aku duduk tepat di sampingnya. “Gimana Lis, kajian kemarin? Kan aku nggak datang.”
“Ya gitu, materinya masih seputar cinta. Ukkhhh....emang cinta itu gak akan basi, tapi apa setiap kajian musti itu terus yang dibahas?”
“He.eh” Nuri bangun dari tidurnya dan duduk di sampingku. “Aku setuju tuh, materi cinta emang cocok untuk teman-teman yang udah siap nikah, tapi untuk aku? ya ampun, belum siap nikah, tapi malah jadi kepingin gara-gara materi itu. Pasti temen-temen banyak yang curhat deh.”
Aku tersenyum. “Udah bisa kutebak.” Celetuk Nuri.
“Terus kamu sendiri?” tiba-tiba Nuri menatapku. “Aku? kenapa dengan aku?”
“Keadaanmu gimana? Bukannya belakangan ini kamu sering sakit? Kenapa tho? Kampus lagi banyak agenda?”
“Ah...enggak juga, mungkin badanku aja yang lagi drop.”
Hheeemmm....
“Kamu kelihatan lain Lis, ada apa tho?”
“Maksud kamu?”
“Aku kan perhatikan, kamu nggak semangat gitu. Ada masalah? Curhat dong, biasanya juga curhat ke aku.”
Aku terdiam. “Aku yakin, kamu lagi ada masalah kan?” Nuri bangkit mengambil buku. “Eh iya, ini bukumu yang aku pinjem....”
“Sebulan lalu.” Aku memotong omongan Nuri. “Hahahahaa...ya maaf. Ya udah, sekarang cerita.”
“Ya biasalah Nur, masalah masih seputar keluargaku.”
Nuri manggut-manggut. “Kalau kamu berat, ya nggak apa kalau nggak mau cerita.” Nuri tersenyum menguatkan hatiku. “Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan, aku capek memendam masalah ini Nur, rasanya otakku udah butek. Aku pusing dan bingung.”
“Pelan-pelan Lis, cerita dari awal, apa yang mau kamu bagi ke aku?”
“Ayahku Nur, ayahku. Aku benci dia.”
“Kenapa? Apa alasannya?”
“Ya ini sebenarnya aib keluargaku Nur, aku sebenarnya malu mau cerita ini, tapi aku nggak tau, aku udah coba memendam tapi nggak kuat, makanya belakangan ini aku jadi sering sakit.”
Nuri menatap mataku dalam. Aku yakin kalau itu tanda simpatiknya kepadaku.
“Ayahku semakin menjadi Nur, sempat aku memiliki pikiran untuk stop kuliah. Entahlah, aku bingung. Nggak mungkin aku begini terus, aku nggak bisa bergantung hanya pada beasiswa. Kebutuhan kuliah tidak hanya sekedar SPP, tapi juga biaya fotocopy materi, buku, termasuk juga ongkos kuliah.”
Aku menarik nafas. Rasanya kesedihanku sudah meluap dan sebentar lagi akan pecah.
“Sekarang hanya ibuku yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayahku tak mau bekerja, tiap malam hanya mabuk-mabukkan. Aku heran, kenapa ibu sangat mencintainya. Mungkin memang benar, dulu orang tua ayahku keturunan ningrat, tapi kan sekarang berbeda, ayahku adalah anak yang terbuang. Dia kini miskin, tapi kenapa nggak sadar-sadar sih.”
Nuri menatapku, diam seribu bahasa. Mungkin dirinya bingung dengan sistem ningrat. Maklum, Nuri berlatar belakang keluarga Melayu, berbeda denganku yang berlatar belakang keluarga Sunda.
“Ya begitulah, sempat aku bingung mengatur diriku sendiri. Lebih tepatnya bingung mengatur rasa yang bercokol di hatiku, di satu sisi aku sangat membenci sikap ayah, tapi di sisi lain aku di hadapkan pada kenyataan bahwa dia adalah ayahku, dan ibu pernah bilang ‘sejelek apa pun ayah, dia tetaplah ayahmu’. Nah, aku harus bagaimana? Tak dipungkiri rasa benci itu memang ada di hatiku. Aku kasihan dengan ibu, tapi....”
Ucapanku tertahan. Rasanya letih bibir ini untuk berbicara seputar ayah ayah dan ayah. Tapi saat ini hanya itu yang membuatku bingung. Perasaan benciku ke ayah. Salahkah aku? durhakakah aku?
“Lis, tabahkan hatimu, kuatkan dirimu, bulatkan keyakinanmu akan pertolongan allah. Aku hanya bisa ngomong, kita hidup di dunia hanya untuk beribadah kepada allah. Niatkan semuanya untuk ibadah. Termasuk juga dalam menghadapi masalah. Dan lagi, dari dulu, aku punya prinsip bahwa sehebat apa pun manusia, tak ada yang mampu menyelesaikan masalah hidupnya. Aku yakin. Kenapa? Karena aku menganggap masalah adalah bagian dari cobaan, dan cobaan hidup yang memberikan adalah allah. Sebenarnya yang allah inginkan hanyalah kita tepat dalam menyikapi masalah. Allah hanya ingin tahu dan ingin membuktikan bagaimana sebenarnya cara kita menghadapi masalah. Apakah ketika ada masalah kita mendekat dan meminta pertolongan ke allah atau justru malah menjauh dari allah.....”
“Tapi kan allah Maha tahu, kenapa allah masih ingin tahu, bukankah seharusnya allah sudah tahu?” tanyaku memotong ucapan Nuri.
“Allah memang Maha tahu, sama halnya dengan ‘seharusnya kita tak perlu berdoa, kan allah Maha tau’ tapi kenyataannya kita tetap harus berdoa, bukan karena sekedar menyampaikan keluhan-keluhan kita tetapi lebih dari itu, berdoa sebagai tanda bahwa manusia itu lemah, manusia membutuhkan allah. Begitu juga dengan ‘masalah’. Allah ingin tau, apa yang akan manusia lakukan jika ditimpakan masalah, akankah manusia itu mendekat dan berdoa kepada allah, yang itu artinya si manusia tersebut merasa membutuhkan allah, ataukah justru menjauh dari allah, yang itu artinya si manusia merasa tak membutuhkan allah, manusia itulah yang dikatakan manusia sombong.”
“Hheeemmm....sebenarnya hidup itu gampang ya Nur” tuturku setelah mendengar nasehat-nasehat Nuri. “He.eh, tapi manusianya yang membuat hidup itu sulit”
Tit..tit..tit..
Hapeku bunyi dan bergetar tanda sms masuk.


“Lis, besok tolong bawa uang kas kelas kita, soalnya mau aku pakai untuk membeli kebutuhan kelas, ok trims.”


Aku membaca tulisan di hapeku dengan perasaan kacau. The new problem. Bagaimana bisa besok aku membawa uang kas itu. Bagaimana dengan kekurangannya? Atau begini saja, besok aku berdiri di depan kelas sembari mengatakan, “Maaf teman-teman, uang kasnya kurang soalnya kemarin aku pinjam untuk fotocopy tugas kelompokku” beranikah aku mengatakan begitu? Bagaimana tanggapan teman-temanku?
Ahh..ya allah.

Tidak ada komentar: