Kamis, 19 Januari 2012

cerpen: DOMPET



Di balik tumpukan baju di dalam lemari, Tinah menyembunyikan dompet kulit berwarna coklat yang sudah tampak sobek di sana-sini. Senyumnya mereka, rokok menyala bertengger di sudut bibirnya. Tak lama kemudian, Tinah keluar dari kamar, kamar menantunya.
“Ada apa Bu?” tanya Rina, menantunya, yang baru saja dari kamar mandi. “Ah tidak ada apa-apa, Ibu hanya melihat-lihat saja, apa kamarmu rapi atau tidak. Kalau tidak rapi kan bisa Ibu bantu bereskan”
“Tumben, Ibu baik begini.” Batin Rina tetapi tingkah aneh Ibu mertuanya tak digubris, Rina langsung berpakaian rapi karena suaminya menunggu di teras, malam ini mereka mau makan malam di luar.


***
“Bu… Ibu…” panggil Tarno kepada istrinya, Tinah. “Iya Pak, kenapa?”
“Sini dulu Bu.” Tarno meminta istrinya masuk ke kamar sebentar. Di dalam kamar, lelaki setengah baya berwajah cekung itu menunggu dengan wajah pucat pasi.
“Ada apa tho Pak? Aku lagi masak air, masak lauk, mbok ya kalau ada apa-apa dikerjakan sendiri dulu.” Ucap Tinah yang tahu kebiasaan suaminya yang selalu menyuruhnya mengerjakan ini-itu, hal-hal sepele sekalipun.
“Bu, dompetku hilang Bu. Apa Ibu melihat?”
“Apa? Astagfirullah…ya Allah Pak, lagi ndak ada uang kayak gini kok pake kehilangan dompet segala.” Tinah memarahi kecerobohan suaminya.
“Lah, bapak juga ndak tau Bu, kalau tau akan kehilangan begini, ya Bapak pasti sudah merantai dompet itu.”
“Sudah cari di dalam lemari?”
Tarno mengangguk. “Ah ya sudah Bu, mungkin belum rejeki. Diikhlaskan saja, mudah-mudahan dapat ganti yang lebih banyak dan baik dari Allah.”
Tinah memandang wajah suaminya yang tenang. Dia sebenarnya sebel dengan sikap Tarno yang menurutnya terlalu religius. “Rejeki itu kan dari Allah Bu, nanti biar Allah yang ganti.”
“Haduh Pak..Pak, Ibu mau minta uang belanja yo ndak bisa tho kalau kayak gini. Besok mau makan apa Pak..pak”
Tinah sebenarnya tak mempermasalahkan sikap Tarno yang religius, tetapi makin ke sini, Tinah makin menganggap suaminya keterlaluan.
“Sedikit sedikit Tuhan…sedikit sedikit Tuhan… tapi kalau nggak ada uang begini, mau makan pakai apa. Mau beli sayur ndak bisa, mbok ya realistis sedikit tho pak..pak” Gerutu Tinah.


***
Walaupun menantu dan anak satu-satunya tinggal bersama dia dan suaminya. Tetapi Tinah dan Tarno tak sekalipun meminjam uang kepada anak atau menantunya kalau hanya soal untuk memenuhi kebutuhan makan. Sebenarnya setiap bulan, anaknya memberikan uang ke ibunya untuk belanja kebutuhan dapur. Tetapi pemberian itu tak ditentukan Tinah. Dia menerima saja, dan kalau pada kenyataannya kurang, Tinah tak pernah meminta uang lagi kepada anak atau menantunya.
Dia sadar diri kalau anaknya pun belum mapan soal ekonomi. Terlebih lagi, anaknya, Surya menikahi Rina, seorang gadis dari keluarga berkecukupan, tetapi pelit. Setelah menikah, orangtua Rina sama sekali tidak mau mencampuri soal ekonomi rumah tangga anaknya. Sampai soal mengontrak rumah, orangtua Rina tidak mau memberikan subsidi padahal mereka tahu kalau Surya hanya pegawai bawahan, gaji tidak ada apa-apanya, untuk makan saja kurang.
Semua sudah terjadi, Rina dan Surya menikah atas dasar saling mencintai dan tentunya atas dasar keyakinan kepada Allah. “Rejeki itu Allah yang atur nak.” Ucap Tarno kepada putranya.
Karena Surya tak sanggup mengontrak rumah, maka dia memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuanya. Tetapi Surya berjanji dengan dirinya sendiri dan bersepakat dengan orangtuanya kalau soal makan, listrik, dan air, Surya akan membantu semampunya. Mendengar keluhan putranya, Tarno dan Tinah tak mungkin tega meminta lebih dari kesanggupan putranya. Apalagi Rina tak bekerja, jadi beban pemenuhan kebutuhan hidup berada di pundak Surya seorang diri.


***
Tinah masuk ke kamar menantunya. Matanya sibuk meneliti keadaan sekitar. Rina sedang tidak di rumah, mungkin dia sedang main ke rumah tetangga. Sementara Tarno dan Surya bekerja. Tinah mengendap-endap. Mencari sesuatu di dalam kamar itu.
“Nah ini…” Tinah menemukan sebuah dompet hitam bercorak kotak-kotak warna merah dan merah muda. Dia meneliti isi dompet itu. Foto anak dan menantunya terpasang di sisi dalam dompet itu.
Tinah kemudian mengambil selembar uang 20 ribu dari dalam dompet. Setelah mendapatkan yang diinginkan, TInah mencari-cari sesuatu yang lain pula. Dia merogoh bagian belakang tumpukan pakaian di dalam lemari menantunya.
“Nah dapat.” Batin Tinah.
Dia menemukan barang itu dan kemudian memasukkan uang 20 ribu ke dalam dompet coklat yang dipegangnya.


***
“Dek, tolong belikan pulsa, pakai uangmu dulu ya.” Pinta Surya kepada istrinya. Sebenarnya “uangmu” yang dimaksud Surya adalah uang jatah istrinya setiap bulan dari sebagian gaji Surya. Rina mencari uang dari dalam dompetnya.
“Loh Mas, uangku kok berkurang ya.” Rina kebingungan.
“Kurangnya berapa?”
Rina menggeleng. “Aku nggak tahu.”
“Ah, kamu lupa itu Dek, mungkin kamu membeli sesuatu tadi, tapi kamu lupa.”
Rina diam sejenak seperti memikirkan sesuatu. “Ya, mungkin juga Mas. Lagipula masak uang di dalam rumah bisa ilang, emangnya kamu piara tuyul.”
“Loh kok aku, kamu tho yang piara tuyul.”
“Ndak kok.”
“Iya kok, buktinya hatiku kamu curi.”
Tawa suami-istri itu kemudian berderai. Sepertinya mereka telah melupakan perkara uang yang mungkin hilang, mungkin terselip, atau bahkan mungkin telah digunakan.


***
Hari besoknya, Tinah kembali mencari-cari sesuatu. Tetapi kali ini di dalam lemari suaminya. Tak butuh waktu lama, Tinah menemukan benda yang dicarinya. Dompet berwarna hitam, yang masih tampak mulus.
“Pasti baru beli dompet di toko loak.” Batin Tinah. Wanita setengah baya yang kecanduan merokok itu kemudian mengambil selembar uang 50 ribu dari dalam dompet dan memindahkannya ke dalam dompet coklat yang disembunyikan di dalam lemari menantunya.


***


“Aduh Buk, harus hati-hati sekarang.” Ucap seorang wanita bernama Mirna. “Emang kenapa Mir?” tanya Tinah. Beberapa wanita yang umurnya hampir setengah baya itu berkumpul di halaman kecil rumah Tinah. Seperti biasa, setiap sore mereka selalu mengobrol. “Itung-itung menghilangkan kejenuhan di rumah.” Alasan Tinah ketika anaknya bertanya.
“Wah, lagi musim maling Tin. Itu tuh, rumah di atas, ada yang kehilangan barang dan uang.”
“Ah, masak iya. Aku kok nggak tau.” Tinah tak percaya. Dia melihat ke wajah ibu-ibu lain, berharap mendapat dukungan. Ibu yang lain pun turut angkat suara, “Kamu gossip saja Mir.”
“Ah, kalau tak percaya ya sudah.” Mirnah kemudian bangkit dan pulang duluan.


***
“Haduh Bu, kenapa tho uangku ilang terus. Kemarin malah dompetku yang ilang, sekarang uangku ilang. Pertama 20 ribu, kemudian 50 ribu, eh belakangan jadi 100 ribu yang ilang. Kalau begini terus, aku kehabisan modal untuk keperluan kedai Bu.” Tarno menggerutu kesal.
“Oalah Pak..Pak, mbok yang sabar. Rejeki kan datangnya dari Allah, kenapa takut.” Tinah menyindir suaminya.
“Ah, kamu itu menyindirku.” Tarno kesal dengan ucapan istrinya.
“Loh, kan Bapak yang mengajarkan, aku sebagai istri hanya menurut.” Tinah beralasan. Tarno kemudian meninggalkan istrinya yang sedang menonton tivi.
“Kamu mbok ya bantu-bantu aku Bu, masak nggak malu dengan anakmu, dia susah payah bekerja. kamu malah santai-santai menunggu uang dari dia.” Tarno kesal, karena yang ada di situ hanya Tinah, maka istrinya yang jadi sasaran kemarahan.
“Loh kok aku Pak. Menantumu nggak disuruh bekerja, dia masih muda. Kerjanya hanya mengobrol di rumah tetangga.” Tinah malah melempar kesalahan ke menantunya.
“Kamu nggak kasian dengan Rani. Perutnya sudah besar sekali begitu, masih disuruh bekerja juga. Biar lah dia istirahat. Nanti kalau sudah melahirkan, dia kan pasti mau bekerja Bu.”


***
“Sudah, besok malam kita adakan pengajian saja.” Tarno mengatakan niatnya kepada anak, menantu, dan istrinya. “Tumben Pak.” Celetuk Tinah. “Mengaji kok tumben Bu.”
“Ya nggak biasa-biasanya Bapak ngadain pengajian di rumah. Biasanya bapak yang datang pengajian ke masjid. Memangnya di masjid sudah nggak ada pengajian Pak?” tanya Tinah kemudian. Anak dan menantunya hanya mendengar saja.
“Ya, masih ada, tapi aku mau menghilangkan tuyul yang ada di rumah ini. Biar uangku nggak ilang terus.”
Mendengar alasan Tarno, anaknya langsung tertawa. “Bapak ini, sholat rajin, mengaji ke masjid pun rajin, tapi masih percaya tuyul.”
“Aku kapok kehilangan uang, lagipula yang gaib begitu kan memang ada tho Sur? Yang penting, pengajian nanti niatnya yang baik-baik saja, rumah ini kan jarang dingajikan tho. Makanya banyak setan.” Tarno melirik ke istrinya, ucapannya sebagai sindiran ke Tinah.


***
Setelah pengajian usai, Rani tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa dari perutnya. “Mungkin dia sudah saatnya melahirkan.” Ucap Tarno. “Aduh Pak, tapi tabunganku belum cukup.” Keluh Surya. “Lah, gimana tho?”
“Beberapa hari lalu, motorku rusak berat. Kalau tak dibetulkan, bisa fatal dan aku nggak bisa kerja. Uang tabungan kupakai untuk itu dulu, kukira Rani masih lama melahirkannya.”
“Hayah, malah bikin pusing, Bapak juga lagi nggak megang uang.”
Rani terus berteriak-teriak. Dia tergeletak di ranjangnya, menjerit-jerit minta tolong.
“Sudah, bawa ke rumah sakit atau dukun beranak saja sana. Biar pakai uang belanja Ibu.”
Tarno dan Surya langsung memandang ke Tinah.
“Sudah, pakai uang jatah belanjaku saja. Daripada cucuku celaka. Aku sudah lama menabung, ngapain kalian berdua malah melihatku? Bawa Rani sana.” Bentak Tinah. Tarno dan Surya reflek bergerak menggendong tubuh Rani ke luar rumah dan kemudian meminta tolong tetangga yang mempunyai mobil untuk mengantar ke puskesmas.
Sebelum pergi menyusul ke puskesmas, Tinah salin pakaian dan kemudian mengambil dompet coklat dari dalam lemari menantunya.




Jogja, 30 Nop 2011
22:36

Tidak ada komentar: